Menyesal Boleh, Menyerah Jangan!

Ilustrasi: Isyana/suarakampus.com

Oleh: Tsamaratur Rahmi
(Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang)

Aku merasa semua orang mungkin pernah merasa menyesal dalam hidupnya. Namun, adakah yang menyesali semua keputusan dan setiap hal yang dialaminya?

Dulu saat masih kecil, aku tidak pernah mengerti mengapa seseorang merasa menyesal. Tetapi, semakin dewasa diriku memahaminya. Bagaimanapun, penyesalan selalu datang belakangan. Bahkan terkadang kamu tidak menyadari bahwa tindakanmu hari ini mungkin akan kamu sesali suatu hari nanti.

Aku Amina Shafia, saat memberi nama ini, orang tuaku berharap aku akan menjadi anak yang bijaksana dan mampu terus berbuat kebaikan. Aku percaya bahwa harapan orang tuaku itu pasti akan terwujud. Tetapi saat aku menjadi lebih dewasa, aku mulai berpikir apakah harapan orang tuaku yang dititipkan dalam namaku itu benar-benar bisa terwujud semudah itu?

Seiring dengan masa remajaku yang disebut orang sebagai era labilnya seseorang, aku menyesali banyak hal. Di saat orang berusaha menemukan jati dirinya di masa remaja, aku justru menyia-nyiakan segalanya untuk kesenangan sesaat. Menjalani hidup layaknya tidak ada hari esok. Bersenang-senang tanpa berpikir dampak yang mungkin mendatangimu nanti. Sama halnya seperti remaja yang menemukan kebebasan yang diimpikan, padahal kenyataannya hal itu semu belaka.

Aku seseorang yang pintar dalam menggambar, ibu ingin aku mendalami kemampuan menggambarku. Dia merasa menggambar adalah bakatku dan akan sangat bagus jika aku mengembangkannya dan fokus pada bidang itu. Tetapi, aku justru merasa itu tidak benar, aku tidak suka menggambar. Aku lebih suka menari dan bernyanyi layaknya remaja lain seusiaku.

Ibu selalu mendukungku. Aku mengikuti kelas menari dan menyanyi bersama teman-temanku. Kesenangan saat bersama mereka membuatku melupakan fakta bahwa aku tidak cocok di bidang ini. Aku tidak akan memiliki masa depan jika tetap fokus di sini. Tetapi orang bilang, hasil tidak akan mengkhianati usaha, jadi aku terus berpegang pada hal itu.

Aku terus berlatih, bahkan dengan semua waktu yang telah kuhabiskan untuk hal ini, semua tidak kunjung memenuhi ekspektasiku.

Realitas terkadang sangat kejam, tetapi sangat sempurna untuk menyadarkanku yang sempat terlena dengan kesenangan sesaat. Ketika teman-temanku mulai menjadi sangat baik di bidangnya sendiri. Sedangkan, aku masih saja terjebak dalam latihan yang entah kapan akan menunjukkan hasilnya ini. Seiring dengan semakin luar biasa orang-orang di sekitarku, aku mulai merasa fisik dan jiwaku mulai terkuras, tidak hanya lelah karena latihan, tetapi aku mulai mempertanyakan kemampuan diriku.

Saat orang bertanya apa bakatku, aku merasa dilema. Ini tidak seperti aku bisa mengakui latihan yang kulakukan sebagai bakat di saat hasilnya bahkan tidak ada apa-apanya. Tetapi mengatakan bahwa menggambar adalah bakatku membuatku tidak percaya diri, berlatih menari dan menyanyi terlalu lama membuatku melupakan kesenanganku saat menggambar dan pada akhirnya aku tidak lagi terlatih untuk melakukannya. Aku tidak berkembang, tetapi terus mengalami rasa frustrasi dan keputusasaan.

Lalu di saat aku memutuskan untuk beralih kembali mencoba menggambar, tanganku mengalami cedera karena berlatih menari secara berlebihan. Aku lagi-lagi menyesal, mengapa di saat aku mencoba untuk berubah, harapanku seolah dipatahkan oleh takdir. Apa mungkin aku ditakdirkan untuk gagal?

Suasana hatiku memburuk, kesehatanku kian menurun. Saat seseorang depresi, nafsu makannya akan berkurang, dan keinginannya untuk bersosialisasi akan sangat rendah. Aku melupakan segalanya, tidak lagi menari, tidak lagi menyanyi, tidak lagi menggambar, dan tidak lagi bersenang-senang dengan teman-temanku seperti dulu. Aku tenggelam dalam penyesalanku sendiri, tetapi kepada siapa aku harus marah?

Tetapi hal yang paling dibutuhkan seseorang saat mereka depresi adalah perasaan dirangkul dan pemahaman bahwa mereka masih dibutuhkan. Aku beruntung karena keluargaku memahami itu dan tidak menyerah padaku. Mereka terus membujukku, mengatakan banyak motivasi yang pada awalnya tidak terlalu kupedulikan, dan menyadarkan bahwa tidak peduli bagaimana dunia memandangku, setidaknya aku masihlah Amina Shafia yang sama di mata mereka.

Tetapi memulai sesuatu saat kamu sudah memutuskan untuk menyerah juga bukan hal yang mudah. Ada kegigihan dan keinginan yang besar untuk bisa melakukannya. Aku menjalani terapi untuk cederaku. Meski memakan waktu lama, tetapi saat melihat rasa harap dan mendengar doa yang terus disebut oleh orang tuaku di setiap kesempatan, dalam setiap salat dan ibadah mereka, aku merasa tidak layak bagi diriku untuk menyerah.

Bahkan jika itu memerlukan bertahun-tahun untuk pulih kembali, selama aku masih memiliki keinginan seharusnya itu tidak mustahil. Kupikir pikiran positif yang kumiliki menjadi penyembuh tersendiri bagi jiwaku. Tidak masalah, jika menari bukan bakatku, aku hanya perlu mencari yang lain. Jika menggambar tidak mungkin lagi untuk kulakukan, pasti ada hal yang bisa kulakukan dan kujadikan bakatku, keterampilanku, sesuatu yang membuat hidupku memiliki lebih banyak tujuan.

Ini bukan cerita yang begitu luar biasa, tetapi ini menyadarkanku pada kenyataan bahwa terkadang kamu harus menyadari kemampuanmu sendiri. Kamu boleh bermimpi, boleh bersenang-senang, tetapi ingat sampai mana batas kemampuanmu. Tidak ada salahnya mundur sesaat di saat kamu merasa terhambat, tetapi selalu ingat bahwa setelah kamu mundur, pastikan untuk melompati hambatan itu dengan seluruh kekuatanmu. Menyesal hal yang biasa, tetapi jika kamu terjerumus ke dalam penyesalan itu, kamu harus siap dengan penyesalan lainnya yang tidak akan ada akhirnya. Jadi berusahalah, bahkan jika kamu gagal, kamu bisa mencoba lagi dengan hal lain yang lebih baik dan matang daripada sebelumnya. Itulah ceritaku, Amina Shafia, kuharap aku bisa mewujudkan harapan orang tuaku itu segera.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Gerhana Wajah di Singgasana Rapat

Next Post

Dalil di Ujung Nafsu

Related Posts
Total
0
Share