Oleh: Al Fikri
Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Imam Bonjol Padang
Tidak berlebihan kiranya, Jika publik saat ini sampai pada titik pandangan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) sedang tidak baik baik saja. MK sedang mempertaruhkan eksistensinya. Putusan gugatan uji materi terkait dengan batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden yang tertuang dalam Undang Undang No.7 Tahun 2017 tentang kepemiluan membuat penjaga benteng terakhir konstitusi itu mendapatkan sorotan yang sangat buruk dari berbagai pihak.
Dalam Putusan MK No. 90/ PUU – XXI / 2023 yang dibacakan pada tanggal 16 Oktober lalu, Majelis hakim menyatakan usia minimal Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) paling rendah 40 tahun atau pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah. Putusan ini tidak hanya menimbulkan kontroversi saja, tetapi juga sarat dengan permainan politik dan campur tangan.
Publik meyakini bahwa putusan yang lahir dari permohonan uji materi yang diajukan oleh seorang mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqqibru disinyalir untuk membuka jalan kepada putra sulung Presiden Jokowi dan keponakan dari Ketua MK Anwar Usman, yaitu Gibran Rakabuming Raka untuk maju dalam kontestasi politik tahun 2024 sebagai Cawapres. Akhirnya memang publik menjadi saksi bahwa akhirnya Gibran disepakati oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) untuk mendampingi Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 2024 nanti.
Putusan itu menjadi buah bibir karena proses pengambilan keputusan yang tak biasa, tidak hanya publik, anggota MK juga mempersoalkan putusan tersebut, Hakim konstitusi yang mulia Saldi Isra mengungkapkan dalam dissenting opinionnya bahwa putusan ketua MK itu membingungkan, jauh diluar batas penalaran, serta aneh luar biasa.
Dinamika pengambilan keputusan ini juga menimbulkan tanda tanya besar oleh khalayak ramai, Juga dalam Dissenting Opinionnya hakim konstitusi yang mulia Saldi Isra menyebutkan bahwa “Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat” artinya ada perubahan pendirian hakim dari yang semula menolak permohonan yang Anwar Usman di dalamnya tidak ikut memutus menjadi mengabulkan perkara yang Anwar Usman terlibat dalam pengambilan keputusan. Saldi Isra juga sempat menyinggung putusan sebelumnya yaitu putusan No 29, 51 dan 55 yang secara eksplisit, ia menjelaskan ihwal usia dalam norma pasal 169 q UU NO 7/ 2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya atau open legal policy. Sehingga putusan tersebut seharusnya sudah dapat menutup tindakan lain, kecuali dilakukan oleh pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR/ Lembaga Legislatif.
Sebagai lembaga negara pengawal konstitusi yang mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki MK sangatlah besar, bahkan mutlak. Tentunya kewenangan dan kekuasaan yang besar sangatlah rentan dengan penyelewengan. Putusan MK bersifat Final dan mengikat, namun putusan yang dibuat suka suka, serampangan, serta mengandung unsur politis yang kuat karena takluk pada kekuasaan. Muru’ah dari Mahkamah Konstitusi jelas dipertaruhkan.
Kita Semua tentunya sangat sepakat, bahwa MK harus dijaga dan dirawat. Kita semua tidak menginginkan lembaga yang amat sangat mulia dikendalikan oleh orang orang yang tidak memperdulikan kemuliaan lembaga ini. Kita juga tidak mau lembaga yang mulia ini diisi oleh orang yang melacuri kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Konteks permasalahan ini, kepedulian masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi dengan mengadukan dan membuat laporan terhadap dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh sejumlah hakim MK layak didukung. Pun juga dengan sikap MK yang bergerak cepat membentuk badan Ad Hoc yaitu Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi ( MKMK ) layak disambut dengan positif. Prof Jimly Asshidiqie mewakili unsur masyarakat, Bintan Saragih mewakili akademisi, serta Wahidudin Adams mewakili unsur hakim konstitusi yang masih aktif mengisi struktural yang terdapat dalam badan Ad Hoc ini.
Komposisi hakim MKMK yang bertugas mengadili pelanggaran etik ini tentu menimbulkan pertanyaan bagi kita semua, Apakah putusan yang dihasilkan nanti akan bersifat kredibel? Apakah prof jimly dkk mampu untuk menjalankan tugasnya dengan baik? Mengingat hadirnya badan ini juga turut melibatkan MK di dalamnya, bahkan kita semua mengetahui bahwa Majlis Kehormatan MK dilantik dan di SK-kan oleh Mahkamah Konstitusi. Tentu kredibilitas putusan dari lembaga ini patut dipertanyakan nantinya.
Menyelamatkan MK yang nyaris kehilangan kepercayaan publik karena putusan norak soal usia Capres dan Cawapres ini tentu menjadi titik fokus yang mesti digaungkan saat ini. Dugaan pelanggaran etik yang terjadi pada permasalahan kali ini dilakukan secara terang terangan, tidak samar samar, sehingga semestinya tidak terlalu sulit untuk menindak lanjuti siapa yang melanggar. Tinggal keberanian dan kemauan yang berbicara dan menentukan.
Saat ini, memang baru ada MKMK yang menjadi intrumen untuk mengadili dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh penjaga benteng terakhir konstitusi kita. Karena itu jika Majelis Kehormatan MK ini dibentuk hanya untuk formalitas saja dan untuk meredam kemarahan berbagai pihak, MK tentu akan roboh nantinya. kita semua tentu mengharapkan bahwa putusan mahkamah kehormatan MK nantinya bersifat kredibel dan dapat menyelamatkan muruah Mahkamah Konstitusi.
“Hukum itu tidak selalu tegak, sekali tegak,sekali runtuh, karena ia tergantung pada tingkah laku manusia. Tugas kita adalah tegakkan ketika runtuh, berdirikan ketika rubuh.” (Prof.Erman Rajagukguk)