Melangitkan Mimpi lewat Jalur Langit

(Sumber: Isyana/suarakampus.com)

Oleh: Sofi Asri

(Mahasiswi Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam UIN Imam Bonjol Padang)

Part 2

Aku pun bersama Mala mendaftar SPAN PTKIN, yaitu jalur masuk perguruan tinggi Islam negeri. Sementara Dirnatan memilih mendaftar sekolah kedinasan, aku dan Mala kembali berjuang bersama. Jurusan yang aku minati tetap tidak bisa tergantikan, yaitu Ilmu Komunikasi dan Hukum Tata Negara (HTN). Sementara itu, Mala memilih jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dan HTN. Kami memilih Universitas Islam Negeri Bandung (UIN Sunan Gunung Jati).

Aku terus berusaha menuntut ilmu, meskipun harus merantau ke tanah Jawa. Walaupun sore kemarin Mama sempat mengatakan untuk tidak terlalu memilih target yang tinggi, apalagi ketika Mama bilang, “Jangankan untuk biaya pendidikan kelak, untuk beras yang bakal dimasak nanti saja tidak ada di rumah.”

Di sisi lain, Papa justru bertolak belakang dengan Mama. Papa terus memberikan semangat dan sering berpesan, “Dima asok mati, disinan puntuang anyuik.”

Sungguh berat dan penuh dilema rasanya. Tapi, aku yakin Allah punya hadiah terbaik dari perjuangan ini. Aku juga tidak lupa menjalankan sholat lima waktu, ditambah sholat Dhuha dan Tahajud. Aku yakin itu adalah jalan ampuh, dan doa yang dipanjatkan adalah lesatan terbaik untuk menembus ridha-Nya.

Atap bumi yang dipenuhi langit biru dan sedikit awan putih, yang kupandang sepanjang perjalanan menuju rumah, sungguh mampu membuatku tenang. Belum lagi angin yang menari ke sana kemari. Sesampainya di rumah, ternyata kakakku juga baru sampai. Ya, Kak Fatimah, sulung di keluarga kami. Ketika menatapnya, rasa teduh itu hadir, namun lagi-lagi sendu memenuhi relung dadaku.

Dia sedang menyusun skripsinya di jurusan Sastra Inggris, Universitas Andalas (Unand). Sejujurnya, dialah yang sering mengalah demi aku. Dia yang sering mengurangi jatah mingguannya, lalu memberikannya padaku. Dia, kakakku yang tangguh. Aku banyak terinspirasi darinya. Tapak kakinya tak jarang menjajaki terjalnya jalan ke gunung. Dia juga berani memegang pengeras suara ketika ribuan mahasiswa turun ke jalan.

Selama di rumah, aku juga ikut mendaftar UTBK SBMPTN, lantaran kita memang harus punya banyak perencanaan: A, B, C, atau D. Aku juga mendaftar Sekolah Kedinasan yang disarankan Mama.

Pagi hari kusibukkan dengan membantu Mama membuat kue hingga menjelang Zuhur. Siangnya, aku pergi ke ladang. Sore hari, aku membantu Mama ke pasar untuk menjajakan bubur jagung yang dibuatnya. Sebab, hari ini adalah hari kedua puasa Ramadhan.

Sehari sebelum puasa, aku sudah mengangkut barang dari kos bersama teman-teman. Kini, saatnya hari-hariku di kampung, bersama keluarga kecilku di rumah sederhana kami. Huhu.

Namun, aku bersyukur bisa lahir di tengah keluarga yang penuh dengan balutan agama, adat istiadat, serta budi pekerti. Rasanya begitu nyaman ketika aku kembali merasakan rakaat-rakaat sholat Subuh dan Maghrib berjamaah yang begitu khusyuk. Takbir bergema, lantunan muroja’ah bersaut-sautan. Seketika, Mama meneteskan air mata sambil tersenyum. Lesung pipi Mama yang biasanya menghiasi senyumnya, kini juga disinggahi air mata. Sejujurnya, aku tidak sanggup melihat wanita tangguh dalam hidupku ini menangis.

Dua minggu kemudian,
Inilah saat yang aku tunggu-tunggu: pengumuman SPAN PTKIN di 15 Ramadan ini akan menjadi saksi. Dengan ragu-ragu, kubuka portal pengumuman di ponselku. Bibirku tak henti mengucap Asma-Nya. Sebuah kalimat muncul: “Selamat, Anda lulus dengan Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam di UIN Bandung.”

Alhamdulillah, aku bersyukur. Allah menghadiahkan hasil terbaik ini melalui bidikan terbaik versi jalur langit. Sejak awal, doa adalah senjatanya para umat. Tahajud Mama dan Papa di tengah malam, perjuangan mencari rezeki setiap harinya, hingga aku bisa bersekolah di madrasah terbaik di kabupaten, semua membawaku pada amanah untuk lulus di UIN yang kuidam-idamkan.

“Ma, Pa, Kakak, Alhamdulillah Sisi lulus SPAN!”

Mama yang sedang memasak pun mematikan kompor dan menuju ruang tamu.
“MasyaAllah, Alhamdulillah, Nak. Ya Allah,” ujarnya.

Papa yang dari luar pun masuk ke dalam rumah.
“Alhamdulillah, Si. Allah Maha Baik,” katanya.

Sontak, aku terbangun mendengar adzan sholat Ashar berkumandang dari musala yang tak jauh dari rumahku. Kepala yang kutekukkan ke meja di ruang tamu ini, mukena yang masih utuh kukenakan seusai sholat Zuhur, dan ponsel di tanganku. “Ya Rabb, itu hanya mimpi,” ujarku lirih.

Efek dari menunggu pengumuman SPAN sejak pukul 13.30 tadi membuatku tertidur. Nyatanya, semua mimpi indahku tidaklah nyata. Aku pun kembali membuka portal pengumuman SPAN dengan rasa cemas dan jiwa yang setengah sadar.

Qadarullah, UIN Sunan Gunung Djati Bandung bukanlah universitas terbaik untukku. Tulisan “Mohon Maaf, Anda Tidak Lulus” membuat jantungku seketika berhenti berdenyut. Napas panjang keluar dari hidungku, dan sesak di dada terasa penuh. Keadaan indah yang kumimpikan sebelum Ashar tadi sungguh bertolak belakang dengan kenyataan.

Bibirku tak henti beristighfar. Perlahan, air mataku tak dapat lagi kubendung. Jatuh sudah, semuanya membasahi pipiku. Bibirku belum sanggup memberitahu Mama dan Papa. Aku segera mengambil wudhu dan sholat Ashar.

Tumpah sudah semuanya ketika sujudku. Entah kenapa, beda rasanya ketika aku tidak lulus SNMPTN dulu. Rasanya biasa saja, bahkan tak ada air mata. Namun, mungkin jalur pendaftaran yang kuiikuti ini, universitasnya memang seirama dengan jurusanku di MAN, dan segenap usahaku lebih terasa di sini. Doa yang kulangitkan terasa lama.

Qadarullah, ini bukanlah yang terbaik untukku. Aku kembali rapuh, namun harus terus kuat. Perlahan, seusai sholat, kutemui Mama di dapur. Kusampaikan hasil SPAN ini kepada beliau. Mama menjawab dengan sederhana.

“Ini baru permulaan sebuah kesuksesan, Nak. Kamu harus sering dikecewakan dulu, terbentuk dulu, baru mendapatkan apa yang terbaik dari jawaban usaha dan doamu, Nak. Ada universitas lain yang tengah menunggu. Maka, bersiaplah.”

Begitu juga dengan Papa yang seketika datang.
“Si, ingat Al-Baqarah ayat 216 ya, Nak. Tenangkan hatimu, ingat Allah. Jangan pernah mundur sebelum berperang. Sesungguhnya, masih ada SBMPTN dan jalur lainnya. Papa dan Mama selalu mendoakan yang terbaik untuk Sisi.”

Rasanya sedih terus mewarnai sore ini. Namun, di sisi lain, aku begitu bangga dan bersyukur karena sahabatku, Mala, lulus di UIN Bandung dengan jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Kami memang tidak lagi bisa bersama, tetapi selagi di bawah atap yang sama, kami akan merajut silaturahmi yang baik.

Begitu juga dengan seluruh teman angkatan Gudep yang berjumlah 11 orang. Alhamdulillah, 9 orang lulus jalur SPAN di UIN Imam Bonjol Padang, dan satu lagi lulus di Peternakan Unand melalui jalur SNMPTN. Teman-teman di MAN juga hampir semua yang mendaftar SPAN di UIN IB atau cabang lainnya, Alhamdulillah lulus. Hanya aku yang belum mendapat rezeki di kedua jalur ini.

Namun, berlarut dalam kesedihan tidaklah baik. Kenapa aku selemah ini? Huh… Kembali kutarik napas dan kubuang. Aku baru jatuh dua kali. Toh, di luar sana ada yang beribu kali jatuh tetap maju dan semangat. Hmm, aku mulai berdialog dengan diriku sendiri.

Aku kembali bergegas mengerjakan soal-soal persiapan UTBK yang ada di beberapa link yang dikirimkan guru BK. Aku tidak punya buku persiapan SBMPTN atau sebagainya karena uang untuk membelinya belum ada. Namun, bermodalkan soal-soal yang sering dibahas dan keyakinan, aku tetap mengikuti ujian UTBK SBMPTN.

Berselang satu minggu,
Qadarullah, Allah memberiku kesempatan untuk lulus di Universitas Andalas dengan untaian kalimat hasil UTBK SBMPTN yang menyatakan, “Selamat, Anda lulus Jurusan Hukum Universitas Andalas.” Syukur ini mengalir tiada henti. Kabar baik ini kusampaikan kepada Mama, Papa, dan Kak Fatimah yang tengah berada di teras rumah. Alangkah baiknya Allah yang begitu cepat mendatangkan hasil SBMPTN, yang menjadi obat untuk menyembuhkan lukaku beberapa pekan lalu.

Namun, kabar yang tidak mengenakkan pagi ini kudengar. Tanpa sengaja, aku mendengar pembicaraan Papa dan Mama di ruang tengah. Isi pembicaraan mereka tentang biaya untuk rencana kuliahku, belum lagi Kak Fatimah yang akan wisuda. Beberapa bulan terakhir ini, usaha Papa tidak ada yang membeli atau servis sepatu sandal.

Dilema kembali membelenggu pikiranku. Belum lagi, akhir-akhir ini ekonomi sangat merosot. Namun, niatku untuk kuliah tidak pernah berhenti. Berbagai cara kulakukan, bahkan aku ikut membantu sepupuku di kafe miliknya. Aku bekerja dari pukul 15.00 sore hingga pukul 23.00 malam. Posisiku di dapur untuk membantu memasak atau menghidangkan menu masakan.

Hal serupa juga pernah kulakukan tiga tahun yang lalu ketika hendak sekolah di MAN. Selama bulan Ramadan hingga Lebaran, aku membantu sepupu di kafe. Alhamdulillah, kala itu uang masuk dan biaya beli seragam sekolah hingga kebutuhan untuk kos bisa kubeli dari gaji yang diberikan sepupuku.

Ekonomi sekarang ini? Aku kembali tidak boleh pesimis. Pasti ada jalan yang Allah berikan kepadaku.

Sampai suatu malam, ketika kumpul keluarga, Mama membuka pembicaraan di ruang tamu ini. Dengan berat hati, Mama menyampaikan agar aku tidak mengambil kuliah di kampus hijau itu, lantaran keadaan saat ini. Aku berusaha menerimanya. Namun, yang seketika mengagetkan, Mama juga mengatakan kalimat yang seakan menghamburku tinggi, lalu kembali menjatuhkanku ke dasar bumi.

“Si, Mama tahu Sisi anak yang pintar dan juga aktif dalam berorganisasi, sehingga Sisi tumbuh menjadi anak yang dewasa, penuh intelektual, dan sopan santun yang tinggi, Nak. Tapi, dengan berat hati, Mama sampaikan, kalau tahun ini Sisi nggak kuliah dulu, gimana, Nak? Sisi cari kerja dulu aja. Meskipun Sisi ngambil hasil SB yang lulus di Unand, rasanya biayanya begitu besar, Nak. Mama dan Papa tidak ingin kamu terhenti di tengah jalan.”

Aku terdiam. Rasanya ingin menangis, tapi air mata tak bisa lagi keluar. Sebab, air mataku jatuh ke dalam. Papa, yang kala itu mencoba menenangkan suasana, memberikan motivasi-motivasi.

“Captain Amerika yang terkenal dengan kalimat ‘I can do this all day’, sebuah kalimat yang mewakili rasa pantang menyerah. Begitu juga Naruto yang selalu bilang, ‘I’m not good at giving up.’ Mereka seperti itu karena mereka fokus pada tujuan. Sama halnya dengan Sisi sekarang. Tujuan Sisi adalah menuntut ilmu. Sisi harus melewati ujian dan cobaan, Nak. Kali ini, Sisi tengah diuji Allah melalui kesabaran menerima kenyataan bahwa Sisi belum bisa lanjut kuliah.”

“Sebenarnya, Papa, Mama, dan Kakak sangat bangga ketika Sisi lulus di SPAN dan SBMPTN. Tapi, kami juga sedih ketika harus menyampaikan kenyataan ini kepada Sisi.”

“Fokus memang membedakan yang gagal dengan yang berhasil, yang taat dengan yang maksiat. Dan, pilihan apa pun yang kita pilih, pastilah ada konsekuensinya. Price to pay. Semakin besar keinginan kita, semakin besar pula konsekuensinya.”

Nasihat sekaligus motivasi dari Papa seakan menampar batas kesadaranku. Apa yang begitu kita sukai, nyatanya belum tentu yang terbaik menurut Allah. Tapi, apa yang barangkali tidak kita sukai, malah itu yang terbaik dari Allah. Ya, gema dari makna Surah Al-Baqarah ayat 216 itu kembali menyadarkanku.

Meski mendaftar kuliah penuh dengan perjuangan, sempat belum rezeki di SNMPTN, namun diberikan kesempatan lulus di SPAN dan lulus di UTBK SBMPTN, nyatanya lagi-lagi keimananku diuji.

Bersambung…..

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Sujud Taubat

Next Post

Analisis Kesenjangan Keterampilan Generasi Z Ditengah Pasar Indonesia

Related Posts
Total
0
Share