Berbagai Lapisan dalam Dunia Akademisi Memiliki Masalah Sendiri

Sosok Idhamsyah Eka Putra dalam diskusi (Foto: Hary Elta Pratama/suarakampus.com)

Suarakampus.com- Berbagai polemik terhadap kesejahteraan dosen datang dari berbagai arah dan daerah yang berbeda. Hal itu menjadi pembahasan Kaukus Indonesia Kebebasan Akademis (KIKA) dalam diskusi online via aplikasi Zoom Meeting dengan tema Kesejahteraan Dosen dan Problematika Perguruan Tinggi di Indonesia, Selasa (02/02).

Dosen Universitas Persada Indonesia Idamsyah Eka Putra mengatakan, berbagai lapisan dalam dunia akademisi memiliki masalahnya tersendiri, baik dari segi sistem maupun masalah internal. “Semua tingkat dalam dunia akademisi perlu dibenahi dari sistemnya sampai masalah internal lainnya,” ujarnya.

Persoalan tentang kekurangan Guru Besar dan standarisasi gaji Upah Minimum Rakyat (UMR) juga menjadi pusat perhatian terhadap problematika dalam perguruan tinggi.

“Di Indonesia seharusnya tidak lagi mempertanyakan tentang kekurangan Guru Besar, jika sistem dirubah dengan membuka slot kepegawaian serta standar gaji dosen masih di bawah UMR sebagian besar daerah di Indonesia,” sambungnya.

Pemateri selanjutnya, Kandidat PhD Vrije Unniversiteit Amsterdam, Hadi Rahmat Purnama menuturkan dalam masing-masing negara memiliki masalah akademisinya sendiri, baik dari segi kualitatif pendidikan maupun riset penelitian oleh dosen.

“Di Belanda memiliki sebuah asosiasi dosen antar kampus demi hak dan kewajiban mereka selaku tenaga pengajar, agar pencapaian kebebasan akademik dan standar kualitatif pendidikan termasuk dosen bisa diterapkan,” tuturya.

Kemudian, Kandidat PhD dan Staf Profesional University of Auckland, Nurul Kasyfita Church mengatakan, jika kebebasan akademisi di Indonesia ingin tercapai maka penerapan sistemnya menjadi perhatian bersama. “Kalau di University of Auckland, Selandia Baru mereka memang punya sebuah lembaga terpusat bagi para dosen sehingga dalam kepengurusan bisa lebih mudah dan cepat,” ungkapnya

Online signation memang diperlukan demi efisiensi pekerjaan serta adanya transparansi secara frontal untuk menutup celah gratifikasi demi kejelasan dalam sistem akademisi sehingga hal tersebut dapat diterapkan di Indonesia,” tutupnya. (gfr)

Wartawan: Hary Elta Pratama (Mg), Rafika Mardhatilla (Mg)

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Mentaati Program CHSE dan GPM, Pariwisata di Indonesia Sudah Bisa Beroperasi

Next Post

Media Harus Bersikap Netral dan Mendekatkan Diri pada Masyarakat

Related Posts
Total
0
Share
410 Gone

410 Gone


openresty