Kenapa Aku Selalu Merepotkan

Ilustrator: Isyana Nurazizah Azwar


Oleh: Verlandi Putra
(Mahasiswa Program Studi Tadris Bahasa Inggris UIN IB
)


Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, aku kembali menghitung uang receh di dompet. Satu koin dua ribu, tiga koin lima ratus, dan beberapa koin seratusan yang lusuh. Tidak cukup untuk besok.
Tidak cukup untuk angkot pink ke kampus, tidak cukup untuk angkot hijau pulang. Lagi-lagi aku harus memilih: makan atau pulang ke rumah? Mungkin besok aku akan berjalan kaki lagi, merasakan aspal yang panas di bawah sepatu yang semakin menipis solnya.
Kenapa aku selalu merasa merepotkan? Pertanyaan itu menggema di kepala setiap malam, saat semua orang tertidur dan aku masih terjaga, memikirkan bagaimana caranya bertahan sampai akhir bulan. Tidak jarang aku berpikir, apakah aku terlalu menyusahkan semesta?
Aku hanya mahasiswa biasa, bukan siapa-siapa, hanya pengembara dengan ransel berisi mimpi dan kantong kosong. Hidupku sederhana: kampus, organisasi, lalu pulang. Tapi tidak sesederhana itu jika tiap langkahku ditentukan oleh jumlah rupiah yang tersisa.
Angkot pink ke kampus dua ribu, angkot hijau pulang empat ribu—total enam ribu yang tak selalu ada. Kadang, aku melihat teman-temanku dengan santai mengeluarkan uang untuk membeli kopi yang harganya setara dengan tiga kali ongkos pulang pergi kampusku. Mereka tertawa, bercerita, tanpa beban tentang besok. Sementara aku? Aku menghitung dalam diam.
Seringkali, aku lebih memilih berjalan kaki sore hari dari kampus ke simpang. Bukan karena suka, tapi karena terpaksa. Dari simpang, aku menunggu angkot hijau terakhir yang lewat. Jika tidak lewat, aku berjalan lagi—lebih jauh, lebih senyap, lebih lelah. Delapan kilometer terasa seperti perjalanan tanpa ujung ketika perut kosong dan langit mulai gelap.
Aku tinggal 8 km dari kampus. Angka yang mungkin ringan bagi sebagian orang, tapi bagiku berat di langkah dan isi dompet. Kadang aku merasa bersalah kalau ada yang menawarkan tumpangan. Bukan hanya karena minyak motor, tapi karena aku tahu aku sedang bergantung pada kebaikan yang belum tentu ikhlas.
“Mau bareng? Arah kita sama kan?” tanya seorang temanku suatu sore.
Aku tersenyum tipis, mengangguk pelan, meski dalam hati merasa seperti beban. Selama perjalanan, aku berpikir bagaimana caranya membalas kebaikannya nanti. Mungkin dengan membantu tugasnya? Tapi aku tidak cukup pintar. Mungkin dengan membawakan makanan? Tapi dari mana uangnya? Akhirnya aku hanya bisa mengucapkan “terima kasih” dengan suara yang nyaris hilang.
Suatu malam, aku harus pulang dari rapat organisasi. Aku tidak punya uang untuk ojek online, jadi aku meminjam dari teman. Aku tahu dia ikhlas, tapi tetap saja hatiku bergemuruh tak nyaman. Seolah-olah aku mencuri nafas orang lain untuk bisa bertahan.
“Nanti kukembalikan kalau sudah ada,” kataku.
“Santai saja,” balasnya.
Tapi tidak ada yang santai dalam hidupku. Setiap rupiah adalah perhitungan, setiap bantuan adalah hutang tak terlihat yang harus kubayar entah bagaimana.
Aku pun sering tidak makan demi bisa hadir dalam kegiatan organisasi. Aku berharap ada gorengan sisa yang bisa kujadikan pengganjal perut. Aku datang bukan karena ambisi, tapi karena rasa takut ditinggal dan tidak dianggap. Tapi dalam proses itu, aku sering merasa jadi beban.
“Tolong ambilkan kabel yang di kotak itu!” teriak ketua saat kami sedang menyiapkan acara.
Aku bergerak, tapi langkahku ragu. Kabel yang mana? Ada banyak kabel di kotak itu. Aku ingin bertanya, tapi sudah terlambat.
“Lama banget sih! Sini aku ambil sendiri!”
Mereka tidak tahu bahwa ketika mereka bicara seperti itu, ada bagian kecil dalam diriku yang retak. Aku dianggap pemalas hanya karena aku tidak cepat tanggap. Saat disuruh mengambil kabel, aku bingung karena tidak tahu kabel yang mana. Ketika aku bertanya, aku malah dimarahi. Akhirnya mereka ambil sendiri dengan wajah kesal, dan aku merasa makin tidak berguna.
Aku suka telat mikir. Kadang aku blank, bahkan saat tugas sederhana. Aku tidak tahu apakah yang kulakukan benar atau salah. Jika salah, aku tidak tahu cara memperbaikinya, dan jika benar, aku tetap merasa ada yang salah.
“Kamu kok diam saja? Tidak senang ya ikut acara ini?” tanya seorang temanku saat kami sedang berkumpul.
Bagaimana aku menjelaskan bahwa aku ingin tersenyum seperti yang lain, tapi wajahku seperti terkunci? Bagaimana aku mengatakan bahwa di kepalaku ada badai pikiran yang tidak bisa kunyatakan?
“Tidak apa-apa, aku hanya sedikit lelah,” jawabku, kebohongan yang sama untuk kesekian kalinya.
Aku merasa terjebak dalam tubuh yang lambat, kepala yang kosong, dan dunia yang cepat. Organisasi menuntut banyak hal yang tak bisa kugapai. Sementara aku hanya ingin bertahan hidup dan menyelesaikan kuliah. Tapi untuk menyelesaikannya saja, aku merasa sudah hampir kalah.
“Kamu harusnya lebih aktif lagi di organisasi,” kata dosenku suatu kali. “Bangun relasi, cari pengalaman.”
Mereka tidak tahu bahwa untuk hadir saja, aku sudah berjuang. Mereka tidak tahu bahwa setiap rapat adalah pertaruhan antara makan atau tidak selama dua hari. Mereka tidak tahu bahwa setiap kali aku mencoba bicara, ada suara di kepala yang berkata: “Kamu tidak pantas ada di sini.”
Aku mulai mempertanyakan: apakah aku pantas berada di organisasi ini? Aku tidak bisa memimpin, bahkan memutuskan hal sederhana saja aku ragu. Aku terlalu lemah, terlalu takut, terlalu biasa. Orang lain bersemangat, aku malah bingung.
Wajahku selalu datar. Aku tidak berani terlalu senang karena takut disakiti. Aku percaya, di balik tawa sering ada luka yang menunggu. Maka ketika semua orang tertawa, aku hanya diam dalam bayangku sendiri.
Temanku pernah bertanya, “Kamu pernah merasa bahagia tidak, sih?”
“Tentu saja,” jawabku, tapi aku tidak yakin apa arti bahagia. Apakah bahagia itu saat dompetku cukup untuk makan tiga kali sehari? Apakah bahagia itu saat aku tidak perlu meminjam uang dari siapapun? Atau apakah bahagia itu saat aku akhirnya bisa tidur tanpa memikirkan besok?
Aku merasa seperti tamu yang tidak diundang dalam kehidupan orang lain. Bahkan dalam organisasi, aku merasa hanya numpang hidup. Jika mereka tahu isi kepalaku yang sesak, mungkin mereka akan menjauh. Atau mungkin mereka memang sudah perlahan menjauh.
“Kok tidak ikut makan bareng?” tanya seseorang saat aku memilih duduk sendirian di sudut ruangan.
“Aku sudah makan,” dustaku. Padahal sejak pagi aku hanya minum air dan makan beberapa biskuit yang kusimpan di tas. Aku tidak ingin mereka kasihan, tidak ingin mereka tahu bahwa uang sakuku untuk seminggu hanya cukup untuk makan mereka sehari.
Ada hari di mana aku hampir menyerah. Saat IPK-ku turun, saat organisasi terasa semakin menuntut, saat aku berulang kali gagal memenuhi harapan orang-orang di sekitarku. Aku duduk di pinggir jalan, menatap langit yang mulai gelap, dan bertanya pada diriku sendiri: “Untuk apa semua ini?”
Tapi kemudian aku teringat ibu, yang bekerja keras agar aku bisa kuliah. Ayah yang selalu menelepon tiap minggu, bertanya kabar dengan suara yang mulai serak dimakan usia. Mereka tidak tahu betapa sulitnya aku di sini. Mereka hanya tahu bahwa anak mereka kuliah dan akan lulus suatu saat nanti. Bagaimana aku bisa menyerah jika harapan mereka begitu besar?
Aku tahu aku tidak bisa terus seperti ini, tapi aku juga tidak tahu harus mulai dari mana. Setiap kali aku ingin berubah, aku tersandung oleh diriku sendiri. Aku ingin jadi lebih kuat, lebih mampu, tapi dunia terus memintaku berlari padahal aku baru belajar berdiri. Setiap usaha kecilku terasa tenggelam dalam suara-suara yang menuntut lebih.
Ada saat-saat di mana aku merasa sedikit lebih baik. Ketika aku berhasil menjawab pertanyaan dosen dengan benar. Ketika ada teman yang mengatakan bahwa tulisanku bagus. Ketika aku pulang ke rumah dan ibu memelukku, dengan mata berbinar melihat anaknya yang kuliah. Saat-saat seperti itu, aku merasa mungkin, mungkin saja, aku tidak selemah yang kukira.
Tapi kemudian hari berganti, dan perasaan itu hilang secepat datangnya. Aku kembali pada rutinitas yang sama: menghitung uang receh, memilih antara makan atau transport, merasa tidak pantas di antara orang-orang yang sepertinya tahu apa yang mereka lakukan.
Aku tidak ingin merepotkan, sungguh, tapi kenyataan selalu membuatku terpaksa mengandalkan orang lain. Kadang aku berpikir, mungkin aku bukan diciptakan untuk lingkungan yang keras seperti ini. Tapi bukankah semua orang juga punya perjuangannya sendiri? Aku hanya belum tahu bagaimana cara melawan dengan caraku sendiri.
Beberapa hari lalu, aku mendengar seorang senior bercerita tentang bagaimana dia dulu juga hampir putus kuliah karena masalah ekonomi. Dia bekerja paruh waktu, tidur hanya beberapa jam, tapi akhirnya lulus juga. Aku melihat matanya yang lelah tapi penuh kebanggaan, dan aku bertanya-tanya, bisakah aku seperti itu?
“Yang penting jangan menyerah,” katanya padaku, seolah dia tahu pergumulanku. “Kamu lebih kuat dari yang kamu kira.”
Entah dia benar atau tidak. Aku masih sering merasa lemah, masih sering merasa tidak pantas. Tapi kata-katanya tetap terngiang. Mungkinkah dia melihat sesuatu dalam diriku yang tidak kulihat?
Aku ingin tamat, walau lima tahun. Aku ingin membuktikan bahwa aku tidak selemah itu. Tapi di tengah jalan ini, sering aku merasa seperti kabur dari sesuatu yang tidak bisa kusebutkan. Mungkin aku bukan gagal, mungkin aku hanya… belum selesai.
Malam ini aku duduk di sudut kamar, memperhatikan buku yang terbuka tapi tak terbaca. Pikiran melayang ke segala hal yang belum bisa kulakukan. Aku tahu perjalanan ini masih panjang, dan aku belum tentu sampai di ujungnya. Tapi entah kenapa, aku masih mencoba bangun setiap pagi.
Mungkin besok aku kembali merepotkan seseorang. Mungkin besok aku kembali diam saat yang lain tertawa. Tapi mungkin juga besok ada hal kecil yang berubah. Atau… mungkin tidak.
Aku tidak tahu pasti. Tapi untuk malam ini, aku masih di sini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

400 Mahasiswa Berebut Prestasi di Ajang Ilmiah Nasional

Next Post

450 Mahasiswa Berlaga di KINMU IV Secara Daring

Related Posts