Arwah Gentayangan

Ilustrasi: Isyana/suarakampus.com

Oleh: Verlandi Putra
(Mahasiswa Tadris Bahasa Inggris UIN Imam Bonjol Padang)

Aku terduduk di atas ranjang dengan tubuh gemetaran. Keringat dingin mengucur membasahi dahi dan seluruh tubuhku. Jantungku berdebar kencang seolah hendak melompat keluar dari rongganya. Barusan aku mengalami mimpi paling mengerikan sepanjang hidupku.

Dalam mimpi itu, aku berada di sebuah jalan raya yang lengang. Tak ada satu pun kendaraan atau pejalan kaki yang lalu lalang, kesunyian menyelimuti tempat itu. Tiba-tiba dari kejauhan, muncul sesosok wanita berjalan tertatih-tatih di tengah jalanan. Darah segar mengalir dari kepalanya yang retak.

Aku bergidik ngeri menyaksikan pemandangan mengerikan itu. Namun entah mengapa, kakiku seperti membeku di tempat tak dapat bergerak barang sesenti pun. Wanita itu semakin mendekat ke arahku. Matanya yang cekung menatapku tajam. Bibirnya bergetar seperti ingin mengucapkan sesuatu. Namun, hanya suara mencekik yang keluar dari kerongkongannya.

“Kamu… harus… sama… seperti aku…”

Kemudian dalam sekejap mata, wanita itu melompat dan mendarat di punggungku. Tangannya mencengkeram bahuku erat, kukunya yang panjang dan runcing mencakar-cakar punggungku. Rasa ngeri dan sakit bercampur menjadi satu. Aku menjerit sekuat tenaga.

“Aaaarrrggghhhh!!!”

“Fadil! Fadil! Bangun nak!”

Sebuah suara membangunkanku dari mimpi buruk itu, ternyata ibu yang memanggilku. Wajahnya terlihat cemas.

“Mimpi buruk lagi, Nak? Ini sudah yang ketiga kalinya minggu ini.”

Aku mengangguk dengan nafas terengah-engah, kuyup keringat dingin membasahi seluruh tubuhku. Rasa ngeri dan ketakutan masih membekas di sekujur tubuh, bagaikan mimpi itu benar-benar nyata.

“Iya, Bu. Mimpi yang sama seperti sebelumnya. Seorang wanita berlumuran darah dengan luka menganga di kepalanya,” jelasku sambil bergidik.

Ibu membelai kepalaku dengan lembut. “Tenanglah, Nak. Itu hanya mimpi buruk. Mungkin kau terlalu lelah dan stres akhir-akhir ini.”

Memang benar kata ibu. Beberapa hari terakhir, aku disibukkan dengan berbagai urusan untuk membuka rekening simpanan khusus mahasiswa di bank yang ditunjuk kampus. Kampus mewajibkan semua mahasiswa membuka rekening tersebut untuk menerima dana beasiswa bidikmisi dan KIP Kuliah.
Prosesnya sendiri cukup merepotkan. Aku harus berkeliling dari satu tempat ke tempat lain demi menyelesaikan semua persyaratan administratifnya. Belum lagi jalanan yang padat dan hiruk pikuk kota menyulitkanku bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya.

Hari ini, aku harus ke kantor cabang Bank BSI yang terletak di pusat Kota Padang. Jarak dari rumahku di Kompleks Unand ke sana cukup jauh. Aku harus berganti dua kali angkutan umum untuk tiba di sana.
Setelah sarapan dan bersiap-siap, aku berangkat menuju halte angkot di dekat rumah. Dari sana, aku menumpang angkot jurusan Pasar Raya. Sesampainya di Pasar Raya yang terkenal ramai dan padat itu, aku harus berganti angkot lagi menuju ke Bank BSI.

Dalam perjalanan di angkot kedua, rasa kantuk menyergapku. Beberapa malam terakhir aku selalu kesulitan untuk tidur nyenyak. Mimpi buruk itu terus menghantuiku. Akhirnya, tanpa sadar aku ketiduran di dalam angkot yang sedikit membuat penumpang lain terganggu.

“Mas, sudah sampai tujuannya,” tegur abang angkot sambil sedikit mengguncang bahuku. Aku terperanjat dan langsung tersadar dari tidurku. Rupanya aku telah tiba di depan kantor Bank BSI.

“Oh, iya Bang, terima kasih,” sahutku sembari turun dari angkot.

Aku segera melangkah masuk ke dalam kantor bank yang tidak terlalu besar namun cukup ramai. Setelah menunggu antrean yang cukup panjang, akhirnya giliranku tiba untuk dilayani oleh salah seorang petugas bank.

“Selamat datang di Bank BSI. Ada yang bisa saya bantu?” sapa petugas tersebut ramah.

“Begini, Mbak. Saya mahasiswa UIN Imam Bonjol. Saya ingin membuka rekening tabungan khusus mahasiswa sesuai instruksi dari kampus.”

“Baik, Mas. Silakan lengkapi dulu formulir pendaftaran dan persyaratan lainnya di sini,” petugas itu memberikan beberapa lembar formulir kepadaku.

Aku segera melengkapi semua persyaratan yang diminta, seperti foto kopi KTP, kartu tanda mahasiswa, dan lain sebagainya. Setelah itu, prosesnya relatif cepat dan lancar. Dalam waktu satu jam, aku sudah resmi menjadi nasabah Bank BSI dengan buku tabungan dan kartu ATM di tangan. Dengan langkah ringan, aku keluar dari kantor bank. Urusan yang melelahkan itu akhirnya selesai juga. Kulihat jam tangan, waktu telah menunjukkan pukul 3 sore. Perutku sedikit keroncongan minta diisi setelah semua aktivitas hari ini, tanpa berpikir panjang, aku memutuskan untuk mencari angkutan umum menuju Pasa Raya. Di sana pasti ada banyak kedai makanan yang bisa kusimatiku untuk mengisi tenaga. Sayangnya, karena terlalu lelah dan lapar, aku malah salah angkot dan ketiduran lagi di dalamnya. Kali ini, aku tidak terbangun sampai angkot berhenti. Aku baru tersadar saat pak sopir menguncang-guncangkan badanku.

“Mas, sudah sampai pemberhentian terakhir di dekat bandara. Silakan turun!”

Aku tersentak kaget dari tidurku. Wajahku sedikit merah merona menyadari aku telah membuat masalah. Dengan malu-malu aku turun dari angkot sambil meminta maaf kepada pak sopir dan penumpang lain.

“Maaf Pak, saya ketiduran dan kelewatan. Seharusnya saya turun di Pasar Raya tadi,” ujarku merasa bersalah.

“Ndak apa-apa, Mas. Cukup naik angkot lagi balik ke Pasar Raya,” kata pak sopir itu ramah.

Aku mengangguk dan segera mencari angkot lain untuk kembali ke Pasar Raya. Namun, naas menimpaku lagi. Dalam perjalanan pulang itu aku kembali ketiduran di angkot. Kali ini, saat kuterbangun, aku malah berada di sebuah daerah yang sama sekali tidak kukenal.

“Permisi, Pak, ini di mana?” tanyaku kepada pak sopir dengan bingung.

“Ini kawasan Lubuk Begalung, Mas. Ujung dari kota Padang,” jawab pak sopir dengan nada sedikit jengkel.

Aku membelalakkan mata tak percaya. Entah bagaimana bisa aku tersasar sejauh ini dari tujuanku semula. Rasa lapar dan lelah sepertinya benar-benar membuatku tidak sadarkan diri selama perjalanan. Ini benar-benar memalukan sekaligus mengecewakan.

“Maafkan kelalaian saya, Pak. Saya ketiduran lagi dan kelewatan jauh dari tujuan. Kalau begitu, bisakah saya kembali ke Pasar Raya dari sini?”

Pak sopir menghela nafas panjang. “Bisa, Mas. Tapi angkotnya beda jalur. Silakan Mas turun dulu, cari angkot lain dari sini menuju Pasar Raya.”

Dengan langkah gontai, aku turun dari angkot tersebut. Kurasakan punggungku sedikit membungkuk setelah terlalu lama duduk di angkot. Perasaanku campur aduk, antara malu, lelah, lapar, sekaligus khawatir. Hari sudah menjelang petang dan aku masih belum makan sesuap nasi pun sejak pagi.

Kuputuskan untuk mencari angkutan lain, entah angkot atau bentor sekalian, yang bisa membawaku kembali ke Pasar Raya. Namun setelah menunggu hampir sejam, tidak ada satu pun angkutan yang lewat di daerah lenggang itu. Akhirnya aku pasrah dan memutuskan untuk mencari ojek saja.

Setelah menunggu beberapa menit, seorang abang ojek membawa motornya ke arahku. Dengan langkah terseok-seok, aku menghampirinya.

“Permisi Bang, bisa antar saya ke Komplek Gerbang Unand?” tanyaku lemas.

Abang ojek itu menatapku curiga. “Kelihatannya Mas capek sekali, jangan-jangan Mas sakit atau apa?”

“Tidak, Bang. Saya hanya kecapekan dan kelaparan saja sejak pagi belum makan,” jawabku sambil berusaha tersenyum.

“Ya sudah, ayo naik, nanti di perjalanan kita bisa mampir beli makanan dulu.”

Dengan sangat bersyukur, aku segera menaiki jok belakang motor abang ojek itu. Saking capeknya, aku sampai kesulitan mengangkat kakiku untuk naik ke atas motor. Abang ojek itu seperti menyadari hal tersebut.

“Mas nggak apa-apa? Kok rasanya berat sekali naiknya? Jangan-jangan Mas kesambet atau apa?”

Aku terkejut dengan pertanyaan nyeleneh abang ojek itu. Meski tampak aneh, tapi entah kenapa tiba-tiba saja aku merasakan hawa aneh dan merinding di sekujur tubuh.

“Ah, tidak Bang. Saya hanya capek saja kok. Ayo kita jalan saja,” sahutku mengalihkan pembicaraan.
Abang ojek itu mengangguk dan segera melajukan motornya dengan kencang, membelah jalanan yang mulai sepi. Di tengah perjalanan, kami mampir ke salah satu penjual nasi rames untuk mengisi perutku yang sudah keroncongan.

Selama perjalanan pulang, aku terus merasa ada yang tidak beres dengan tubuhku. Meski perutku telah terisi, rasa berat yang menghimpit punggungku tetap tidak hilang, bahkan seperti semakin terasa memberatkan. Aku mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya dan fokus untuk sampai ke rumah secepatnya.

Akhirnya, kami tiba di depan kompleks rumahku menjelang waktu Maghrib. Dengan tertatih, aku turun dari motor sambil menyerahkan sejumlah uang kepada abang ojek itu. Begitu berjalan beberapa langkah, aku merasakan punggungku semakin memberat seperti ada beban berton-ton menindihnya. Aku sampai harus membungkuk untuk mengurangi rasa sakitnya.

“Lho, kok punggung Mas seperti itu? Bungkuk banget seperti ada beban berat di punggung,” ujar abang ojek memandangiku curiga.

“Ah, tidak apa-apa Bang. Saya hanya kecapekan saja kok,” dalihku berusaha tenang.

Meski terlihat tidak percaya sepenuhnya, abang ojek itu tidak berkata apa-apa lagi dan segera pergi meninggalkanku di depan rumah. Dengan tertatih, aku berjalan masuk ke dalam rumah. Ibu dan ayah terkejut melihat keadaanku yang seperti orang renta bungkuk.

“Astaga, ada apa denganmu, Nak? Kenapa bisa sampai seperti itu?” teriak ibu khawatir sembari membantuku berjalan.

Aku tidak sempat menjawab. Tiba-tiba saja tubuhku terasa sangat lemas dan semuanya menjadi gelap.

Aku terbangun di sebuah ruangan serba putih yang berbau obat-obatan. Sekelilingku dikelilingi oleh ayah, ibu, serta beberapa kerabat dekat yang menatapku cemas. Rupanya aku ada di rumah sakit setelah kehilangan kesadaran beberapa saat setelah sampai di rumah.

“Anak saya kenapa, Dok? Kok bisa sampai pingsan seperti itu?” tanya ibuku dengan wajah kuyu kepada seorang dokter di sampingnya.

Dokter itu menatap ibuku dengan pandangan prihatin. “Kondisi fisiknya benar-benar drop dan kelelahan luar biasa. Mungkin dia terlalu memforsir diri beberapa hari terakhir.”

Aku teringat semua peristiwa yang kualami sepanjang hari itu. Benar, aku terlalu memaksakan diri dan kurang menjaga kondisi tubuh. Pantas saja akhirnya jadi lemas dan pingsan seperti ini.

“Fadil tidak apa-apa, Bu. Dia hanya kelelahan saja dan butuh banyak istirahat. Beberapa hari perawatan di sini dan dia akan pulih seperti sedia kala,” lanjut dokter itu berusaha menenangkan ibuku.

Mereka semua lantas menghela nafas lega. Kudengar bisikan beberapa kerabat menyatakan kelegaan karena tidak ada hal serius yang terjadi padaku. Meski begitu, dari gerak-gerik mereka, aku tahu masih ada sesuatu yang disembunyikan dariku.

Setelah menjalani perawatan intensif beberapa hari, akhirnya aku diperbolehkan pulang ke rumah. Namun bukannya langsung ke rumah, ayah dan ibu membawaku ke sebuah mushalla kecil yang tidak jauh dari kompleks perumahan kami.

“Kita mau ke mana, Yah?” tanyaku bingung ketika mobil berbelok menuju mushalla.

Ayah tidak menjawab, hanya melemparkan senyum tipis yang membuatku semakin penasaran. Sesampainya di mushalla, kami langsung disambut oleh seorang ustadz paruh baya berjenggot putih yang sepertinya sudah menunggu kedatangan kami.

“Silakan masuk, ada yang harus kita lakukan untuk kebaikan anak Bapak,” kata ustadz itu ramah.
Aku melempar pandangan penuh tanya kepada ayah dan ibu yang hanya dibalas dengan anggukan. Sepertinya ada sesuatu yang mereka rahasiakan dariku. Perasaanku mulai tidak tenang memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

Mengikuti arahan ustadz tersebut, kami memasuki ruangan mushalla yang sempit tapi sejuk. Ustadz mempersilakan ayah, ibu dan aku untuk duduk di atas karpet mushalla yang bersih. Lalu ia sendiri duduk berhadapan dengan kami.

“Baiklah, Fadil. Mungkin kau sedang bingung kenapa kita berada di sini,” ustadz itu memulai pembicaraan.
Aku mengangguk pelan. “Benar, Ustadz. Sebenarnya ada apa ini?”

Ustadz menatapku dengan sorot teduh. “Sebenarnya kau mengalami gangguan dari makhluk halus, Nak. Itu sebabnya beberapa hari terakhir kau seperti kemasukan roh hingga tak sadarkan diri.”

Dahiku berkerut tak mengerti. Makhluk halus? Kemasukan roh? Aku sungguh tidak mengerti apa yang dimaksud ustadz ini. Kutolehkan pandangan pada ayah dan ibu yang kompak mengangguk membenarkan.

“Ya, Nak. Sebenarnya beberapa hari sebelum kau masuk rumah sakit, Ayah dan Ibu merasa ada yang tidak beres dengan kondisimu. Seperti ada beban berat yang selalu menghimpitmu,” jelas ayah mengonfirmasi.
Aku tercenung mengingat kejadian aneh saat punggungku terasa memberat dan membungkuk beberapa waktu lalu. Pantas saja bebannya terasa berton-ton, jika memang ada makhluk halus yang menghimpitku seperti kata ustadz dan orang tuaku ini.

“Jadi bagaimana cara mengusirnya, Ustadz?” tanyaku dengan nada ketakutan yang kubiarkan terselip.

“Tenanglah, kita akan ruqyah dan baca doa untuk mengusir makhluk itu dari tubuhmu,” ustadz menenangkan dengan senyum keramat.

Aku mengangguk dan bersiap mengikuti segala instruksi ustadz. Satu per satu, ayah dan ibu juga bergabung untuk membacakan doa-doa keselamatan untukku. Suasana di ruangan sempit itu menjadi sangat khidmat dan khusyuk.

Tiba-tiba, ustadz memegang kepalaku dengan telapak tangannya yang besar dan kuat. Aku merasakan hawa sejuk dan tenang menyergap dari sentuhannya. Dengan suara lantang, ustadz membacakan ayat-ayat suci Al-Quran dan doa-doa ruqyah untukku.

Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja aku merasakan desiran aneh di sekujur tubuhku. Seperti ada makhluk asing yang menggeliat berusaha keluar dari rongganya. Rasa panas dan sesak menghimpitku hingga membuatku sesak nafas. Pandangan mataku mengabur, yang terakhir kuingat hanyalah suara lantang ustadz melafalkan ayat suci sebelum kesadaranku menghilang.

Aku terbangun dengan tubuh sedikit terhentak. Kepalaku terasa pening seperti baru diguncang dari tidur panjang yang melelahkan. Kulihat ustadz, ayah dan ibu duduk mengelilingiku dengan wajah lega bercampur cemas.

“Alhamdulillah, makhluk jahat itu sudah berhasil diusir dari tubuhmu, Nak,” ucap ustadz dengan senyum sumringah.

Tubuhku langsung mencelos mendengar penjelasan beliau. Jadi, sebelumnya aku benar-benar dirasuki makhluk halus? Dahiku mengerut mengingat semua kejadian aneh yang kualami beberapa waktu terakhir.
“Makhluk itu, sebenarnya apa ustadz?” tanyaku ingin tahu.

Ustadz terlihat menghela nafas berat sebelum menjawab. “Dia adalah arwah seorang perempuan yang meninggal dalam kecelakaan tragis. Roh gentayangan yang tidak tenang dan mencari wadah untuk menumpang hidup.”

Aku merinding sendiri membayangkan mimpi-mimpi buruk yang kualami belakangan ini ternyata berhubungan dengan arwah perempuan yang dimaksud ustadz. Tentang seorang wanita dengan luka menganga di kepala berlumuran darah.

“Makhluk itu berhasil menempel pada ragamu, karena saat itu kondisimu yang lelah dan pikiranmu yang kosong. Dia ingin menjadikanmu sebagai wadah keberadaannya,” lanjut ustadz.

“Lalu, apa yang harus saya lakukan agar makhluk itu tidak mengganggu lagi?” tanyaku ketakutan.

Ustadz menatapku teduh. “Jangan khawatir, aura dan nurmu yang bersih berhasil membuatnya gagal untuk sepenuhnya merasukiragamu ini. Namun memang benar kau memiliki kemampuan untuk dirasuki makhluk halus.”

Aku menelan ludah mendengar hal ini. Ternyata diriku memang berada dalam bahaya jika tidak waspada. Ustadz lalu memberikan beberapa nasehat dan amalan untuk mencegah terjadinya hal serupa.

“Kau harus senantiasa membaca doa perlindungan dan ayat suci Al-Quran, terutama ayat kursi agar makhluk itu tidak mendekatimu lagi. Juga jangan lengah, jaga pikiranmu agar selalu positif dan penuh kebaikan, jangan kosong karena itu pintu masuk makhluk untuk merasukimu.”

Aku mengangguk patuh mendengar seluruh nasehat ustadz. Mulai saat itu, aku berjanji untuk tidak lengah lagi dan senantiasa mengingat Allah serta membaca doa perlindungan di manapun aku berada agar terhindar dari gangguan makhluk halus seperti ini.

Setelah melalui pengalaman mengerikan itu, aku pun sadar bahwa ada banyak hal gaib di dunia ini yang tidak selalu tampak nyata bagi pandangan mata manusia biasa. Maka dari itu, penting bagi kita untuk senantiasa berlindung kepada Yang Maha Kuasa agar selalu terjaga dari segala gangguan makhluk halus.
Beberapa hari setelah peristiwa itu, aku kembali menjalani aktivitas seperti biasa. Namun kali ini dengan hati-hati dan selalu waspada. Aku rajin membaca doa perlindungan dan ayat suci Al-Quran setiap hendak bepergian, terutama sebelum menaiki angkutan umum seperti waktu itu.

Sepulang dari kampus, aku pun selalu menyempatkan diri untuk mengaji dan berzikir kepada Allah. Tentu saja semua itu kulakukan agar pikiranku selalu positif dan terhindar dari segala kemungkinan kekosongan yang bisa menjadi peluang bagi makhluk halus untuk mendekat.

Kali ini, ketika harus kembali ke Bank BSI untuk mengambil buku tabungan dan berkas lain yang sempat tertinggal, aku mengajak ayah dan ibu untuk menemaniku. Keduanya setuju dengan senang hati sembari tersenyum bangga melihat perubahan sikapku yang kini jauh lebih berhati-hati dan waspada.
Sesampainya di bank, seperti biasa aku langsung menuju loket pelayanan. Seorang petugas menyambutku ramah.

“Selamat datang di Bank BSI, ada yang bisa saya bantu?”

“Begini, Mbak. Beberapa waktu lalu saya sempat membuka rekening tabungan di sini dan meninggalkan buku tabungan serta berkas lainnya,” jelasku.

Petugas itu mengangguk, “Baik, Mas. Bisa saya lihat identitas dan nomor rekening Mas?”

Aku menyerahkan KTP dan nomor rekeningku. Petugas itu kemudian memeriksa data di komputernya.

“Oh, iya. Memang ada buku tabungan dan berkas atas nama Mas Fadil yang tertinggal di sini,” petugas itu membuka laci dan mengeluarkan barang-barang tertinggalku.

“Ini, Mas. Buku tabungan, KTP, dan kartu ATM semuanya ada di sini,” petugas menyerahkan barang-barang itu kepadaku.

“Terima kasih, Mbak,” ujarku lega sambil menerima barang-barang itu.

Setelah semua beres, aku mohon pamit kepada petugas dan melangkah keluar dari bank ditemani ayah dan ibu. Dalam perjalanan pulang, aku tidak henti-hentinya bersyukur dan memuji kebesaran Allah yang telah menyelamatkanku dari gangguan makhluk jahat.

“Syukurlah semuanya sudah beres, Yah,” ucapku pada ayah.

Ayah tersenyum hangat. “Iya, Nak. Ayah bangga melihat perubahan sikapmu yang lebih berhati-hati dan tidak lengah seperti sebelumnya.”

Ibu juga menimpali, “Apalagi kamu juga rajin beribadah seperti yang dianjurkan ustadz waktu itu. Ibu yakin, makhluk jahat itu tidak akan berani lagi mengganggu.”

Aku hanya mengangguk penuh syukur. Sejak saat itu, aku berjanji kepada diriku sendiri untuk senantiasa menjaga keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Karena sesungguhnya perlindungan utama kita adalah dari-Nya, Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Pengalaman mengerikan itu telah membuka mataku akan adanya alam gaib yang tidak kasat mata namun benar-benar ada di sekitar kita. Makhluk halus yang mengincar mereka yang lengah dan lalai dari mengingat Sang Pencipta. Maka dari itu, aku akan selalu menjaga kekhusyukan hatiku agar tidak menjadi wadah keberadaan makhluk jahat seperti itu lagi.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Pengembaraan Jiwa

Next Post

Empat Golongan yang Dirindukan Surga, Ustaz Ari Irawan Beri Pesan Ramadan

Related Posts
Total
0
Share