Datang Tapi Tak Hadir

Ilustartor: Isyana Nurazizah Azwar

Oleh : Al Fikri (Mahasiswa Prodi Hukum Tatanegara UIN IB Padang)

Pagi itu, langit belum sepenuhnya cerah. Kabut tipis masih menggantung di sekitar gedung fakultas Ilmu Sosial. Mahasiswa mulai berdatangan, sebagian dengan mata sembab dan langkah berat. Tak sedikit yang datang hanya demi menempelkan jari ke mesin absensi, lalu segera menghilang entah ke mana. Begitulah rutinitas yang sudah menjadi kebiasaan: datang, absen, lalu lenyap.

Raka, mahasiswa semester lima jurusan Sosiologi, duduk di bangku belakang ruang kelas 2.12. Hoodie abu-abu menutupi kepalanya, dan kopi sachet yang masih mengepul diletakkan di atas meja. Di depannya, laptop terbuka, namun yang terbuka hanyalah tab e-commerce yang menampilkan promo sepatu diskon. Buku catatan tidak terlihat, dan mata Raka lebih sering menatap layar ponselnya daripada ke depan kelas.

“Kita akan bahas Gramsci hari ini,” suara Pak Bagus, dosen Filsafat Sosial, membuyarkan keheningan.

Beberapa mahasiswa menegakkan duduknya, sebagian lain menguap tanpa malu. Pak Bagus menatap satu per satu wajah mahasiswanya. Ia tahu, dari puluhan pasang mata yang menatapnya, hanya segelintir yang benar-benar hadir secara utuh. Sisanya hanya tubuh-tubuh yang memenuhi ruang kelas.

“Siapa yang bisa jelaskan apa itu hegemoni?”

Hening. Lalu, bunyi notifikasi ponsel dari barisan tengah memecah suasana. Pak Bagus tersenyum pahit.

“Baik, kalau tidak ada yang jawab, saya lanjutkan. Tapi renungkan ini baik-baik: kalian datang ke kampus, tapi apakah kalian hadir sebagai intelektual muda? Atau hanya jadi peserta pasif dalam sistem yang kalian sendiri tidak pedulikan?”

Raka menatap layar laptopnya. Ia mengetik pelan: Hari ini saya datang, tapi tidak hadir.

Usai kuliah, Raka berjalan ke kantin. Di sana ia bertemu Dira, teman sekelasnya yang dikenal kritis dan gemar membaca. Dira sedang membaca buku kecil bertajuk “Intelektual dan Kuasa” sambil menikmati teh hangat.

“Lu serius tadi nulis gitu di laptop?” tanya Dira sambil tersenyum.

Raka mengangguk. “Entahlah. Gue ngerasa aneh. Dulu waktu gue diterima di sini, gue semangat banget. Pengen belajar, pengen paham dunia. Tapi sekarang… kayak semua ini kosong.”

“Karena lu berhenti baca, Rak. Lu berhenti bertanya. Lu pikir kuliah cuma soal datang dan dapat nilai.”

“Iya. Tapi lihat sekeliling kita, Dir. Banyak yang kayak gue. Bahkan lebih parah.”

“Justru itu. Kalau semua ikut arus, siapa yang lawan?”

Percakapan mereka terputus oleh riuh obrolan mahasiswa lain yang datang ke kantin. Suara tawa, bunyi notifikasi, dan cerita soal tugas yang dikerjakan pakai AI.

“Kita sedang dibesarkan untuk jadi generasi cepat lulus, bukan generasi berpikir,” gumam Raka.

Dira menatapnya dalam. “Kalau gitu, mari kita mulai dari hal sederhana. Baca satu buku sebulan. Tanya satu hal setiap kuliah. Dan jangan cuma datang, tapi benar-benar hadir.”

Raka tersenyum, tapi tidak menjawab. Dalam hati, ia tahu niat untuk berubah itu ada, tapi entah mengapa selalu kalah oleh rasa malas yang sudah menjadi kebiasaan. Besok pagi, ia tahu dirinya akan kembali duduk di bangku belakang, membuka laptop bukan untuk belajar, tapi untuk mengecek notifikasi. Ia tahu, Dira benar. Tapi di sekelilingnya, budaya abai sudah jadi norma.

Beberapa minggu berlalu. Tidak banyak yang berubah. Raka masih datang ke kelas, duduk di belakang, mencatat jika sempat, lebih sering tidak. Pak Bagus pun tampak semakin lelah, namun tetap berdiri di depan kelas dengan semangat yang tak putus.

Hingga suatu hari, di akhir semester, saat suasana kelas hampir kosong, Pak Bagus memandangi Raka dan berkata, “Kamu tahu, Raka. Saya sering berharap ada satu saja mahasiswa yang benar-benar hadir. Tapi kadang, saya pun lelah berharap.”

Raka mengangguk pelan, namun tetap diam. Ia menunduk, menutup laptopnya perlahan, dan pergi meninggalkan ruang kelas. Tidak ada perubahan, tidak ada tekad baru. Ia tetap Raka yang sama.

Dan kampus pun tetap seperti biasa: dipenuhi mahasiswa yang datang, tapi tak pernah benar-benar hadir.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Finalis Duta Kampus UIN IB Siap Tampil Optimal

Next Post

IMSS Bakal Gelar Rihlah Silaturahmi 2025, Di Pantai Carolina

Related Posts

Alam

Oleh: Nada Asa Fhamilya Febria Andre (Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang) Banyak insan yang menggambarkan kebahagiaannya pada alamKata…
Selengkapnya
Total
0
Share
Just a moment...