oleh : Verlandi (mahasiswa prodi Tadris Bahasa Inggris UIN Imam Bonjol Padang)
Aku memandangi wajahnya yang damai. Mata itu masih sama indahnya seperti dulu, meski kini tertutup rapat. Bibirnya yang merah muda masih tersenyum tipis, seolah sedang bermimpi indah. Kurapikan anak rambutnya yang jatuh di dahi, membelai pipinya yang dingin dengan lembut.
“Selamat pagi, Rani,” bisikku seperti yang kulakukan setiap hari selama lima tahun terakhir. “Tidurmu nyenyak?”
Tentu saja tak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyapaku, ditemani dengung halus pendingin ruangan yang menjaga suhu kamar tetap stabil. Aroma mawar segar yang selalu kuganti setiap pagi menguar lembut, bercampur dengan bau formalin samar yang tak pernah benar-benar hilang.
“Hari ini aku membawakan novel baru. Kau pasti suka,” ujarku sambil mengeluarkan sebuah buku dari tas. “Tentang persahabatan. Seperti kita.”
Kugenggam tangannya yang kaku. Masih sama seperti hari itu, ketika untuk terakhir kalinya dia mencoba melepaskan diri dariku.
Lima tahun yang lalu, musim hujan.
“Maya, please… aku mohon mengertilah.” Rani memohon dengan mata berkaca-kaca. “Aku… aku mencintai Dimas.”
Kata-kata itu menghantam dadaku seperti palu godam. Dimas. Nama itu membuatku mual. Lelaki yang telah mencuri sahabatku, yang berani-beraninya masuk ke dalam lingkaran eksklusif persahabatan kami.
“Tidak.” Suaraku dingin dan tegas. “Kita sudah sepakat, Ran. Sejak SMP kita berjanji tidak akan membiarkan siapapun memisahkan kita. Ingat?”
“Tapi ini berbeda! Dimas tidak akan memisahkan kita. Dia mengerti persahabatan kita—”
“BOHONG!” Aku membanting gelas di meja hingga pecah berserakan. Rani terlonjak kaget. “Mereka semua sama saja! Begitu kau punya pacar, kau akan melupakanku. Seperti yang terjadi dengan Lina dulu.”
Lina. Sahabat kami yang ketiga, yang memilih pergi dengan pacarnya dan meninggalkan kami berdua. Sejak saat itu, aku bersumpah tidak akan membiarkan hal yang sama terjadi pada Rani.
“Maya…” Rani mendekat, mencoba meraih tanganku. “Aku tidak akan seperti Lina. Aku janji.”
Kutepis tangannya keras-keras. “Kau sudah berubah! Sejak kenal Dimas, kau jarang menghabiskan waktu denganku. Selalu ada saja alasan. Padahal dulu kita tak terpisahkan!”
“Karena kau terlalu mengekangku!” Untuk pertama kalinya, Rani berteriak. Air mata mengalir di pipinya. “Aku tidak bisa begini terus, Maya. Aku butuh kehidupanku sendiri. Aku bukan bonekamu!”
Boneka.
Kata itu menggema dalam kepalaku. Menari-nari mengejek. Boneka. Boneka. Boneka.
Tanganku bergerak lebih cepat dari pikiranku. Meraih pecahan gelas yang berserakan. Rani bahkan tak sempat bereaksi ketika aku menghujamkan pecahan itu ke lehernya.
Matanya membelalak terkejut. Darah merah pekat mengucur deras, mengotori lantai apartemenku. Tubuhnya terhuyung, jatuh dalam pelukanku.
“Ma… ya…” Suaranya terdengar seperti tercekik. “Ke… napa…”
“Sshhh…” Aku membelai rambutnya dengan sayang, seperti yang selalu kulakukan sejak kami kecil. “Tidak apa-apa. Sekarang tidak ada yang bisa memisahkan kita. Selamanya.”
Tubuhnya melemas dalam dekapanku. Mata indah itu perlahan menutup, untuk terakhir kalinya.
“Nah, sampai mana kita kemarin?” Aku membuka halaman yang sudah kutandai. “Oh iya, bab lima.”
Rani tetap diam di tempatnya. Cantik dan sempurna dalam gaun putih favoritnya. Kulitnya yang pucat tampak berkilau ditimpa cahaya lampu. Berkat keahlian dari ahli pengawetan mayat terbaik yang kutemukan, dia masih terlihat sama seperti lima tahun lalu.
Apartemen ini telah kuubah menjadi tempat pribadi kami. Kamar tidurnya kususun serapi mungkin, dengan bunga-bunga segar dan foto-foto kenangan kami berdua di dinding. Tidak ada yang tahu dia ada di sini. Semua orang mengira dia menghilang, kabur entah ke mana.
Polisi sempat menyelidiki, tapi tak menemukan petunjuk apa-apa. Bagaimana mungkin mereka mencurigaiku? Aku sahabat terdekatnya. Orang terakhir yang akan dicurigai melakukan sesuatu padanya.
Dimas? Dia masih sering muncul di media sosial, kini dengan pacar barunya. Tentu saja. Lelaki memang tidak bisa dipercaya. Untung aku menyelamatkan Rani sebelum dia hancur karena patah hati.
“Oh iya, hampir lupa.” Aku mengeluarkan sisir dari laci. “Rambutmu agak berantakan. Sini kurapikan.”
Dengan hati-hati, kusentuh helai demi helai rambutnya yang halus. Masih sama seperti dulu, meski kini terasa lebih rapuh. Kadang ada yang rontok, tapi tidak masalah. Aku selalu bisa memperbaikinya.
“Kau tahu tidak,” bisikku sambil terus menyisir, “kemarin aku bermimpi tentang masa kecil kita. Waktu kita main masak-masakan di halaman rumahku. Kau ingat? Kita membuat kue dari tanah dan daun-daunan.”
Kuletakkan sisir, memandangi wajahnya yang tersenyum tipis. Kadang aku bertanya-tanya, apa yang ada dalam pikirannya saat ini? Apa dia bahagia? Apa dia memaafkanku?
“Tidak apa-apa kalau kau masih marah,” gumamku, menggenggam tangannya yang dingin. “Yang penting kita bersama. Selamanya.”
Di luar, hujan mulai turun. Seperti hari itu. Tapi kali ini berbeda. Kali ini tidak ada yang bisa memisahkan kami.
Kunyalakan aroma terapi lavender kesukaannya, lalu duduk di kursi di samping tempat tidur. Membuka halaman novel yang tadi kutunda.
“Baiklah, kita lanjutkan. Bab lima…”
Suaraku mengalun lembut dalam kamar yang sunyi. Membacakan kisah tentang persahabatan abadi, sementara sahabat terbaikku tertidur lelap di sampingku. Selamanya.
Malam semakin larut. Hujan di luar masih belum reda. Aku menutup novel yang sudah selesai kubacakan, melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam.
“Sudah waktunya tidur, Ran,” ujarku sambil membereskan buku. “Besok aku akan membawakan novel baru lagi.”
Kurapikan selimutnya, memastikan dia tetap hangat meski AC menyala. Menyentuh pipinya yang dingin untuk terakhir kali sebelum beranjak ke kamarku sendiri.
Namun sebelum mencapai pintu, aku berhenti. Ada yang aneh. Seperti… suara bisikan?
Perlahan, aku berbalik. Rani masih berbaring tenang di tempatnya. Tapi untuk sepersekian detik, aku seperti melihat bibirnya bergerak. Matanya yang tertutup berkedut pelan.
Tidak mungkin. Pasti hanya imajinasiku.
“Selamat malam, Rani sayang,” bisikku, lalu mematikan lampu.
Dalam kegelapan, samar-samar terdengar suara tangis. Tapi ketika kunyalakan lampu lagi, semua normal. Rani tetap tersenyum dalam tidur abadinya.
Mungkin aku memang terlalu lelah. Besok aku harus membeli bunga mawar baru. Yang merah muda, kesukaannya. Dan novel baru. Dan mungkin gaun baru juga.
Apa pun untuk sahabat terbaikku, Karena dia akan selalu bersamaku. Selamanya.