Dinamika Penggunaan Harta Pusaka Tinggi dari Masa Ke Masa, Bolehkah Dijual ?

Sumber: Pixabay.com

Oleh: M. Rafi Putra Pratama 

Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam (SPI) UIN Imam Bonjol Padang

Sudah bukan barang baru lagi bahwa selain dengan rendangnya, ranah Minangkabau sudah lama terkenal dengan adat istiadatnya yang kental. Sistem kekerabatan matrilineal atau jalur ibu yang tetap dipertahankan hingga sekarang menjadi ciri khas etnis Minangkabau di antara etnis-etnis lainnya yang ada di Indonesia. 

Bahkan, cara hidup orang Minang  sudah ada sejak sebelum nama Minangkabau itu sendiri, orang-orang minang telah lama berpegang teguh pada pepatah yang berbunyi “Alam takambang jadi guru.” Pepatah ini memiliki makna bahwa segala sesuatu yang ada disekitar (alam) dapat dimanfaatkan atau diambil hikmahnya oleh manusia.

Orang-orang Minang percaya bahwa segala sesuatu yang telah diciptakan oleh Allah pasti ada sebab dan manfaatnya. Dari air sungai yang terus mengalir saja kita dapat mengambil pelajaran, bukankah jika air tersebut hanya diam di satu tempat ia akan rusak? Itulah orang-orang Minang, mereka dapat belajar dari apapun yang telah Allah ciptakan di sekitar mereka.

Ketika Minangkabau berintegrasi dengan islam, tepatnya setelah peristiwa pemurnian agama oleh kaum Paderi, banyak dari kebiasaan orang Minang yang melanggar syariat dilarang, seperti berjudi, sabung ayam, dan minuman keras. Aturan-aturan adat yang telah ada sebelumnya juga disesuaikan dengan syariat islam, salah satunya adalah tentang pembagian harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. 

Berbeda dengan sistem aturan pewarisan dalam islam yang telah diatur secara jelas oleh al-Qur’an di surat An-Nisa ayat 11-12, pembagian warisan dalam adat Minangkabau memiliki tata cara yang berbeda. Di ranah Minang warisan dibagi menjadi dua, yaitu harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Hal ini menjadi kontroversi, khususnya di kalangan ulama karena dianggap tidak sesuai dengan hukum pewarisan yang ada di dalam islam, bahkan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawiy yang adalah seorang ulama besar dari Minang memandang bahwa harta tua (harta pusaka) adalah harta yang bersifat syubhat, beliau sedih dan kecewa memikirkan negri tumpah darahnya yang masih menggunakan adat jahiliyah. 

Syekh Ahmad Khatib tidak ingin pulang ke Minangkabau lagi walaupun cintanya pada tanah kelahirannya ini begitu besar, dalam sebuah karangannya, beliau pernah menulis bahwa beliau lebih ridha mati di negeri lain daripada pulang ke tanah yang berpusaka pada kemenakan itu (Minangkabau).

Dr. Abdul Karim Amrullah (ayahanda Buya Hamka) berpendapat lain, ia mengemukakan bahwa harta tua itu bukan syubhat, melainkan harta musabalah, begitu juga pendapat yang dikemukakan oleh ulama-ulama yang telah memperluas kuasa syara’ dan melapangkan adat di Minangkabau. Mereka mengatakan bahwa harta pusaka tinggi tidak boleh dibagi-bagi, yang boleh diwariskan ialah harta pencaharian hasil jerih payah orang tua yang disebut dengan harta pusako rendah di Minangkabau dan boleh dibagikan menurut hukum faraidh. 

Harta pusako tinggi disamakan derajatnya dengan harta wakaf yang jumlahnya sama sekali tidak boleh berubah, tetapi boleh dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Lantas bagaimana dengan fenomena penjualan harta pusaka tinggi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat saat ini? Apakah hal ini bisa dibenarkan?.

Masalah ekonomi menjadi faktor utama terjadinya fenomena penjualan harta pusaka tinggi di ranah Minangkabau. Seluruh rakyat Minangkabau paham bahwa harta pusaka tinggi ini tidak boleh dijual, tapi apalah daya?, ketika banyak perut lapar yang perlu diisi, hutang-hutang harus dilunasi, sedangkan pendapatan sehari-hari tidak lagi mencukupi. Hak inilah yang menjadikan orang-orang menjual harta pusaka tinggi menjadi satu-satunya solusi. 

Ada tiga alasan yang membolehkan digadaikannya harta pusaka tinggi, tetapi tidak menjualnya, yaitu rumah gadang katirisan (rumah gadang yang sudah rusak dan harus diperbaiki, sementara tidak ada uang sama sekali untuk memperbaikinya), gadih gadang yang alun balaki (gadis yang sudah patut bersuami tetapi terkendala oleh masalah biaya untuk menikah), dan mayat tabujua di dalam rumah (mayat yang belum dikuburkan karena masalah ekonomi). Untuk masalah ekonomi yang selain tiga tersebut harta pusaka tinggi tidak boleh digadaikan, sehingga kembali lagi pada si pengelola untuk memanfaatkan harta pusaka tinggi tersebut dengan sebaik-baiknya.

Seiring dengan berjalannya waktu, penggunaan harta pusaka tinggi di Minangkabau tidak lagi hanya berbentuk sawah atau ladang saja, tetapi masyarakat mulai menggunakannya untuk disewakan dalam bentuk kos-kosan ataupun rumah. Hal ini menimbulkan pertanyaan dan kontroversi, bukankah harta pusaka tinggi sejak dulu memang dimanfaatkan dalam bentuk yang seperti itu (ladang dan sawah)? 

Pada hakikatnya harta pusaka tinggi ada untuk membantu perekonomian orang-orang di suatu kaum atau suku yang memilikinya, bukankah jika tanah itu tidak lagi memberikan manfaat pada si pemilik ia menjadi tidak berguna? Membangun tanah pusaka tinggi menjadi kos-kosan tidak lantas merubah esensinya sebagai harta pusaka tinggi, jika pemiliknya ingin mengubahnya lagi kepada bentuk semula yaitu sawah atau ladang. 

Hal ini bisa saja dilakukan, walaupun tentunya akan memakan biaya yang lebih besar. Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat adalah sebuah janji pasti bagi bisnis kos-kosan ataupun kontrakan rumah, hal ini tentunya akan memberikan manfaat yang lebih besar dan menjamin bahwa tanah pusaka tinggi tersebut tidak akan dijual ataupun berpindah tangan.

Pada akhirnya penggunaan harta pusaka tinggi telah dan pasti akan mengalami perkembangan dari masa ke masa, jika dulu hanya dimanfaatkan dalam bentuk sawah atau ladang saja, seiring dengan berjalannya waktu saat ini sudah mulai disewakan dalam bentuk rumah ataupun kos-kosan. 

Hal ini boleh-boleh saja dilakukan, karena pada hakikatnya tidak mengubah esensi dan fungsi utama dari harta pusaka tinggi itu sendiri, yaitu memberikan manfaat kepada pengelolanya di bidang ekonomi. Adapun yang tidak dibolehkan adalah menjualnya, karena kedudukan tanah pusaka tinggi telah disepakati sama dengan tanah wakaf, yaitu boleh dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya tetapi tidak boleh dijual ataupun berubah jumlahnya.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Feminisme di Minangkabau

Next Post

Uang Japuik dan Adat Istiadat di Pariaman

Related Posts

Nasi Vs Es Teh

Oleh: Nadhira Syauqi (Mahasiswi Pendidikan Bahasa Arab, UIN Imam Bonjol Padang) Teh atau es teh adalah salah satu…
Selengkapnya
Total
0
Share