Cerita pada Kutukan Medusa, Bukti Intimidasi Hukum Terhadap Perempuan

Sumber : Pixabay.com

Oleh : Idhar Rahman

(Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang)

Kasus kejahatan seksual selalu menjadi bahan perbincangan publik. Betapa tidak, di sepanjang peradaban umat manusia, kejahatan seksual selalu saja terjadi. Hal ini bukan hanya bukti dari fenomena sejarah yang terus berulang, akan tetapi juga menunjukkan dampak dari supremasi gender maskulin atas feminim. Karena yang menjadi korban selalu perempuan.

Pada peradaban Arab Kuno, kelahiran anak perempuan dianggap sebagai aib bagi keluarga, sehingga tidak jarang para ayah mengubur bayinya hidup-hidup, tepat setelah ia dilahirkan. Jika bayi perempuan tersebut tumbuh dewasa, ia hanya akan menjadi pemuas hasrat seksual bagi laki-laki kelas atas.

Di Nusantara sendiri, perempuan tidak memiliki kesamaan hak dalam hukum masyarakat adat. Perempuan hanya diperbolehkan mengurus pekerjaan domestik dan reproduksi semata. Mereka juga dinilai seperti barang yang dimiliki oleh ayah atau suami mereka. Sehingga harus berperilaku sesuai apa yang diinginkannya.

Dalam banyak peradaban kuno lainnya, kejahatan seksual kepada perempuan bukanlah tindak kejahatan serius. Pasalnya, selama ini perempuan dianggap gender kelas dua yang tidak memiliki hak yang setara dengan laki-laki. Tak khayal, jika mereka lebih sering mendapatkan diskriminasi hukum daripada keadilan itu sendiri.

Cerita yang bisa kita angkat sebagai contoh dalam hal ini, seperti yang diceritakan pada cerita Medusa. Seorang Gorgon terkutuk dari mitologi Yunani Kuno. Penggemar series Percy Jackson ataupun cerita Dewa-Dewi Olimpus, tentu tak asing lagi dengan tokoh yang satu ini.

Bukan hanya cerita imajinasi karya Rick Riordan semata, hikayat Medusa diilhami dari mitologi Yunani Kuno, yang dipercaya oleh masyarakat setempat sepanjang imperium tersebut berjaya. Bahkan kisahnya dinukil dan diterjemahkan oleh banyak penulis seluruh dunia hingga kini. Jauh setelah runtuhnya peradaban Yunani dan cerita Dewa-dewi Olimpia dianggap mitos.

Diceritakan, Medusa adalah pendeta cantik yang tinggal di kuil Parthenon. Dia begitu dikagumi oleh para dewa. Bahkan, Dewa Poseidon sang penguasa laut, pun terpana pada kecantikannya.

Suatu ketika, dikala Medusa sedang sendirian, diam-diam Dewa Poseidon mendekatinya. Lalu Medusa yang sedang lengah saat itu, diperkosa oleh Dewa Poseidon.

Mengetahui kejadian itu, Dewi Athena murka. Kuil suci miliknya ternoda oleh perbuatan kotor tersebut. Maka penghakiman pun dilakukan dengan satu kesimpulan bahwa Medusa lah yang bersalah, karena ulah kecantikannyalah Dewa Poseidon tergoda.

Jatuhlah vonis dari Dewi Athena berupa kutukan, rambut indahnya berubah menjadi kumpulan ular yang sangat berbisa. Dan siapapun yang menatap matanya akan menjadi batu.

Sejak saat itu berubahlah nasib Medusa, yang dulunya dipuja-puja para dewa, menjadi monster yg menakutkan. Penderitaan tersebut tak berakhir di sana. Kepala Medusa dianggap sebagai sebuah piala yang diperebutkan, sehingga ia diburu oleh banyak pahlawan olimpia.

Tak satu pahlawan pun yang dapat membunuhnya, sampai akhirnya, tebasan pedang Persieus, anak dari Dewa Poseidon, sosok yang memperkosanya, berhasil memenggal kepalanya. Ironinya, sampai saat ini, justru ialah yang dikenal sebagai sosok jahat dan menakutkan.

Cerita Medusa memang hanya mitos. Namun di dunia nyata, tak sedikit perempuan yang bernasib sama seperti Medusa. Pada banyak kasus pelecehan dan pemerkosaan perempuan, alih-alih menghukum pelaku, justru yang disalahkan adalah perempuan itu sendiri dengan berbagai alasan. Di antaranya, karena penampilan yang dianggap mengundang birahi dan sebagainya.

Di sisi lain, hukuman para pelaku kejahatan seksual tidak pernah setimpal. Pelaku hanya diganjar dengan sangsi kurungan beberapa bulan saja. Setelah bebas, ia seperti tidak melakukan kejahatan apa-apa sebelumnya, bahkan bisa saja mengulang kembali perbuatannya.

Sementara itu, yang sebenarnya terhukum adalah korban. Mereka tidak bisa begitu saja lepas dari dampak trauma yang ditimbulkan. Ditambah lagi sangsi sosial dari masyarakat yang mendewakan keperawanan.

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi budaya ketimuran, masyarakat Indonesia menganggap wanita yang kehilangan keperawan di luar pernikahan adalah perempuan kotor/tidak suci. Sehingga alih-alih mendapatkan perlindungan, korban justru disisihkan dalam interaksi sosial, dipandang sebelah mata, bahkan diusir karena dianggap membawa aib bagi keluarga.

Selain menghukum pelaku kejahatan seksual seadil-adilnya, korban juga semestinya mendapatkan penanganan intensif sampai benar-benar sembuh dari trauma.

Sejauh ini, penanganan terhadap korban kekerasan seksual hanya dilakukan oleh organisasi sosial non pemerintahan yang belum mengakar sampai ke desa-desa pelosok Indonesia. Itu pun dengan pendanaan swadaya seadanya. Bahkan upaya yang mereka lakukan seringkali mendapat cibiran dari banyak kalangan.

Tentunya dalam hal ini, dibutuhkan peran pemerintah dari tingkat pusat sampai daerah sehingga tak ada lagi perempuan lain yang menjadi korban.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Surau Konstitusi Hadir sebagai UKM Baru, Bergerak di Ranah Hukum

Next Post

Lelah

Related Posts
Total
0
Share