Oleh: Nari Putri (Mahasiswi UIN Imam Bonjol Padang)
Bunyi ketukan pintu begitu keras, membuatku terbangun dari tidur lelapku. Lengkingan suara ibu memanggil namaku, aku pun menyahut seadanya karena mataku masih enggan dibuka. Ibu semakin menggedor-gedor pintu kamarku tiada henti, kemudian aku melirik ke samping, kakakku masih nyaman dengan posisi tidurnya, matanya masih terpejam. Tak sedikitpun ia terganggu dengan suara ibu.
Dengan langkah terseret aku mendekati pintu kemudian membukanya. Sesosok perempuan setengah baya menatapku dengan penuh kasih sayang. Deretan gigi ibu terlihat rapi saat beliau tersenyum sambil berbicara padaku. Ibu menitipkan pesan agar aku mematikan kompor saat air telah mendidih. Kemudian, ibu pergi ke tempat bibi, untuk membicarakan sesuatu.
Dengan langkah gontai, aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Aku melihat bang Febri nonton di depan televisi. Apa salahnya sih ibu minta tolong aja sama abang? dengan mengomel aku duduk di depan kompor. Sifat aku yang satu ini sulit sekali untuk dilenyapkan.
Kumandang adzan Ashar bergema, menandakan bahwa waktu sholat telah tiba. Aku melihat air telah mendidih, dengan sigap aku menyalinnya ke cerek. Setelahnya menunaikan kewajiban menunaikan sholat dengan khusyuk.
Kala sore suasana rumah memang sepi, tapi saat malam hari kami sekeluarga akan berkumpul, bercerita dan tertawa bersama. Aku adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara dengan lima saudara laki-laki dan satu saudara perempuan. Saat ini umurku beranjak sembilan tahun, menempati kelas empat di sekolah dasar.
Biasanya sore sehabis ashar aku dan kakakku Yani akan mencuci pakaian ke kali di pinggir rumah. Sudah beberapa hari pakaianku menumpuk di kamar mandi. Di kampungku, mencuci di kali adalah hal yang biasa. Mulai dari emak-emak sampai anak-anak seusiaku sudah antrian untuk menunggu giliran.
Saat menginjak umur Sembilan tahun aku dididik oleh ayah dan ibu untuk mandiri. Setidaknya aku bisa mencuci pakaianku sendiri. Agar aku tidak menjadi anak manja yang memperbudak orang tuanya saja. Aku diajarkan nilai-nilai kesopanan dari kecil. Bagaimana berbicara dan bertingkah laku dengan orang yang lebih besar ataupun kecil dariku.
Cuaca sore ini cukup mendung, angin melambai-lambai dengan tenang. Awan berbalik ke arah barat. Sekumpulan burung berputar-putar di atas langit. Ada perasaan yang mengganjal di hatiku. Namun aku sendiri tak mengetahuinya.
Aku dan kakakku berjalan melewati sekelompok anak-anak yang sedang bermain. Ada yang bermain petak umpet, kelereng dan layang-layang. Ada Beni, Yuyun, Ila dan masih banyak lagi. Mereka semua adalah teman-temanku.
Aku ingin bermain, namun dengan keranjang baju disisi kananku membuatku terus melangkahkan kaki dan hanya melewati mereka dengan sapaan dan senyuman. Aku harus menyelesaikan pekerjaan dulu, baru setelah itu bermain.
Suasana di kali cukup lengang, barangkali emak-emak di sini telah selesai mencuci pakaiannya. Akupun segera membereskan pekerjaanku sebelum senja terlihat di ufuk barat. Sebuah hentakan keras aku rasakan dari bawah bumi. Aku menatap kakakku dengan tanda tanya. Ia pun merasakan hal yang sama. Sepersekian detik guncangan itu mengayun dengan kencangnya. Kami panik, gusaran cemas di wajah kakakku terlihat jelas. Ia menggenggam tanganku. Kami berlari jauh dari tempat berdiri semula. Pepohonan kelapa berjejer tepat di tempat kami mencuci pakaian. Kami berlari semakin menjauh, takut tertimpa pohon kelapa.
Semua orang berlari keluar dari dalam rumahnya. Hanya hitungan detik beberapa rumah tampak runtuh. Jantungku berdegup dengan kencang. Gempa yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Bumi kembali diam, seakan mendengar jeritan hati manusia agar ia tak mengeluarkan kemarahannya lagi.
Bagaimana dengan keadaan rumahku?, bagaimana dengan ayah dan ibu serta abang-abangku?, aku terus mengucap istighfar. Allah memberikan cobaan-Nya kepada penduduk Kota Padang. Kami lalu bergegas pulang, dijemput oleh abangku. Ibu segera memeluk kami. Kekhawatiran terlihat jelas dari raut wajah ibu. Semua berkumpul, alhamdulillah keluargaku tak ada yang terluka. Namun ayah belum pulang dari tempat kerja. Aku terus berdoa semoga ayah selamat.
Yang membuatku sangat bersyukur ialah Allah telah membangunkanku dari tidur lelap. Sehingga aku dan kakakku tidak tertimpa puing reruntuhan dari dinding kamarku. Semua orang tampak takut, gelisah, cemas dan menangis. Perasaan bercampur menjadi tak karuan. Listrik padam, jaringan telepon putus. Orang-orang mulai hilir mudik dengan motornya. Mencari dataran tinggi. Isu-isu tsunami merambah dengan cepat membuat situasi semakin kacau. Tak terkecuali keluargaku, namun aku menunggu ayah pulang. kehadiran ayah adalah hal yang aku nantikan.
Aku mendengar suara adzan, ada sedikit perasaan merinding di dalam tubuhku. Entah kenapa akupun tak tahu, bumi seakan tak menginginkan manusia lagi. Terlalu banyak dosa yang telah manusia perbuat.
Orang-orang yang berkumpul di depan lapangan rumah tetanggaku, mulai kembali ke rumahnya masing-masing untuk menunaikan sholat magrib. Hatiku senang melihat ayah pulang, ayah bilang Kota Padang seperti kota mati. Bangunan-bangunan yang menjulang tinggi terhempas ke tanah. Rumah-rumah banyak yang hancur. Masjid sebagai rumah Allah bahkan tak terbentuk lagi. Betapa dahsyat goncangan-Nya padahal hanya dalam hitungan detik semua menjadi luluh lantah.
Kemacetan bagaikan roda-roda kereta, tak ada celah untuk menyelinap. Ada yang meninggalkan motor dan mobilnya begitu saja dan memilih untuk berlari.
Kami memilih untuk tidur di teras rumah. Guncangan sebesar 7,9 skala ricther membuat trauma di hati. Gempa yang berpusat di Pariaman begitu dahsyat dirasakan oleh warga Kota Padang.
Senja masih terlihat cantik di langit yang mulai berubah menjadi gelap. Ibu mulai menyalakan lilin karena malam mulai gelap gulita. Kami mulai bercerita. Meski dengan hati yang masih terluka. Entah berapa banyak korban yang tertimpa reruntuhan.
Malam mulai pekat, awan malam terlihat jelas di langit yang tampak kelam. Guncangan-guncangan kecil terus menggoyang tanpa henti. Mungkin esok pagi pun akan tetap terasa. Kenangan yang mungkin akan terus terngiang dalam benakku. Selamat dari gempa yang dahsyat. Materi tak berarti apa-apa lagi. Selagi nyawa masih diberikan Sang Pencipta, aku sangat bersyukur. Semua keluargaku selamat. Di sudut kenangan ini aku membagikan ceritaku, hanya beberapa bagian saja dalam hidupku dari sekian banyak kenangan masa kecilku.