Media Harus Bersikap Netral dan Mendekatkan Diri pada Masyarakat

Ilustrasi framing media (Ilustrator: Meccarani/suarakampus.com)

Suarakampus.com- Secara umum media nasional telah memberitakan kasus intoleransi dengan baik dengan dorongan dan kontrol dari masyarakat. Hal tersebut disampaikan wartawan Sejuk, Thowik saat diwawancarai tim suarakampus.com terkait pandangannya terhadap pemberitaan isu intoleransi di media. Selasa (02/02).

Ia menjelaskan, kesadaran masyarakat sipil akan adanya indikasi kasus intoleran membantu media dan menimbulkan rasa percaya diri pada korban atau kelompok minoritas. “Dahulu media selalu memberitakan data subjektif, hingga kalangan minoritas merasa tersudutkan dan enggan untuk berpendapat,” jelasnya.

Lanjutnya, hal tersebut kerap terjadi pada pemberitaan media lokal di seluruh daerah dan sikap diskriminatif tetap dipelihara. “Sebagian media lokal masih subjektif atas unsur keberagaman dan masih ada indikasi dari kalangan mayoritas yang ingin menyingkirkan kalangan minoritas,” ungkapnya.

Seharusnya, media bersikap netral dan mendekatkan diri pada masyarakat sipil sehingga dapat bekerja sama dengan media untuk meningkatkan toleransi antar sesama. “Kami berusaha untuk mendekatkan diri dengan korban, mengimbangi data dan menggunakan diksi yang netral agar tidak menyudutkan,” terangnya.

Thowik menyebutkan, media yang peka atas isu keberagaman akan terus menggali dan menjalin relasi dengan seluruh pihak. “Secara personal kita bisa mengedepankan kepercayaan, namun sebagai jurnalis kita bersikap profesional dengan mengedepankan unsur keberagaman,” sambungnya.

Unsur keberagaman ini tidak hanya sebatas menghargai enam agama yang diakui di Indonesia, namun juga berlaku untuk kasus beberapa kepercayaan yang berasal dari nenek moyang. “Media harus memberitakan eksistensi masyarakat yang tidak memiliki agama resmi,” terangnya.

“Media atau jurnalis merupakan cerminan dari masyarakat, maka dari itu kita harus memberikan cerminan yang baik,” tambahnya.

Ia juga mengungkapkan, pemberitaan tidak dapat dilepaskan dari indikasi kepentingan tertentu yang merupakan tantangan terbesar bagi seluruh media. “Kepentingan ekonomi itu biasa, tapi kita tidak bisa mengorbankan eksistensi media atas dasar mencari keuntungan,” katanya.

Thowik berharap tantangan tersebut seharusnya mampu memacu media agar bergerak lebih baik lagi, sehingga ketika memberitakan isu keberagaman tidak lagi takut mengungkapkan fakta. “Kita harus memberitakan data apa adanya, tidak berindikasi menyudutkan, tidak menulis sesuai keinginan dan menghindari unsur subjektivitas,” ungkapnya

“Ini merupakan tugas untuk kita semua untuk memperbaiki pemberitaan keberagaman dengan memperhatikan aspek kemanusiaan dan sesuai dengan UUD 1945,” tutupnya.

Senada Thowik, Dosen Ilmu Sosial Mulyono mengatakan, toleransi perlu diterapkan sebagai wujud realisasi demokrasi yang sesuai dengan ketetapan UUD 1945. “Untuk mewujudkan masyarakat yang harmoni di tengah keberagaman suku, agama dan ras, maka hal ini harus segera didiskusikan lebih lanjut,” katanya.

“Keberagaman berpotensi sebagai spirit kontestasi, pertikaian, konflik dan energi pemberdayaan demokrasi, karena dengan keberagaman demokrasi dapat diwujudkan,” ujarnya.

Lanjutnya, upaya yang harus dilakukan agar masyarakat mencintai perbedaan dan bisa hidup berdampingan, maka diperlukan moderasi dalam beragama. “Kuncinya yaitu tidak fanatik dalam beragama dan seimbang dalam hal berkeyakinan,” ungkapnya.

Ada empat indikator dalam moderasi beragama yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal. “Kita harus mampu menghormati praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan, bertindak adil dan tidak bertindak ekstrem dalam mempraktikkan nilai agama sendiri,” sambungnya.

“Ini tidak lepas dari peran media yang mengkontruksi wacana dalam membentuk imajinasi publik, media memainkan peran sebagai kontruksi realitas sosial,” tambahnya.

Mulyono berharap, agar kalangan minoritas dan mayoritas memiliki kesadaran dan pemahaman mengenai pentingnya moderasi, memiliki kesadaran tentang perbedaan serta bisa menerima kehadiran perbedaan sebagai jalan satu-satunya mewujudkan keharmonisan.

“Ini harus dilakukan bersama dan tidak boleh dibebankan kepada salah satu pihak saja,” tutupnya. (gfr)

Wartawan: Firga Ries Afdalia

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Berbagai Lapisan dalam Dunia Akademisi Memiliki Masalah Sendiri

Next Post

Kuasa Hukum Keluarga Deki Apresiasi Komnas HAM

Related Posts
Total
0
Share
410 Gone

410 Gone


openresty