Penulis: M Hafiz Al Habsy
Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Universitas Negeri Padang
Masa depan suatu bangsa tidak akan cemerlang ketika kualitas generasi penerusnya mengalami kemorosotan (dekadensi). Berbanding terbalik dengan hal tersebut, masa depan suatu bangsa akan cemerlang ketika pertumbuhan kuantitas dari generasi penerusnya senada dengan peningkatan kualitas diri generasi tersebut. Generasi muda atau yang acapkali kita sebut dengan kaum milenial diharapkan memiliki penigkatan bukan sekedar dalam ranah pengetahuan, tetapi meliputi moralitas, rasa nasionalisme dan lain-lain.Mengingat saat sekarang ini sangat identik dengan perkembangan teknologi informasi, yang merupakan produk dari modernisasi.
Dekadensi moral pada ers milenial sekarang ini terjadi ketika arus modernisasi mampu menyuguhkan segala sesuatu yang berimbas pada merosotnya moral penduduk Indonesia terlebih kalangan pemuda. Masalah krisis moral yang dialami khususnya di kalangan pemuda telah meluas, dan dapat mengancam masa depan bangsa. Hal ini tentu harus segera diselesaikan, mengingat cita-cita Indonesia maju yang selalu di gaung-gaungkan, namun sampai saat ini belum sesuai dengan apa yang tersuguhkan.
Dalam mengkonstruksi moral generasi muda di era milenial tentu bukan perkara mudah, dan harus dilakukan sejak dini. Menurut hemat penulis ada dua faktor yang menjadi penyebab terjadinya kemerosotan moral di era milenial saat ini, yaitu lingkungan keluarga, dan pengaruh lingkungan dan media massa. Lingkungan keluarga menjadi madrasah pertama bagi seorang anak, dimana karakternya akan sangat ditentukan oleh lingkungan keluarga. Selanjutnya pengaruh lingkungan dan media massa juga akan membentuk jati diri yang sesungguhnya. Pada tahap inilah yang menjadi penentu seseorang memiliki moral yang baik atau tidak. Dewasa ini, pengaruh lingkungan dan media massa atau perkembangan teknologi banyak menyebabkan terjadinya dekadensi moral karena salah dalam memaknai dan memanfaatkan perkembangan teknologi.
Fenomena dekadensi moral dapat di recovery dengan menanamkan pendidikan karakter sejak dini dalam lingkungan keluarga. Pada fase ini, peran orang tua dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosi anak sangat vital dan akan menjadi sifat bawaan dari anak tersebut. Penanaman karakter dalam lingkungan keluarga belum cukup dalam mongkonstruksi moral sebab ketika beranjak dewasa anak tersebut akan menemukan lingkungan baru yang juga akan membentuk kepribadiannya. Penanaman karakter dalam lingkungan keluarga akan menjadi pondasi karakter selanjutnya, namun tak sedikit yang mengalami kemundurun sebab pengaruh dari lingkungan baru tersebut.
Dalam mengkonstruksi moral generasi bangsa, tiga elemen negara yang meliputi masyarakat, pemerintah, dan pihak swasta harus membangun sinergitas dalam menciptakan generasi emas Indonesia. Adapun pemerintah dengan tupoksinya sebagai pemangku kebijakan, dapat menciptakan regulasi pendidikan yang berorientasi pada penanaman nilai nilai luhur, maupun pembinaan karakter kaum intelektual muda Indonesia. Pembinaan karakter dalam instansi pendidikan formal belum mencapai output yang di harapkan. Menurut penulis hal ini terjadi karena pendidikan karakter tersebut banyak berupa teori, tanpa ada ruang implementasi dari nilai-nilai karakter atau moral. Selanjutanya kehadiran HakAsasi Manusia (HAM) juga menjadi patologi dalam pembinaan karakter, sebab HAM secara tidak langsung membatasi dominasi tenaga pendidik terhadap murid.
Selanjutnya peran masyarakat, dan swasta dalam pembinaan karakter genarasi muda dapat direalisasikan dengan menumbuhkan dan melestarikan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan masyarakat tersebut. Hal ini sangat penting untuk diciptakan, karena lingkungan masyarakat menjadi tempat tumbuh dan berkembang seorang anak setelah keluar dari lingkungan keluarga. Lunturnya norma-norma di tangah masyarakat dapat kita lihat dari benyaknya kasus kriminalitas dan kenakalan remaja, sehingga memicu terjadinya dekadensi moral di era milenial. Dengan memaksimalkan fungsi tiga elemen negara tersebut dan memanfaat modrenisasi atau perkembangan teknologi, bukan tidak mungkin sebutan Smart Cities dapat di capai oleh bangsa Indonesia
Al Mukhollis Siagian dalam bukunya yang berjudul The Dinamics Of Life menyatakan bahwasannya sebutan Smart Cities bagi Indonesia masih dalam bentuk Eupehisme. Sejalan dengan itu keadaan moral generasi muda yang mengalami kemerosotan di Era Milenial ini menjadi penghambat dari terwujudnya Smart Cities. Pada Hakikatnya konsep Smart Cities sejalan dengan Indonesia maju, dimana indikator tercapainya ialah terbentuknya generasi emas Indonesia yang memiliki kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) mumpuni, dan tidak mengesampingkan moralitas, serta rasa nasionalisme. Artinya generasi emas atau Smart Cities dalam merealisasikan Indonesia Maju memiliki tiga indikator yaitu Peningkatan kualitas SDM, Peningkatan moralitas, dan peningkatan rasa asionalisme. Namun tiga hal ini belum sepenuhnya terbentuk dalam individu masyarakat Indonesia
Dengan memaksimal peran dari tiga elemen negara (mayarakat, pemerintah, dan swasta) tadi, dalam menciptakan lingkungan yang syarat akan nilai-nilai luhur dan pendidikan karakter, baik di lingkungan pendidikan formal, dan lingkungan masyarakat, menjadi syarat terciptanya Smart Cities dan tercapainya cita-cita Indonesia maju. Dalam memaksimalkan perannya sinergitas dari tiga elemen tersebut harus dibentuk, sehingga tercipta koordinasi yang baik dalam usaha mengkonstruksi moral tersebut di era milenial ini. Dengan begitu ketika fungsi tersebut dapat dijalankan secara konsisten cita-cita Indonesia maju akan dapat tercapai dengan terbentuknya Smart Cities.