Suarakampus.com- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang ungkap enam perusahaan sawit yang berkonflik di Sumatra Barat. Hal tersebut disampaikan secara daring, dengan tajuk Catatan Akhir Tahun LBH Padang, Pukul Balik Oligarki Selamatkan Rakyat dan Semesta.
Webinar tersebut digelar untuk mepublish hasil kerja LBH dalam kurun waktu setahun belakang sekaligus membuka ke ranah publik tentang konflik-konflik yang terjadi di Sumbar.
Selaku Kepala Divisi Sumber Agraria dan Lingkungan LBH Padang, Diki Rafiqi menuturkan konflik mengenai lahan kerap terjadi di Sumbar, mayoritas faktor yang melatarbelakanginya adalah ketimpangan penguasaan lahan. “Konflik SDA ini merupakan konflik yang cukup masif terjadi dan hingga kini belum juga terselesaikan,” tuturnya, Selasa (28/12).
Diki mengatakan ada tiga temuan penyebab konflik itu terjadi, yaitu perampasan lahan, kerja sama yang tidak dijalankan dengan baik oleh perusahaan dan tidak adanya FDIC (Federal Deposit Insurance Corporation). “Ketiadaan FDIC ini juga menyebabkan masyarakat adat atau umum menjadi dirugikan,” ucapnya.
Diki mengungkapkan, terdapat enam perusahaan sawit di Sumbar yang berkonflik. “Yang berhasil kami catat itu ada enam, di antaranya PT Permata Hijau Pasaman 1, PT Ranah Andalas Plantation, PT Karya Agung Megah Utama, PT Perkebunan Nusantara VI, PT Anam Koto Pasaman Barat dan PT Lintas Inter Nusa Pasaman Barat,” ungkapnya.
Di antara keenam perusahaan tersebut, bahkan ada yang sudah mendapatkan Surat Peringatan tiga dari Bupati kata Diki. Artinya perusahaan tersebut tidak layak lagi dan sudah tak punya kekuatan hukum yang cukup untuk melangsungkan aktivitas perkebunannya. “Dalam kurun waktu 2020, sebanyak 25o kartu keluarga (KK) menuntut haknya atas tanah kepada PT Ranah Andalas Plantation ini,” tambahnya.
Selain itu, permainan orang dalam juga kerap menjadi faktor konflik yang merugikan warga, Diki mencatat di PT Karya Agung Megah Utama yang terletak di Sungai Jariang, Kabupaten Agam, terdapat kasus pembebasan lahan. “Bahkan Hak Guna Usaha (HGU) dari perusahaan ini sudah berakhir, dan masyarakat masih juga harus berjuang untuk memulihkan hak akan tanah yang diambil oleh perusahaan,” pungkasnya.
Diki menjelaskan bahwa perusahaan sawit yang berkonflik tersebut juga tidak menyediakan kebun plasma untuk masyarakat, padahal itu berguna sebagai sumber ekonomi terhadap masyarakat yang kehilangan lahannya.
Diki berharap melalui penyampaian kasus konflik lahan sawit di Sumbar ini, bisa dibentuk tim penyelesaian konflik tingkat provinsi serta memberikan sanksi kepada perusahaan yang melanggar aturan. (gfr)
Wartawan: Alif Ilham Fajriadi