Suarakampus.com- Taufiqurrahman sampaikan orasi ilmiah soal altruisme dalam literasi intelektual spiritual sosial Imam Al-Ghazali. Hal itu disampaikan saat pengukuhannya sebagai guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang di gedung Auditorium Prof. Mahmud Yunus, Kamis (02/06).
Taufiqurrahman mengatakan manusia cenderung tidak memahami dan melupakan hakikatnya dalam konteks persaudaraan. Hal itu membuat individualitas dalam diri seseorang berubah setiap waktu demi mencapai tujuan hidupnya.
“Ketika ia mengakui eksistensi orang lain, saat itu jugalah ia merasa gamang untuk dilupakan hingga kepeduliannya terhadap orang lain jadi hilang,” ungkapnya.
Taufiqurrahman menuturkan manusia seringkali berangan-angan untuk menjadi kaya agar menjadi pribadi yang dermawan. Ia menyebut, altruisme hadir sebagai solusi dalam menjawab keresahan manusia saat kondisinya mengalami keterpurukan.
“Saat manusia jadi miskin, ia cenderung takut untuk bersedekah sehingga validitasnya sebagai orang kaya akan luntur. Namun, hal itu tak akan berpengaruh bagi yang memegang teguh altruisme sebagai bentuk tertinggi dari kedermawanan,” jelasnya saat menyampaikan orasi ilmiah.
Sambungnya, altruisme adalah sikap mengedepankan kepentingan orang lain diatas kepentingan pribadi terlepas dari keadaan sosial dan ekonominya. “Seorang yang dermawan akan memberi saat ia punya harta lebih, tapi sikap altruisme akan menyumbangkan hartanya baik di kala kaya maupun saat berkekurangan,” ujarnya.
Kemudian, Taufiqurrahman menjelaskan manusia harus bersikap altruisme sesuai anjuran dalam Alquran dan Hadits Nabi. Katanya, tema-tema keislaman yang telah dirumuskan Imam Al-Ghazali telah mengarahkan umat maslim untuk cinta altruistik.
“Karena merupakan level tertinggi dari kedermawanan, Imam Al-Ghazali menganjurkan sikap ini agar ada dalam diri setiap muslim,” terangnya.
Ia berharap agar umat muslim diseluruh dunia bisa mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam altruistik guna melatih jiwa agar senantiasa memberi saat memiliki kelebihan maupun tidak.
“Sifat ini perlu kita realisasikan agar jiwa individualistis manusia terkikis serta menumbuhkan rasa persaudaraan, hingga akhirnya tercipta persatuan dan kesatuan,” tutupnya. (hry)
Wartawan: Idhar Koto (Mg), Maisy Dwi Safitri (Mg)