Hadiah Kwitansi

Ilustrasi seorang wanita tengah membaca surat (pixabay.com)

Oleh : Hasbunallah Haris (Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang)

Dua sejoli itu tengah duduk di Puncak Lawang, menatap danau Maninjau yang membiru. Biduk-biduk kecil tampak bagaikan remah-remah roti dari sana, dan nun jauh di tepi danau, rumah-rumah bersusun rapi bagaikan kereta listrik yang sedang parkir di stasiun.

Mari kita berkenalan dengan dua sejoli tadi, yang perempuan memakai kerudung merah jambu dan tengah duduk memangku lututnya sambil melempar-lemparkan kerikil ke lereng bukit, namanya Piar Cahyani. Sedangkan yang seorang lagi, tengah bersandar ke pohon angsana tua sambil tak henti-hentinya memperbaiki kerah baju gaya Belanda bernama Zaid, dia baru saja lulus dari sekolah Stovia, kepulangannya ke tanah kelahirannya hanya untuk menjenguk gadis tercintanya ini dan hendak mempersuntingnya.

Awal pertemuan mereka sungguh amat dramatis, ketika itu Piar baru turun dari bendi yang datang dari Bukittinggi. Zaid yang berada di gerbang sekolah Tarbiyah Candung bersama teman laki-lakinya sedang bermain sepak raga membantu menurunkan barang dan membawakan ke dalam sekolah. Setelah sampai di depan asrama, Piar menyodorkan uang satu rupiah kepada Zaid sebagai bayaran, namun uang itu hanya ditatap Zaid dengan tersenyum. “Ah, engkau simpan sajalah uang itu buat beli buku nanti,” katanya.

Piar berterima kasih untuk yang kesekian kalinya, lantas menyebutkan nama dan alamatnya, di Maninjau.

“Zaid Ahmad Gozali,” ujar Zaid sembari mengulurkan tangan namun tak dijabat oleh Piar, dia hanya tersenyum sambil mengangguk. Tiba-tiba Zaid merasa gugup di depan Piar, gadis yang berada di hadapannya sekarang benar-benar telah menyita perhatiannya hingga mungkin dia lupa untuk mengedipkan mata.

“Denai masuk dulu, Uda.” Piar melirik pada barang-barangnya yang sudah parkir di depan pintu. “Terima kasih bantuan uda,” sambungnya.

“Ah, ya, tak masalah, tapi kalau boleh uda mau minta sedikit bantuan Piar, kalau boleh saja, tak dapat juga tidak apa-apa,” ungkap Zaid.

“Apa itu, Uda?”

Zaid melirik ke sekelilingnya, setelah merasa aman dan yakin takkan ada yang mendengar ucapannya nanti, Zaid mendekat ke arah Piar dan berbisik, “Uda mau pinjamkan Piar kitab-kitab yang uda punya, mungkin satu tahun lagi uda tidak akan di sini lagi, jadi Piar bisa memakai kitab-kitab uda sampai tamat.”

Piar bingung hendak bagaimana menjawabnya, namun dia beranikan diri bertanya hendak ke mana lelaki berkopiah hitam dan berkain sarung garis-garis biru hitam itu pergi.

“Ke jawa, uda akan sekolah ke Stovia, serta kitab nanti uda bawakan dan titip ke Nurul, uda permisi dulu,” ucap Zaid.

Piar mengangguk, lantas mengangkat barangnya ke dalam asrama. Demikianlah pertemuan mereka berdua, cepat, akurat dan bermartabat. Piar menerima banyak sekali kitab yang dibawakan Nurul dua hari kemudian.

Saat malam tiba, Piar membalik-balik kitab dan jatuhlah sebuah amplop bersampul putih dari dalamnya. Merasa bukan menjadi haknya, Piar menyimpan amplop itu kembali dan berencana akan menyerahkannya kepada Zaid besok pagi. Namun malang nian nasibnya, Zaid sudah bertolak tadi malam ke Kota Padang, langsung ke pelabuhan Teluk Bayur dan akan berangkat ke Jawa.

“Kau buka sajalah amplop itu, siapa tahu memang untuk kau dititipkannya,” saran Nurul kawan sekamar Piar.

Sorenya Piar berjalan ke Surau Tinggi, dia naik ke lantai dua dan membuka amplop dari Zaid seorang diri, isinya sebuah surat.
Untuk Piar, gadis anggun Maninjau.

Pertama-tama uda mohon restu dari engkau untuk kepergian uda ke pulau Jawa guna menuntut ilmu. Tak banyak orang di kampung kita yang dapat mengenyam pendidikan seperti ini dan uda tidak akan menyia-nyiakannya, uda akan belajar bersungguh-sungguh supaya kelak dapat pula mengajarkan ilmu tersebut di kampung kita, Sumatra Barat.

Maafkan uda, Piar, uda pergi begini saja dan hanya menitipkan surat dalam kitab yang uda pinjamkan. Entah mengapa uda merasa canggung dan gugup jika sedang berhadapan dengan engkau. Uda jadi salah tingkah jika bersua dengan engkau. Maka uda tulis surat ini supaya dapat engkau baca ketika uda sudah di perjalanan.

Engkau tahu, Piar, sejak pertemuan kita di gerbang sekolah, uda sudah jatuh hati padamu, entahlah bagaimana uda harus mengatakannya kepada engkau karena uda sendiri bukanlah orang yang pandai berpuisi. Uda bukanlah orang yang pandai merayu gadis-gadis dengan kata-kata indah dan menyanjungnya tinggi-tinggi. Uda hanya bisa ucapkan bahwa engkau sungguh gadis yang baik, Piar, engkau membuat uda seolah perhatian alam semesta terpusat padamu, engkau membuat iri rembulan hingga meredupkan sinarnya, membuat iri mentari hingga kasihan membakar kulitmu yang lembut.

Banyak yang ingin uda sampaikan, Piar, tapi biarlah lantunan doa-doa malam saja yang bergaung di sepertiga malam, biarlah alunan-alunan harapan saja yang uda rajut siang dan malam. Uda berharap engkau mau menunggu uda hingga kembali pulang, Piar. Sungguh uda sangat berharap dapat kembali berjumpa dengan gadis Maninjau yang uda cintai.

Begitulah ungkapan perasaan Zaid kepada Piar melalui surat.

Sejak saat itulah Piar menjadi yakin bahwa pria yang ditemuinya di gerbang sekolah itu benar-benar mencintainya. Waktu berlalu bagaikan laju kuda bendi, Piar telah menamatkan sekolahnya dan pulang ke Maninjau. Tak tertahankan baginya rindu kepada sang kekasih, siang malam dia duduk di tepi danau dengan pena dan kertas di tangan, menuliskan apa yang dia rasakan sejak Zaid pergi.

Kepada siapa dia hendak menitipkan surat?, kepada siapa dia hendak menompangkan kabar?, yang ada hanyalah gumaman doa semoga sang kekasih tetap diberi kesehatan dan cepat pulang.
Setelah lima tahun menahan rindu, akhirnya yang ditunggu itu pun pulang. Buru-buru Zaid mengambil bendi dan pergi ke Maninjau, ditanyakannya alamat kekasihnya itu kepada orang yang ditemuinya hingga bersualah keduanya di tepi danau, kala sore hari. Keduanya melu-malu saling mendekat dan beruluk salam.

“Bagaimana kabar engkau, Piar?” tanya Zaid membenarkan kerah baju Belanda-nya yang tiba-tiba terasa mencekik. Piar hanya terpaku di tempatnya, menatap pria yang dahulu kurus sudah menjadi gemuk, yang dahulu berjakun sekarang sudah tak kentara lagi, yang dahulu berkopiah hitam sekarang sudah menyisir rambutnya dengan rapi.

Hari-hari berikutnya pun dilalui Piar dengan rencana-rencana masa depan Zaid yang gemilang. Piar mendukung segala rencana yang diceritakan lelaki itu. Sekarang, duduk di tepi danau Maninjau bersama Zaid adalah saat yang dinanti-nantinya. Hingga suatu hari lelaki itu tak lagi datang, kabar tidak surat pun tidak. Piar yang cemas pun meminta izin hendak pergi menjenguk ke Bukittinggi. Sakitkah kekasihnya itu?, atau ada pekerjaan yang tak bisa ditinggalkankah dia?.

Malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diterka, ditemuinya rumah Zaid dalam keadaan ramai. Orang-orang turun bergegas dan masuk beramai-ramai, ditanyakan kepada yang datang apa yang terjadi, rasa bagai disambar petir Piar mendengar jawabannya.
“Si Zaid, yang tadi hendak pergi ke Maninjau di tempat kekasihnya ditabrak bendi,” ungkap salah seorang warga di sana.

Piar segera memburu ke dalam rumah, di tengah-tengah rumah gadang itu telah terbujur kekasihnya, Zaid, ditutupi kain putih. Mandeh Zaid yang melihat kedatangan Piar karena telah mengenal pula gadis itu dengan baik segera mendekat dan memapahnya ke dalam kamar, mereka bicara berdua sambil terisak-isak berpelukan.

“Tak ada lagi, Nak … sudah pergi. Zaid sudah tak ada lagi,” isak mandehnya. “Padahal dia tadi hendak ke rumah engkau, hendak mengabari kalau dia diterima bekerja menjadi ajudan tuan bupati, orang kepercayaannya.” Mandeh Zaid lalu mengulurkan sepucuk surat kepada Piar. “Ini mandeh temukan di dalam kamarnya habis subuh tadi, mungkin untuk kau, Nak. Bacalah.”

Diambilnya surat itu dengan tangan gemetar, perlahan dibuka dan dilihatnya tulisan-tulisan rapi kekasihnya yang seperti biasa. Huruf y yang bergelung-gelung indah dan huruf p yang menjadi ciri khasnya. Surat itu terdiri dari dua lembar, lembar pertama tulisan dan lembar kedua seperti kwitansi. Piar membaca lembar pertama dengan isakan yang amat dalam.

Untuk Piar, di Maninjau.Tak banyak yang mau udah terangkan di sini karena uda akan berkunjung ke Maninjau akhir pekan besok. Uda cuma mau mengabarkan kalau sekarang uda diterima bekerja bersama bupati, jadi orang kepercayaannya. Di sini uda lengkapi surat uda bersama kwitansi kontrak kerja uda kalau terjadi apa-apa dengan uda, Piar, sengaja uda tulis atas nama engkau supaya bisa menjadi hadiah untuk kita. Karena selama ini uda belum pernah memberikan hadiah yang istimewa kepada Piar. Terimalah, Piar, atas nama Piar uda tuliskan kwitansi ini, pun sudah disetujui oleh mandeh sebelumnya.

Tak sanggup Piar melanjutkan membaca surat dari kekasihnya itu karena tiba-tiba pandangannya sudah gelap dan sayup-sayup dia masih mendengar mandeh Zaid berteriak minta tolong.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Belum Berikan Hadiah, WR III: Kampus Masih Membereskan Administrasi PKM

Next Post

1.064 Mahasiswa Ikuti Wisuda ke-85 UIN IB, Berikut Rinciannya

Related Posts
Total
0
Share