Oleh: Verlandi Putra
(Mahasiswa Program Studi Tadris Bahasa Inggris UIN IB)
Part 1
Angin musim gugur bertiup lembut menyentuh wajah Elsa Althafunnisa. Sepuhan keemasan matahari senja memantul di daun-daun yang bergoyang, menciptakan pola cahaya yang menari di tanah berumput. Gadis itu menelan ludah gugup, jemarinya meremas ujung gaun era Tudor yang kini melekat di tubuhnya. Rasanya aneh—bagaimana kain kasar ini menggesek kulitnya, bagaimana udara yang ia hirup terasa begitu berbeda dari Jakarta abad ke-21 yang ia tinggalkan beberapa jam lalu.
“Aku masih tidak percaya kita benar-benar melakukannya,” bisik Isyana Rahmani di sampingnya, mata gelap gadis itu membulat penuh takjub sementara ia mencatat sesuatu dalam jurnal kecil yang selalu dibawanya. “Kita benar-benar berada di Inggris… tahun 1666.”
Elsa memindai sekelilingnya dengan tatapan waspada. Pohon-pohon apel yang rindang berjajar di kebun Woolsthorpe Manor, tempat di mana mereka tahu Isaac Newton berada. Tak jauh dari tempat mereka bersembunyi, seorang pria muda dengan rambut ikal panjang duduk di bawah pohon apel, sepenuhnya larut dalam buku yang ia baca.
“Ingat rencana kita,” Elsa berbisik kepada empat rekannya yang berjongkok di belakang semak beri. “Kita punya satu kesempatan untuk mencegah apel itu jatuh menimpa kepalanya, dan mengubah sejarah seperti yang diperintahkan Pion Masa.”
Zara Nadhira, gadis dengan tatapan setajam elang, mengangguk pelan sambil menyibakkan rambut hitam panjangnya. “Aku sudah memetakan lima skenario berbeda,” ujarnya, jemari lentiknya menunjuk ke arah Newton. “Kita harus pastikan dia tidak berada di bawah pohon itu dalam tiga puluh menit ke depan.”
“Tapi apakah kita yakin ini pilihan yang tepat?” potong Verlandi Fathurrahman, satu-satunya lelaki dalam kelompok mereka. Keningnya berkerut dalam, matanya menyiratkan keraguan yang tidak ia sembunyikan. “Mengubah penemuan sebesar hukum gravitasi… tidakkah kalian pikir itu bisa mengacaukan segalanya?”
Keheningan menyusup di antara mereka. Winda Syahira, yang sedari tadi mengawasi sekitar dengan kewaspadaan seorang pemburu, menoleh cepat. “Ini bukan saatnya untuk meragukan misi, Andi. Pion Masa memilih kita untuk alasan tertentu. Kita di sini untuk menjalankan tugas, bukan mempertanyakannya.”
Elsa menatap Newton sekali lagi. Pria itu terlihat tenang, tak menyadari bahwa lima orang dari masa depan bersembunyi tak jauh darinya, bersiap mengubah takdir yang telah terukir dalam buku-buku sejarah. Perutnya terasa mulas. Apakah mereka benar-benar akan mengubah jalannya ilmu pengetahuan? Apakah itu bijaksana?
“Ini titik awal segalanya,” bisik Elsa, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada rekan-rekannya.
“Aku akan mencoba mengalihkan perhatiannya,” Zara berbisik, matanya berkilat penuh determinasi. “Kalian bersiaplah untuk menggoyangkan pohon itu sebelum apelnya jatuh secara alami.”
“Hati-hati, Zara,” Elsa mengingatkan, melihat temannya perlahan beranjak dari persembunyian mereka. “Jangan sampai menimbulkan kecurigaan.”
Zara, dengan keanggunan seorang penari, melangkah keluar dari balik semak. Ia merapikan gaunnya dan memasang ekspresi kebingungan yang sempurna. Dengan sengaja, ia berjalan mendekati Newton, terlihat seperti seorang gadis muda yang tersesat.
“Permisi, Tuan,” suara Zara mengalun lembut, terdengar otentik dengan aksen Inggris era Tudor yang telah mereka latih berbulan-bulan. “Bolehkah saya bertanya arah menuju desa terdekat? Saya terpisah dari rombongan saya.”
Newton mengangkat wajahnya dari buku, terlihat sedikit terganggu. Elsa menahan napas. Rencana mereka mulai berjalan.
Namun, tepat ketika Winda dan Verlandi bergerak untuk menggoyangkan pohon dari sisi yang berlawanan, angin tiba-tiba berhenti. Udara terasa begitu berat dan kaku, seakan waktu sendiri membeku. Cabang pohon yang tadinya bergerak lembut kini terasa kokoh seperti baja.
“Apa yang terjadi?” bisik Isyana panik, menatap pohon dengan keheranan. “Ini tidak masuk akal!”
Elsa mencoba mendorong cabang pohon, tapi rasanya seperti mendorong tembok beton. Keringat dingin mulai membanjiri keningnya. Sesuatu yang aneh sedang terjadi.
“Nona muda,” suara bariton yang dalam membuat mereka semua terlonjak kaget. Seorang pria paruh baya dengan janggut keperakan dan jubah berwarna marun berdiri tak jauh dari mereka, menatap dengan sorot mata yang menusuk. “Saya rasa kebun milik Tuan Newton bukan tempat untuk melakukan… apa pun yang sedang kalian coba lakukan.”
Jantung Elsa berdegup kencang. Pria ini tidak ada dalam catatan sejarah mereka. Siapa dia?
“Maafkan kami, Tuan,” Elsa cepat-cepat membungkuk hormat, berusaha keras menyembunyikan kegugupannya. “Kami hanya… mengagumi kebun indah ini.”
Pria itu tersenyum tipis, tapi senyuman itu tidak mencapai matanya yang dingin. “Nama saya Sir Eldric. Dan saya tahu persis siapa kalian dan apa yang kalian coba lakukan.”
Darah Elsa seakan membeku dalam pembuluhnya. Bagaimana mungkin?
“Waktu bukanlah mainan, Nona Althafunnisa,” Sir Eldric melanjutkan, membuat Elsa nyaris tersedak mendengar namanya disebut. “Sejarah memiliki mekanisme pertahanan sendiri. Semakin kalian mencoba mengubahnya, semakin kuat ia akan melawan.”
Dari sudut matanya, Elsa melihat Zara yang masih berbicara dengan Newton mulai terlihat gelisah. Rencana mereka berantakan.
“Siapa Anda sebenarnya?” tanya Elsa, suaranya bergetar meski ia berusaha terdengar tegas.
Sir Eldric hanya tersenyum misterius. “Anggap saja saya adalah penjaga keseimbangan. Dan kalian, Pion Masa, sedang bermain dengan api yang tidak kalian pahami.”
BERSAMBUNG