Kenangan dan Luka

Oleh: Lisa Septri Melina

Memendam nyatanya tak mampu untuk menyembuhkan luka. Diam nyatanya tak sanggup menghilangkan rindu. Berbicara seolah-olah dijadikan angin lewat yang dipandang tak berarti. Dan menghindar nyatanya bukan solusi, serta mencoba kuat nyatanya aku lemah dalam kesendirian, terpuruk, terkurung dan terperangkap dalam luka dan kenangan. Begitulah jalinan kisah persahabatanku.

Persahabatanku yang baru terbilang seumur jagung, nyatanya tak mampu bertahan bak kata pepatah minang. “Indak lakang dek ujan indak lapuak dek paneh,” karena untuk kesekian kalinya aku merasakan kehilangan sekali lagi. Kehilangan yang sama sekali tidak pernah terlintas di benakku, namun apa daya, aku hanyalah seorang manusia biasa yang sedang berproses menjadi yang lebih baik dan berharap ada keajaiban agar semua kenangan yang telah dirangkai bersamanya bisa hilang seiring dengan mengalirnya air mata dipipi kiri dan kananku.

“Tuhan, aku tahu semua ini adalah kehendakmu, maka kuatkanlah aku dalam menjalani hari-hariku tanpa ada hadirnya dia disisiku,” kalimat itu selalu terselip dari sekian banyak kalimatku hari ini.

Bagaimanapun, aku hanyalah seorang manusia yang tidak bisa memaksa seseorang untuk tetap berada didekatku. Meski, sekuat apapun aku berusaha mengalah, diam serta menangis, namun, pada akhirnya hanya akulah yang selalu menjadi pihak yang merasa kehilangan. Canda tawanya yang dulu hadir menyapa dan menemani hari-hariku yang suram, kini semuanya telah sirna.

Kini, semua harapan indah yang dulunya telah aku bingkai bersamaan dengan kisah manis yang mengalir di antara aku dan sahabatku sekarang telah usai yang seolah olah tidak ada lagi celah kecil yang memberikan harapan untuk aku kembali bersama merajut asa dalam satu cerita, bercanda, tertawa dan kembali bercerita mendengarkan suka dan laraku.

“Siapa aku sebenarnya bagi mereka yang pergi tanpa alasan yang logis,” sesekali kalimat itu terlontar dari mulutku seketika kembali memutar ingatan mundur layaknya sebuah perputaran jarum jam yang diputar secara berlawanan.

Sahabatku itu aku beri dengan nama Kunang-Kunang, bukan nama aslinya melainkan nama dari aku untuk sahabat terindah yang pernah dianugerahkan Tuhan untukku. “Bagiku, kau tetaplah sahabat terindah dibalik semua yang indah, karena kau berbeda dan bisa mendatangkan kedamaian serta meredam kegelisahanku,” kalimat itu keluar ketika aku kembali melihat foto kami berdua dengan tawa yang takku sangka akan pudar. Foto itu adalah kenangan ketika aku berada di ketinggian dengannya.

Aku yang dulunya pernah menangis di pundaknya. Kini, jangankan untuk menangis, bersendu gurau, bahkan bertegur sapa pun telah jarang terjadi antara aku dan dia. Sekarang kami hanya sebatas viers story di media sosial tanpa ada bertukar kata yang dibalut dalam bentuk kalimat indah penuh makna.

Dulu, dia adalah orang pertama yang bisa mendapatkan kepercayaanku setelah keluarga yang aku miliki. Bagiku dia adalah orang baik, hingga saat ini persahabatanku telah renggang dan terasa bagaikan sejauh langit dan bumi aku masih mengatakannya orang baik. “Kau adalah orang yang baik pada masanya,” kataku dalam hati ketika melihat dan menyaksikan berbagai macam bunga kaktus di halaman depan rumahku. Selain bunga mawar, rumahku juga dihiasi dengan tanaman kaktus dari berbagai jenis ukuran yang ada.

Namun, sampai detik ini aku tak kunjung bisa melupakannya begitu pula dengan kenangan. Karena sesulit apapun aku mencoba aku selalu menemukan titik terlemah dalam diriku dari sebuah kehilangan. Dan malam ini, rinduku telah menghasilkan titik air pada kedua kelopak mataku, deras namun begitu hening. “Aku rindu hadirmu,” kataku pada kesunyian malam ketika kegelisahan menghampiri nafasku.

“Mengenalmu adalah anugerah dan menjadi temanmu adalah pilihan,” itu kalimat yang dulunya pernah terucap diantara kami berdua. Aku kira kalimat itu sakral, nyatanya tidak. Itu hanyalah sebatas kalimat yang tak bermakna seiring waktu itu berlalu. Dinding pembatas antara aku dan dia berawal dari perbedaan dalam mewujudkan impian kami, hingga pada akhirnya harus berujung dengan hadirnya seorang teman di sisinya.

Menyaksikan segala tingkah mereka berdua di depan mata kepalaku sendiri harus aku lewati dengan rasa luka yang mendalam. Tidak hanya itu saja, bahkan kebohongan dari mereka kerap hadir menyelimuti hari-hariku. Aku berusaha kuat untuk itu, berusaha tegar padahal hatiku sakit. Aku selalu berusaha menyembunyikan luka yang seolah aku hidup dengan topeng, layaknya sebuah tokoh dalam tari ondel-ondel adat betawi. Menyaksikan mereka berdua bermain kesana kemari, bercanda dan tertawa mendatangkan pertanyaan dalam diriku. “Kenapa ini terjadi dalam hidupku?,” tuturku dengan menatap kelap kelip bintang di angkasa yang menghiasi langit malam.

Dan anehnya, orang yang merusak persahabatan kami adalah seseorang yang awalnya terlebih dahulu tau bagaimana dekatnya persahabatan kami yang tak seharusnya dia rusak dengan egonya yang busuk namun tak mampu diraba dengan hidung hanya bisa disaksikan dengan mata. Dengan segala usahanya dia memisahkan kami berdua. Mulai dari berpura pura lemah bahkan bunuh diri hadir dalam ceritanya dan bodohnya aku selalu mengalah dalam hal itu dan membiarkan mereka bahagia, dan aku tinggal bersama luka yang bertubi-tubi. “Aku tak menyangka kau adalah orang seperti itu, kau tak ubah layaknya seorang parasit,” ujarku meratapi semua kisahku.

Betapa pilunya, hadir dalam kisah yang seperti ini, kisah yang sama sekali tidak pernah aku inginkan sebelumnya. “Aku benar benar kehilangan sosok sahabat seperti dirimu,” itulah diksiku pada malam hari ini.

Berkali-kali aku mencoba melupakan dan membuka lembaran cerita baru dengan yang lainnya namun semua itu nihil. Aku tetap terpuruk dalam luka kenangan, aku tak pernah mampu melupakannya.

“Cepatlah turun malaikat Kecil Ayah, makanan sudah hampir dingin,” suara lengking ayah bergema sampai kekamarku dan berhasil membangunkan lamunanku.

Kamarku adalah kamar yang unik dari segala kamar yang ada di rumah ini, karena ini adalah satu satunya kamar yang terletak di pojok kanan paling atas dengan desainnya yang berbentuk segitiga sama sisi dan didekorasi dengan warna bernuansa hijau army. Sedangkan Malaikat Kecil adalah panggilan kesayangan Ayah untukku setelah Ibu tiada. Ibuku adalah wanita terbaik dan terhebat yang pernah aku temui selama nadiku masih berdenyut, dan jantungku masih berdetak, namun beliau terlebih dahulu dipanggil Sang Ilahi karena penyakit yang dideritanya.

“Iya Ayah,” sahutku sambil menuruni anak tangga dengan hati-hati.

“Kak Al,” kataku sambil berlari menghampiri kakak semata wayangku yang baru pulang dari luar negeri. Kepintaran dan ketelitiannya berhasil bekerja pada sebuah perusahan teknologi berbasis komputer setelah menamatkan S2 nya dengan beasiswa yang diraihnya. Sejak saat itu kehidupan kami mulai membaik dari segi finansial, karena sebelumnya Ayahku hanyalah seorang pedagang kue keliling. Hasil dari penjualan kue beliau jadikan untuk menyekolahkan kami berdua, dan tidak jarang menumbuhkan hutang kepada tetangga untuk membiayai kuliahku.

Dan akhirnya atas kehendak Tuhan setelah kak Al bekerja kami berhasil membuka toko kue dan sekarang telah memiliki dua cabang di daerah yang berbeda.

“Surprise,” kata kak Al memelukku. “Kenapa kakak tidak memberitahuku kalau kak Al akan pulang,” sahutku sambil menepuk nepuk dada bidangnya dengan menangis. Aku menangis bukan karena tidak dikasih tau akan kepulanganya, melainkan karena terharu, sedih dan bahagia karena setelah dua tahun lamanya kami terpisah oleh benua yang berbeda dan baru bisa bertatap muka secara langsung hari ini.

“Sudah, sudah nak. Ini makanan hampir dingin,” kata Ayah lagi. “Aku mau kak Al pulang setiap hari saja. Biar aku bisa makan dengan menu seperti ini untuk setiap harinya,” kataku menghadap Ayah sambil memperhatikan ikan goreng, gulai hingga semur jengkol tersedia di meja makan.

“Tidak ada yang dapat menandingi kelezatan masakan Ayah,” kata kakakku lagi memuji Ayah. “Kapan kak Al akan memberikanku hadiah kakak yang baik, cantik, manis dan tidak sombong,” tuturku sambil mengunyah nasi.

Mendengar kalimat itu kakakku dan ayahku tersedak. “Kakak ada kalung untuk kamu sekalian hadiah ulang tahun,” sahut kakakku mengalihkan pembicaraan ketika ia paham bahwa yang aku bicarakan itu adalah menyuruhnya untuk memiliki seorang istri. Kemapanan serta umurnya telah terbilang mampu untuk membina rumah tangga, namun entahlah hingga sekarang hal itu masih menjadi tanda tanya dan misteri.

Kehadiran kak Al malam ini membuatku seketika bisa melupakan segelintir kisah rumit persahabatanku. Mulai dari kami bermain piano bersama, membuka hadiah serta bercanda bersama Ayah membuat malamku untuk hari ini terasa jauh lebih indah dibandingkan malam-malam sebelumnya.

“Kehadiranku akan berarti bagi orang orang yang menyayangiku dengan sepenuh hati,” ucapku dalam hati sambil tertawa bersama Ayah dan kakakku dengan nama asli Albert Husein itu.

Enam bulan kemudian

Pada hari ini, aku telah mencoba segala cara untuk menghindar, melupakan sahabatku, mulai dari aku yang pindah sekolah agar kami berdua tak saling berpapasan atau tak saling bertemu untuk setiap harinya. Akan tetapi semua itu tak mampu membuatku melupakannya. Aku selalu mencoba untuk menemukan dirinya dalam diri orang lain namun itu adalah hal bodoh yang aku lakukan.

Hingga saat ini, aku tak pernah lagi membuka hati untuk menamakan seseorang dengan nama sahabat. Sebuah nama yang indah, namun sulit menemukan arti yang sesungguhnya. Aku hanya memberi nama untuk setiap yang dengan teman. Mereka banyak, akan tetapi hanya datang ketika mereka membutuhkanku, entah itu hanya sebatas pikiranku atau tidak, tapi memang itulah kenyataannya. Mereka akan hadir ketika dalam kesulitan saat mengerjakan tugas, tapi meskipun demikian aku tak pernah membenci mereka. Dan aku berfikir aku adalah lilin yang memberi cahaya di saat cahaya lain tak mampu meneranginya. “Berpikir positif untuk segala hal adalah suatu keharusan,” tuturku sambil memperhatikan lampu pijar itu.

Memang benar bak kata orang bijak, pensil bisa dihapus namun tidak dengan jejaknya. Begitulah kisah persahabatanku yang tak bisa aku lupakan, hingga detik ini dia masih aku beri nama dengan Kunang-Kunang. Tak peduli sejauh apapun aku dengannya, namun nama itu tak bisa dirubah, ia akan tetap abadi bagi diriku kini, lusa maupun esok.

Dan melalui kisah ini aku belajar untuk mengerti bahwa seseorang yang peduli akan diriku pasti akan bertahan dengan seribu alasan, sementara dia yang tidak peduli akan kehadiranku akan pergi dengan seribu alasan. Tidak hanya itu saja yang dapat aku petik dari kisah persahabatanku, melainkan ada hal yang lebih penting yaitu tentang penerimaan untuk mengerti bahwa Tuhan punya cara yang unik untuk mencintai hambanya. Karena melalui kisah persahabatan yang terbilang rumit ini aku berhasil menemukan bakatku yaitu menulis.

Sejak saat itu kemahiran dan kelincahan imajinasi kian memuncak yang akhirnya aku tuangkan dalam bentuk kata yang dirangkai menjadi kalimat tersusun rapi dengan alur ceritanya tersendiri. Dan berharap akan diabadikan menjadi buku, karena aku ingin abadi meskipun jasadku telah tiada. Karena aku pernah membaca tulisan dari orang hebat, jika kamu ingin mengenal dunia maka membacalah dan jika kamu ingin dikenal dunia maka menulislah. Kalimat itu aku tempel pada dinding kamarku yang ketika aku berhenti menulis maka aku akan menoleh ke arahnya.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Setitik Rindu

Next Post

Asmaraloka

Related Posts
Total
0
Share