Alya Irawan
(Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam UIN Imam Bonjol)
Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) telah membawa revolusi dalam dunia pendidikan, terutama di kalangan mahasiswa. Dengan kemudahan akses ke alat seperti ChatGPT, MidJourney, dan platform berbasis AI lainnya, penyelesaian tugas kuliah menjadi jauh lebih cepat dan praktis. Namun, kemudahan ini mulai memunculkan pertanyaan kritis: Apakah mahasiswa masih benar-benar belajar atau hanya mengandalkan teknologi untuk menyelesaikan tugas tanpa pemahaman mendalam?
Fenomena ini makin marak sejak pandemi, ketika pembelajaran daring membuka peluang penggunaan teknologi secara masif. AI menawarkan solusi instan untuk berbagai tugas seperti esai, laporan, analisis, hingga presentasi. Dengan beberapa klik saja, jawaban sudah tersedia, lengkap dengan referensi dan struktur penulisan yang baik. Di satu sisi, ini adalah kemajuan luar biasa yang membantu efisiensi belajar. Namun di sisi lain, kebergantungan yang berlebihan pada AI menggerus kemampuan berpikir kritis, analitis, dan kreativitas mahasiswa.
Banyak dosen mulai mengeluhkan hasil tugas yang seragam dan minim orisinalitas. Esai yang diserahkan sering kali memiliki bahasa yang terlalu sempurna untuk ukuran mahasiswa. Akibatnya, proses pembelajaran yang seharusnya membentuk daya pikir dan pemecahan masalah menjadi tumpul. Alih-alih menggali materi secara mendalam, mahasiswa lebih memilih solusi instan dari AI. Ini menimbulkan dilema: mereka mungkin lulus dengan nilai baik, tetapi tanpa keterampilan berpikir mandiri yang diperlukan di dunia nyata.
Selain itu, ketergantungan pada AI membuat mahasiswa berisiko kehilangan kemampuan riset dan sintesis informasi. Proses membaca buku, menganalisis jurnal, dan berdiskusi dalam kelompok menjadi hal yang dianggap merepotkan. Padahal, keterampilan ini sangat penting dalam membangun kapasitas intelektual dan profesionalisme di masa depan.
Lebih parah lagi, ada risiko etis yang tidak bisa diabaikan. Menggunakan AI untuk menyelesaikan tugas tanpa memberikan atribusi yang jelas adalah bentuk plagiarisme. Ini menanamkan kebiasaan tidak jujur yang berbahaya bagi integritas akademik dan profesional di masa depan.
Demikian, perlu solusi agar risiko tidak terjadi. Beberapa di antara nya menggunakan AI dengan etis dan terarah, mahasiswa harus diajarkan untuk menggunakan AI sebagai alat pendukung, bukan pengganti proses belajar. AI bisa digunakan untuk mencari inspirasi atau menyusun kerangka berpikir, tetapi hasil akhir harus berasal dari pemikiran pribadi.
Menguatkan Literasi Digital, kampus perlu mengintegrasikan literasi digital dan etika teknologi dalam kurikulum agar mahasiswa memahami batasan penggunaan AI dan pentingnya integritas akademik. Metode evaluasi yang lebih inovatif, dosen bisa merancang tugas yang mendorong berpikir kritis dan orisinal, seperti diskusi kelas, ujian lisan, atau proyek berbasis riset. Dan penekanan pada proses, bukan hanya hasil, mahasiswa harus diajak untuk menghargai proses belajar dan upaya intelektual, bukan sekadar mengejar penyelesaian tugas. Diskusi, revisi, dan refleksi harus menjadi bagian dari penilaian.