Seperti biasa, aku dan kedua sahabatku selalu makan di kantin meski dua sahabatku itu berbeda jurusan denganku. Ya, Arum dan Amel memang jurusan IPA. Kami berbincang-bincang karena ini tahun terakhir kami berada di kelas 12. Tentu saja semua siswa sudah mengambil rencana ingin melanjutkan kuliah di perguruan tinggi yang mana, serta memilih jurusan yang paling diminati.
“Rum, kamu ambil kemana habis ini?” tanya Amel. Sepertinya dialah yang paling ambisius dengan topik semacam ini.
Arum terlihat berpikir, “Kedokteran, Maybe?”
“Kedokteran mana?” sahut Amel.
“UNAND. Aku nggak dibolehin keluar Sumatra Barat sama orang tuaku.”
Wajah Amel terlihat ragu. Aku menyadari itu.
“Kamu yakin, Rum?” tanya Amel.
“Insyaallah.” jawab Arum mantap.
“Kalau kamu, Ra?” tanya Amel padaku.
Aku mengangkat kepalaku lalu tersenyum tipis kepada Amel. Apa yang harus ku jawab? Mengambil perguruan tinggi di luar negeri? Bukankah setidaknya aku harus sadar diri?
“Hmm, aku mau ambil di Mesir atau Turki.”
“Wah, luar negeri dong, Hebat!” ucap Arum dan diiringi dengan senyuman bangga Amel.
Aku hanya menyengir walau aku tidak tau apakah jalan untuk mencapainya akan semulus ucapanku. Kini giliranku bertanya pada Amel, “Kamu mau ambil kemana Mel?”
“Oh, kalau aku sih mungkin tempatnya sama di UNAND juga. Tapi, jurusannya ambil psikologi deh.”
Aku dan Arum tersenyum. Kami mendukung keputusan satu sama lain dan saling menyemangati satu sama lain.
Beberapa bulan berlalu, semua siswa dinyatakan lulus. Aku senang, tentunya. Karena aku termasuk tipe yang sudah muak dengan sekolah itu dan dengan berbagai sistemnya yang lebih sering mengunggulkan jurusan lain dibanding jurusan keagamaan punyaku. Sungguh, Aku sangat muak. Akhirnya aku lulus. Kini tinggal menentukan kemana aku akan pergi. Aku mulai mencari beasiswa keluar negeri. Apa saja persyaratannya dan aku menemukan satu kesimpulan.
Jika aku memilih Turki, aku harus punya ongkos pesawat pulang-pergi ke Jakarta. Uang penginapan? Rasanya tidak perlu. Keluargaku ada yang tinggal disana. Dan jika aku memilih Mesir, aku bisa mengikuti tes kemenag. Namun, hanya beberapa orang yang bisa langsung berangkat ke Mesir dengan beasiswa. Selebihnya yang dinyatakan lulus tanpa beasiswa bisa mengikuti pelatihan bahasa di sebuah Ma’had yang telah ditentukan.
Tidak buruk, aku bisa mencobanya. Namun, lagi-lagi aku harus dipukul mundur oleh keadaan. Uangnya darimana?
Setelah aku lulus, yang bisa aku lakukan hanyalah membersihkan rumah dan menjaga adikku yang berumur 4 tahun. Karena semua orang di rumah sibuk bekerja sehingga adikku tidak ada yang menjaga. Padahal aku sudah berniat usai lulus MAN, aku ingin bekerja untuk tambahan persiapan kuliah.
Alhasil, aku mencoba daftar perguruan tinggi Islam di Padang. Alhamdulillah, aku lulus dengan jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA). Saat itu, aku tidak merasakan euphoria seperti teman-teman sekelasku yang lain. Aku merasa biasa saja karena impianku bukanlah di Indonesia.
Lagi-lagi aku harus mengalah. Aku ingin mendaftar keluar negeri karena terkendala uang dan aku pun mundur. Aku membesarkan hatiku sekali lagi bahwa masih ada kesempatan-kesempatan lain untukku pergi ke Mesir ataupun Turki. Seperti saran ibuku, aku pun mendaftar ulang ke perguruan tinggi Islam di Padang. Aku yakin, Allah memilihku di Padang karena ada hikmah dibaliknya. Aku masih yakin bahwa dunia ini punya kisah menarik karena Allah pemilik skenario terbaik.
Singkat cerita, aku pun menjadi mahasiswa di perguruan tinggi Islam di Padang. Setelah menjalani beberapa Minggu perkuliahan, aku mendengar bahwa tes kemenag untuk ke Mesir telah diadakan. Aku menelan ludah, biaya pendaftaran tesnya tidak murah sedangkan selama di Padang aku selalu kesulitan dengan uang. Sampai-sampai aku sering pergi membaca buku di perpustakaan kampus hanya untuk mengganjal perut yang belum makan.
Rasanya aku ingin menangis saat itu. Keadaan sungguh tidak berpihak kepadaku. Padahal kesempatan sudah ada di depan mata. Namun, lagi-lagi aku tidak bisa mengambilnya karena keterbatasan ekonomi yang aku punya.
Beberapa bulan kemudian, aku bertemu dengan kedua sahabatku. Kami bertiga kuliah di Padang. Saat itu hari gelap, kami berkumpul di kos Arum. Awalnya kami hanya berbincang santai sambil sesekali tertawa hingga salah satu dari kami mulai membahas hal yang sensitif.
“Kenapa ya, akhirnya bisa jadi kayak gini?” ucapku lantas tertawa miris.
Kedua temanku pun terdiam. Aku melihat gurat kesedihan di wajah mereka. Ya, kami mungkin bisa dikatakan orang-orang yang gagal. Arum yang menyerah dengan kedokteran setelah ditolak 4 kali oleh UNAND dan diterima di Universitas swasta dengan jurusan Sistem Informasi (SI). Amel yang berakhir di Poltekes Padang dengan jurusan Kebidanan. Mereka tentu memiliki alasan masing-masing mengapa mereka harus menyerah dengan mimpi mereka.
Seperti Arum yang menyerah karena ia sudah belajar mati-matian untuk mendapatkan kedokteran namun dia tidak bisa mendapatkannya. Padahal ia memiliki ekonomi yang sangat cukup untuk mengambil jurusan tersebut. Kemudian Amel yang ditolak Unand namun sebelumnya ia sudah diterima di Poltekes. Amel tidak bisa memilih. Mau tak mau ia harus menerima Poltekes walaupun dengan keadaan terpaksa.
Kami saling memandang satu sama lain dengan hati yang pedih. Mimpi yang kami bangun ternyata tidak semulus rencana, sehingga kini kami seolah berjalan terseok-seok melanjutkan hidup dengan terpaksa.
“Menurut kalian, bahagia itu apa sih?” itu Arum yang berbicara.
Benar, bahagia itu apa?” punya banyak uang?”
Amel tertawa, “Uang memang segalanya Rum. Kamu mungkin nggak pernah ngerasain gimana jadi kami karena kamu punya uang yang lebih dari cukup.”
Amel mungkin sedikit tersinggung.
“Kamu nggak tau Rum, gimana pedihnya merelakan mimpi cuma karena terkendala dengan uang,” sahutku.
Arum menunduk, ia sepertinya paham bagaimana rasanya meskipun ia lahir di keluarga yang berada.
“Aku paham tapi, kalian pernah mikir nggak? Kenapa kita nggak bahagia padahal yang kita pilih itu adalah pilihan kita sendiri?”
Aku dan Amel terdiam.
“Kuncinya cuma bersyukur, Allah bakal kasih keberkahan bagi yang bersyukur. Nggak apa-apa nggak bahagia, tapi hidup kita berkah,” ucap Arum.
Aku mengangkat kepala. “Benar, Arum benar.”
“Jalani aja dulu pilihan masing-masing, kesempatan itu ada, hidup kita masih panjang,” lanjut Arum.
“Seenggaknya kalian harus bersyukur, hari ini kalian kuliah. Coba lihat ke luar, masih banyak yang nggak kuliah, kalian harus coba bersyukur.”
Aku mengusap wajah, perlahan aku mulai merasakan ketenangan dari ucapan Arum dan Amel pun begitu.
“Nggak tahun ini, kita bakal nyoba tahun depan. Usaha nggak akan mengkhianati hasil,” ucap Arum.
“Kalian lupa dengan Thomas Alva Edison, dia buat lampu nggak langsung jadi, dia mencoba 1000 kali, di percobaan 1000 barulah dia berhasil.”
“Apa artinya?”
“Artinya kita harus mencobanya lagi dan lagi. Mungkin tahun ini kita menyerah. Tapi, masih ada tahun besok dan tahun-tahun berikutnya untuk kita coba,” nasihat Arum.
“Jadi, jangan menyesali apapun. Buruk bagi kita belum tentu buruk bagi Allah begitupun sebaliknya.”
Aku mengangguk. Ucapan Arum perlahan menyadarkanku walau rasa tidak rela itu masih bersemayam di hati. Perlahan aku ingin mencoba menerimanya. Mungkin dipilihanku ini Allah menyembunyikan hal-hal baik untukku. Aku melirik Amel yang sejak tadi diam saja. Kami bertiga saling melirik lantas tertawa bersama. Motivasi dari Arum benar-benar membangun semangat kami. Arum menyelamatkan kami dari ombak yang membuat kami terombang-ambing di laut.
Penulis: Nadhira Syauqi (Mahasiswi Prodi Pendidikan Bahasa Arab, UIN Imam Bonjol Padang)