Oleh: Ilham Arrasulian (Mahasiswa Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang)
Suku Minangkabau merupakan salah satu dari etnis utama bangsa Indonesia yang menempati bagian tengah pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Sumatra Barat. Sekalipun secara statistik orang Minangkabau kira-kira hanya 3% dari seluruh penduduk Indonesia. Minangkabau merupakan etnis utama yang keempat setelah Jawa, Sunda, dan Madura. Terbilang Sumatra Barat (Minangkabau) merupakan kelompok etnis terbesar.
Minangkabau adalah wilayah kultural. Secara administratif Minangkabau disebut dengan Provinsi Sumatra Barat. Eksistensi Minangkabau di ranah nasional bukan karena budaya saja. Melainkan melahirkan tokoh-tokoh berpengaruh untuk kemerdekaan indonesia hingga saat ini. Mulai dari tokoh politik, hukum, hingga tokoh Islam banyak dicetuskan di tanah beradat ini.
Diskursus Islam untuk Minangkabau adalah bentuk dari kesatuan. Masyarakat Minangkabau merupakan kelompok sosial yang secara pasti sebagai pemeluk agama Islam. Kecil kemungkinan melihat orang Minang beragama selain Islam. Memang, Islam adalah agama yang bertandang ke negeri Minangkabau. Tapi, ketahanan Islam di Minangkabau cukup sampai saat ini dirasakan.
Secara historis, Islam datang ke Minangkabau dari jalur perdagangan. Masuknya Islam ke Minangkabau mengubah kerajaan Pagaruyung yang pada awalnya beragama Hindu. Ketika itu, seorang raja Pagaruyung yang bernama Sultan Alif memeluk Islam pada abad 17. Dakwah Islam pun sampai kepadanya melalui kerajaan Samudra Pasai (Islam) yang menguasai perdagangan Sumatra pada waktu itu.
Pengkajian Islam tidak akan menarik jika tidak mengetahui pelaku dari penyebarannya. Pada satu sisi, Islam pertama kali masuk dan banyak dikenal di daerah pesisir Minangkabau. Terlihat jelas salah satu tokoh penyebarannya ialah Syekh Burhanuddin Ulakan. Ia juga dikenal sebagai ulama sufi pertama yang membawa Tarekat Syaththariyyah ke Ranah Minang.
Dalam struktur sosial warga Minangkabau, keberadaan ulama sangatlah berarti. Ulama adalah satu di antara tiga faktor pemimpin yang diketahui dengan istilah tungku tigo sajarangan. Sebab bisa dikutip, bahwa ulama sudah memainkan peranan yang krusial di alam Minangkabau, semenjak masuknya agama Islam. Seorang ulama dianggap bukan berdasarkan diploma yang dipegangnya, tapi murni karena keilmuan yang yang dituntutnya sekian lama. Sedari kecil menempati surau, belajar ilmu alat (tata bahasa arab), kemudian tamat kaji membaca Al-Qur’an.
Pola belajar ulama Minangkabau tidak akan terlepas dari surau sebagai tempat menimba ilmu. Setelah menyelesaikan studi ke beberapa surau-surau di Minangkabau, barulah muncul beberapa spesifikasi keilmuan (konsentrasi ilmu) dari banyaknya cabang ilmu dari agama Islam. Tergolong ilmu yang diperlukan oleh masyarakat Minangkabau itu ada tiga. Tauhid (akidah), Tasawuf (tarikat), dan Fikih (tata cara ibadah dan muamalah). Sehingga para ulama mesti membuat karya ilmiah berupa kitab klasik sebagai penunjang (bacaan) untuk masyarakat Minangkabau. Klasifikasi ini hadir pada awal abad 20. Ketika pergolakan ulama Kaum Tua dan Kaum Muda berada pada puncaknya.
Dimulai dari tauhid sebagai ilmu awal untuk memahami konsep beragama Islam. Tokoh-tokoh ulama Kaum Tua dan Muda tidak begitu risau dengan kajian akidah ini. Kedua belah pihak setuju akan pemahaman sifat 20 yang wajib bagi Allah SWT. Sifat 20 ini disebar oleh Syekh Janan Thaib dan Muhammad Dahid gelar Malin Bonso Koto Tangah Padang. Serta di-taqrizh dan di-tahqiq oleh Tuanku Haji Muncak Lubuk Alung, Guru Muhammad Shaleh Tujuh Koto Pariaman, Guru Faqih Muhammad Shaleh Anduring, Padang, Tuanku Haji Marzuki Sukomananti, Talu, Guru Syafi’i (tamatan Jaho), Tuanku Pakiah Sati, ulama Koto Tangah, Tuanku Haji Khatib Umar (guru Tarbiyatul Ishlah, Koto Tangah), Tuanku Haji Muhammad Kajai Talu, dan Tuanku Syekh Abdul Majid Lubuk Landur (Pasaman Barat).
Lanjut dengan tasawuf, perihal maraknya praktik tarikat di Minangkabau. Para ulama nampak berbeda mengenai tarikat apa yang mula-mula dianut oleh masyarakat Minangkabau. Sebagian mengungkapkan bahwa Tarikat Syathariyah berperan menumbuhkan akarnya di Minangkabau, hal ini dibuktikan dengan eksistensinya surau Ulakan yang dipimpin oleh ulama besar Syekh Burhanuddin Ulakan sebagai sentral jaringan ulama-ulama Minangkabau. Ditambah dengan eksistensi Surau Taram sebagai sentra Tarikat Naqsyabandiyah, yang kabarnya telah ada sebelum kepulangan Syekh Burhanuddin. Azra pun menyebutkan seorang tokoh Naqsyabandiyah asal Minangkabau, Jamaluddin di abad 17, yang mula belajar di Pasai, lalu berlayar ke Baitul Faqih, Aden, Haramain, Mesir dan India.
Terakhir pada masalah fikih, secara umum di nusantara sekalipun mazhab yang dipegang adalah Syafi’i. Di antara masalah-masalah fikih yang menjadi perbincangan hangat diawal di Minangkabau adalah masalah taqlid, melafazkan niat, maulid Nabi Muhammad, pembagian harta, pembacaan qunut, dan masalah furu’ lainnya. Ulama-ulama yang bergelimang ke muara ilmu ini ialah tokoh-tokoh besar yang dikenal hingga sekarang. Ulama-ulama itu ialah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, H. Abdul Karim Amarullah (Kaum Muda), Syekh Khatib ‘Ali, dan Syekh Sulaiman ar-Rasuli (Kaum Tua).