Penulis: Husni Latifah Pulungan
Suarakampus.com- Suasana begitu indah, daun-daun menampakkan pekatnya hijau yang dimiliki. Begitu juga kicauan burung yang saling bersautan. Saya berdiri tepat di tengah tanaman padi yang mulai merunduk karena beratnya isi yang harus di sandang. Sambil menikmati hembusan angin yang menusuk hingga ke jiwa. Terasa nyaman, aman, damai dan sejuk membuat hati gembira, tertawa, dan bersorak ria. Harapan di dalam hati, ketika kaki melangkah dari deretan tanaman padi menuju luasnya ilmu di gudang sekolah, berharap kepada Tuhan.
“Tuhan, saya sangat mengimpikan sang pemenang yang bisa berdiri di depan ramainya barisan manusia, yang di anggap sebagai seorang juara,” doa saya yang disaksikan oleh himpunan makhluk yang telah Tuhan ciptakan.
“Rey, apa yang kamu lakukan?” Tanya Jaya begitu heran melihat reaksi saya yang berbicara seolah olah didengarkan oleh ramainya manusia.
“Hehehe, saya sedang bermimpi Jay, nanti saat pengumuman juara kelas di sekolah, saya terpanggil sebagai sang juara”
“Ya ampun Rey, kamu pasti jadi sang juara,” Jaya meyakinkan Rey dan menarik tangannya agar segera menuju sekolah.
Semua telah berkumpul di lapangan, salah satu dewan guru akan mengumumkan siapa-siapa yang menjadi juara. Semua kelas hampir selesai diumumkan, tepat pada kelas 6 B, diumumkan bahwa yang menjadi juara-juara dikelasnya yaitu Jaya, Reno dan Sela.
“Ibu ucapkan selamat kepada sang juara di kelas 6 B, semoga yang belum maju saat ini, kelak bisa jadi sang juara disekolah barunya,”
Tundukkan wajah dan palingkan harapan. Mungkin ini hanya harapan saya yang wujudnya adalah mimpi semata. Tuhan, jika saat ini saja Saya tidak bisa maju, apakah nanti ditempat baru saya berguna?
“Rey, tetap semangat dan selalu sabar ya. Kemenangan itu bukan hanya menjadi sang juara di kelas, tapi seberapa bermanfaat kita bagi kehidupan sekitar. Saya tahu kamu adalah anak yang berbakat. Bukan tentang ilmu, tapi tentang hidup,” kata Jaya menyemangati Rey yang sedang berduka untuk kesekian kalinya.
Tanpa kata saya meninggalkan Jaya. Hati begitu perih, dia tidak tahu bahwa saya sangat berharap ada diposisi dia. Dia tidak tahu seberapa besar harapan saya. Dia hanya bisa berkata “sabar, sabar dan sabar”.
Akhirnya semua murid kelas 6 lulus dan melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi. Jaya seorang sahabat yang aku kenal, sekolah di luar kota, akibat pekerjaan orangtuanya yang harus berpindah tempat.
Saya sedih dan selalu teringat dengan Jaya, jika nanti saya tidak bisa maju di sekolah baru ini, siapa yang akan menyemangati? Pikiran saya buyar ketika ada tangan yang menepuk bahu dengan sedikit keras.
“Kamu tidak mau mengikuti wawancara di atas Rey?” Tanya Syifa heran melihat Rey yang sering termenung.
“Percuma saya ikut wawancara, acara itu hanya khusus untuk orang-orang berbakat, tidak seperti saya yang hanya diam tanpa prestasi,”
“Kamu yakin tidak memiliki prestasi?, bukankah kamu berbakat dalam memimpin? Kamu kan selalu jadi ketua kelas sewaktu SD, cobalah Rey, ini bukan soal prestasi atau sang juara, tapi siapa yang mampu berada diposisi itu, come on Rey, ayolah!”
Akhirnya Rey berani mengikuti wawacara, walaupun dia ikhlas apa hasil akhir yang akan diterimanya, karena setiap dia meminta, tak kunjung nyata. Seminggu setelah wawancara hasil pengumuman wawancara di pajang di mading.
“Kamu saja Syif yang melihat hasilnya, saya mau cari angin dulu,”
“Aneh, hasil pengumuman keluar, bukannya dilihat malah angin yang dicari, come on Rey, kita lihat hasilnya,” mata saya sangat malas bertatapan dengan hasil itu.
“Rey”
“Syifa, sakit tau, dari dulu suka nepuk pundak saya, keras sekali,”
“Iya maaf. Ini Rey, kamu jadi pemimpin utama (Pradana) di ikatan pramuka antar sekolah SMP se-kabupaten, saya sangat kaget. Ternyata bakat kamu luar biasa,”
“Hah, mana? Pasti kamu salah baca” saya mencoba membacanya dengan sangat teliti,”
Dan benar nama Rey Rifaldo menjadi pemimpin utama (Pradana) di ikatan pramuka antar sekolah SMP se-kabupaten. Bukan jadi anggota atau pemimpin sangga, tapi posisi ini sangat diharapkan semua peserta yang ikut mendaftar. Tapi mungkin ini tidak seindah menjadi sang juara kelas.
Semua anggota pramuka yang terpilih mengadakan pertemuan. Semua berasal dari lima sekolah ternama termasuk sekolah Jaya.
Sebelum rapat dimulai, semua pemimpin sangga harus melapor kepada pemimpin utama (pradana).
“Lapor, kelompok Ramah Ceria siap?” suara Jaya yang begitu lantang melapor kepada saya seolah-olah Saya ada pemimpin nyata.
Tuhan, saya selalu meminta menjadi juara kelas agar bisa berdiri di depan sekolah. Namun, tidak pernah terkabul. Saat ini, detik ini, saya paham arti rencana Tuhan jauh lebih indah dari pada harapan seorang insan, teruslah bersyukur.
Setelah selesai pertemuan, bahu saya ditepuk lembut.
“Saya bangga akhirnya kita berjumpa kembali Rey, dengan posisi sebagai pemimpin sangga. Tapi saat ini kamu adalah pemimpin tertinggi. Kamu sangat berbakat, sangat berbakat, semangat terus dengan bidangmu, jangan pernah samakan kemampuanmu dengan orang lain, kita punya kelebihan dan kelemahan masing-masing. Terus support diri sendiri.’’
“Jay, saya berbakat,” sambil memeluk Jaya hingga tetesan air mata membasahi pundak Jaya.