Suarakampus.com- Revisi Undang-Undang Pilkada yang baru-baru ini disahkan telah memicu berbagai kontroversi terkait potensi konflik kepentingan yang dapat timbul. Hal ini dibahas oleh Bossman Mardigu dalam sebuah diskusi online eksklusif via zoom meeting, Rabu (21/08).
Pengusaha Indonesia Mardigu Wowiek Prasantyo atau yang lebih sering disapan Bossman ini menyatakan bahwa revisi ini tampaknya memberikan ruang bagi partai politik tertentu untuk memperkuat posisi mereka. “Dengan adanya revisi tersebut, partai politik yang memiliki kekuatan dominan di parlemen dapat memanfaatkan celah hukum untuk memperkuat cengkeraman mereka di daerah-daerah yang sebelumnya sulit mereka kuasai,” jelasnya.
Ia mengemukakan bahwa implikasi dari revisi UU Pilkada ini sangat luas. “Beberapa pihak berpendapat bahwa perubahan ini lebih menguntungkan pihak tertentu dan mengancam prinsip-prinsip demokrasi yang selama ini dijunjung tinggi,” ungkapnya.
Bossman juga menyoroti potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh elite politik. “Dengan adanya pengaturan baru yang lebih fleksibel, ada kekhawatiran bahwa elite politik yang berkuasa dapat mengatur jalannya pemilihan kepala daerah sesuai dengan kepentingan mereka,” paparnya.
Kemudian ia menjelaskan bahwa revisi UU Pilkada juga membuka peluang terjadinya praktik politik uang yang lebih masif. “Dengan persaingan yang semakin ketat di tingkat daerah, ada kemungkinan besar bahwa partai-partai politik akan mengerahkan segala daya upaya, termasuk dana yang tidak sedikit, untuk memenangkan calon-calon mereka,” terangnya.
Ia menyatakan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dianggap sebagai upaya untuk menyeimbangkan kekuatan politik. “Namun tidak sedikit yang menilai bahwa keputusan tersebut dipengaruhi oleh tekanan politik, menimbulkan pertanyaan tentang independensi MK dan integritas proses hukum di Indonesia,” jelasnya.
Kata dia, hal ini memiliki dampak sosial yang signifikan akibat revisi UU Pilkada ini. “Masyarakat di daerah yang menjadi sasaran perubahan aturan ini mungkin merasa terpinggirkan dan tidak memiliki suara dalam menentukan pemimpin mereka,” ungkapnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa para pendukung revisi UU Pilkada berargumen bahwa perubahan ini diperlukan. “Namun, argumen ini masih diperdebatkan, terutama oleh mereka yang melihat adanya potensi konflik kepentingan di balik revisi ini,” paparnya.
Selanjutnya, ia menegaskan bahwa revisi UU Pilkada ini membawa implikasi besar bagi masa depan politik Indonesia. “Jika tidak diimbangi dengan pengawasan yang ketat dan transparansi, revisi ini bisa menjadi alat bagi segelintir elite politik untuk mempertahankan kekuasaan mereka,” tegasnya.
Sehubungan dengan hal itu, Bossman menyampaikan kekhawatirannya terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penurunan threshold dapat membuka celah bagi partai tertentu. “Revisi UU Pilkada yang mengacu pada keputusan Mahkamah Agung (MA) bisa menjadi contoh konkret bagaimana hukum dapat dimanipulasi untuk kepentingan politik tertentu,” ucapnya.
Ia juga menyatakan bahwa pengaruh keputusan tersebut tidak hanya terbatas pada pemilihan kepala daerah, tetapi juga memiliki dampak luas terhadap dinamika politik nasional. “Contoh nyata adalah potensi pencalonan Kaesang Pangarep, yang tidak memenuhi syarat usia berdasarkan keputusan MK, tetapi bisa diakomodasi melalui revisi UU Pilkada,” paparnya.
Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa perubahan threshold membuka peluang bagi partai politik besar untuk mengonsolidasikan kekuatan. “Dengan demikian, revisi UU Pilkada ini dapat dilihat sebagai bentuk kudeta legislatif, di mana kekuatan hukum digunakan untuk mengontrol dan mengarahkan hasil pemilihan sesuai dengan kepentingan elit politik,” tegasnya.
Bossman menegaskan bahwa masyarakat harus waspada terhadap potensi manipulasi yang dapat merugikan kepentingan publik. “Revisi UU Pilkada harus dilihat dalam konteks yang lebih luas, yaitu sebagai bagian dari strategi politik yang dapat membahayakan integritas demokrasi,” tegasnya.
Pada akhirnya, Bossman menyimpulkan bahwa konflik kepentingan yang muncul dari revisi UU Pilkada ini harus diwaspadai. “Masyarakat perlu kritis dalam melihat perubahan-perubahan yang terjadi dan tidak segan untuk menyuarakan pendapat mereka demi menjaga demokrasi yang sehat dan berkeadilan,” tutupnya. (rhm)
Wartawan : Verlandi putra