Menyendu: Pedih Pada Tatapan Itu

Oleh: Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang

Angin malam dan riuh kendaraan yang masih berseliweran sepanjang jalan, sama sekali tak menggangu ketenangan gadis cantik yang terdiam di dalam kamar, seakan asik bercengkrama dengan pekatnya malam. Hal ini sudah menjadi rutinitas bagi Sahara Nahiwa, dalam menikmati sendunya malam.


Semenjak peristiwa memilukan yang menimpa dirinya, perlahan Rana mulai menarik dirinya dari dunia keramaian. Entah sejak kapan kecerian hilang dari dirinya, hingga sikap diam dan dingin menjalar pada hidupnya kini.
Perlahan terdengar derit pintu yang hendak terbuka, Rana menoleh pada pintu itu. “Kenapa masih belum tidur?” Tanyanya padaku.


Aku pun hanya membalas dengan senyuman kecil, perhatian seperti ini yang kembali memporak-porandakan kenangan yang berusaha aku buang. “Masih betah ternyata hemat suara,” Gurau Lara padaku.


Dia Lara, sahabat karibku sejak 18 tahun lalu yang sekarang menjadi teman sepejuangan di rantau orang. Kami berdua saat ini jauh dari kampung halaman dan hanya saling bahu membahu untuk menguatkan, aku pun heran mengapa dia masih betah berkawan dengan ku.Tanpa menggubris guraunnya, aku perlahan menuju kasur mengistirahatkan tubuh yang tak bisa lagi diajak kompromi.


Pagi-pagi sekali notifikasi handphone mengganggu ketenanganku, perlahan aku meraih benda pipih yang tergeletak di sampingku melihat sebait kata yang berbondong-bondong masuk membuat aku terpaku. Perlahan aku pun turut menuliskan kalimat “Innalilahi wainnailaihi Roji’un” dengan tangan bergetar aku berhasil menuliskan kalimat itu.
Masih dengan degub jantung yang tak tenang, tiba-tiba kekhawatiran menyerang, aku mengubungi nomor yang mungkin membuat aku tenang.


“Assalamu’alaikum, hallo kak”
“…….”
“Apa kabar? Papa tidak sakit kan? di rumah gak ada yang sakitkan?” Tanya ku beruntun.
“Kami disini semuanya baik, kamu kenapa dek? tumben pagi-pagi gini nelpon, kamu baik-baik saja?” Tanya kakak ku. Mendengar suara tenang kakak pun aku percaya dan mengurangi rasa takutku. “Syukurlah, gak papa kak aku baik-baik saja, udah dulu ya kak ini mau bersiap,” tutupku sebelum mematikan sambungan telepon.

Semenjak kejadian satu bulan lalu ketakutan ku sudah tak dapat aku kontrol, orang biasa menyebutnya Trauma ya inilah yang terjadi padaku sekarang. Entah mengapa perlahan semangat ku luluh lantah, tiap bait kenangan itu kembali menyeruak tanpa permisi.


Masih hangat dalam ingatanku, satu bulan lalu tatkala tawa yang di pagi harinya masih tersuara berganti tangis yang menyesakkan saat kakak memberi kabar duka tanpa aku tau apa-apa.
“Hallo dek, hari ini pulang secepatnya ya,” ujar kakak ku waktu itu. Aku terpaku kenapa kakak menangis meminta ku untuk pulang, aku ingin bertanya tapi lidahku terasa kelu untuk bersuara. Bermacam prasangka telah bersarang di benakku. Hingga kata yang ingin aku tanyakan tersuara tanpa aku perintahkan.


“Kak, mama baik-baik saja kan?” Tanya ku. Bukan jawaban yang aku terima melainkan Suara tangis kakak yang makin meningkat seirama degub jantung ku terasa kian cepat. Lelehan bening jatuh dari mataku, aku tidak menangis tapi mengapa air mata ini jatuh sendiri pikirku. Tanpa banyak kata aku bersiap dengan hanya membawa tas yang berisikan uang dan hp saja. Sesak di hatiku semakin terasa, dan entah mengapa lelehan cairan bening terus menguyur pipiku tanpa jera.


Sesampainya di rumah, kakiku terpaku melihat orang yang ramai di sekitar rumah itu, dengan paksaan aku mengayun kaki menuju pintu setiap yang aku lalui hanya tatapan sendu yang aku temui, memuakkan sungguh aku membenci tatapan seperti itu.


Pertama kali mata ku memasuki rumah, aku hanya melihat papa yang terduduk diam dan menoleh saat melihat aku datang. Aku tidak melihat air mata di wajah papa hanya saja secara nyata aku melihat guratan sedih yang pertama kali aku lihat di mata papa.


“Mama mana pa? kenapa ada banyak orang, kakak sama Abang juga pada kemana?” Tanyaku dengan suara parau. Papa hanya diam, tanpa berkata apa-apa hingga tiba-tiba kakak sepupu menarik aku menuju sebuah kamar yang belakangan ini tempat aku merawat mama.


“Na, mama kamu sudah tiada, yang sabar ya, sekarang masih di perjalan dari rumah sakit sepertinya sebentar lagi jenazahnya akan sampai,” Ucapnya lirih.


Degub jantung ku seakan berhenti, kakiku tak mampu menapak di bumi hingga aku terduduk di atas kasur. “Kenapa? Kenapa secepat ini Tuhan, aku berdoa meminta kesembuhan untuk mama, mengapa kau mengambilnya dari ku, bukan kesembuhan seperti ini yang aku pinta” jerit batinku.


Kali ini aku tak menapik jika air mata benar-benar jatuh menguyur pipi, hanya saja suara ku hilang entah kemana, menyesakkan sangat sangat menyesakkan hingga aku hanya mampu menangis tanpa suara.
“Jangan menangis, doakan mama,” ujar papa menenangkan.


Aku terdiam namun air mata ku tak berhenti berjatuhan. Aku kecewa, aku terluka, kemarin malam aku masih bertukar kabar dengan semua yang dirumah tapi tak satupun yang memberitahu kondisi mama yang kian parah. Ingin marah tapi tak bisa, ingin teriak suatu tercekat entah kemana.


“Kenapa semuanya tak ada yang bicara apa-apa, saat aku menelpon kemaren katanya mama sudah baik-baik saja, aku menyesal kenapa aku tidak bertahan di saat terkahir mama pa, semua mendesak aku balik melanjutkan pendidikan tapi firasat aku meminta aku tinggal dan ternyata….” Suara ku tercekat tak mampu melanjutkan.


Ketika mobil jenazah sampai dirumah duka, semua orang membatu mengangkat jenazah mama, membaringkan dan terbujur kaku di sudut rumah. Aku keluar dari kamar, saat itu aku melihat mata kakak dan Abang yang memerah bekas tangisan. Aku tak bergeming hanya saja mataku terpaku pada satu titik dengan cairan bening yang terus menetes. Semua orang menatapku, memberikan tatapan sendu yang tersirat menunjukkan keprihatinan sungguh tatapan itu membuat tangis ku kian menyeruak.


Lamunanku buyar saat Lara menepuk pundakku pelan, aku tersentak saat aku merasa pipiku basah oleh air mata. Tanpa sadar Lara memperhatikan. “Kamu baik-baik saja? sudah tau berita meninggalnya orang tua Luna temen sekelas kita?” Ucapnya hati-hati. Dan aku menjawab dengan anggukan.
“Ayo kerumah duka,” Ajak ku.


Kami pun bersiap melayat kerumah Luna salah seorang teman sekelas yang hari ini juga kehilangan ratu singgana dalam istana yang disebut rumah. Namun tak bertahan lama aku segera pulang tak tahan dengan tatapan orang-orang yang meskipun tertuju untuk Luna namun turut menyesakkan untuk aku yang melihatnya.
“Aku benci…aku benci tatapan itu,” Teriak ku sesampainya diluar kamar.
“Tenang na, tenang” Bujuk Lara kepada ku.


Sontak aku menoleh seraya tersenyum getir kepadanya. “Tenang, katamu…hahaha, aku tak sekuat kamu Ra, aku tak sekuat kamu yang berusaha tersenyum di saat orang-orang menatap seperti itu, bagiku bukan merasa istimewa tapi mengerikan,” Ujarku berlalu pergi tanpa pamit.


Lara hanya bisa terdiam memperhatikan langkahku menuju kamar, itu cukup membantu bagi aku yang menenangkan pikiran, kesendirian dengan kesendirian mampu meredam amarah yang tadi sempat memperparah emosional ku.
Beberapa saat kemudian Lara menghampiri aku yang masih termenung. Ia menepuk pundak ku pelan memastikan aku baik-baik saja.


“Kamu kuat Na, jangan begini” ucapnya lirih.
Aku tak menjawab tetapi langsung memeluknya erat. Semua telah berlalu, aku tidak harus berlarut dalam ketakutan itu, saatnya kembali maju tanpa takut akan apapun tekad ku dengan tangis yang kembali luruh dalam dekapan yang berharap kepingan luka kembali utuh. Namun bagaimana, setiap orang menatatap ku secara bersama rasanya aku ingin menangis saat itu juga, bersama luka aku harap aku terbiasa.

Padang, 30 Mei 2022

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Mengejar Mimpi

Next Post

Menyikapi Cuaca Ekstrem, Klaus Damanik: Masyarakat Harus Hambat Laju Perubahan Iklim

Related Posts
Total
0
Share