Daniel Osckardo
(Mahasiswa Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah, UIN Imam Bonjol)
Soe Hok Gie, nama ini tidak asing lagi—terutama pada kalangan aktivis—siapapun yang pernah membacanya, setidaknya orang itu akan berpikir kembali statusnya sebagai mahasiswa, pemuda, atau manusia sekali pun. Saya sendiri belum mengenal Soe Hok Gie dari sangat dekat. Saya belum sekali pun pernah menyelesaikan membaca catatan hariannya yang fenomenal itu, Catatan Seorang Demonstran. Kata orang, catatan harian adalah representasi dari siapa yang memilikinya.
Tapi setidaknya saya mengenal Gie dari Ahmad Rifai dalam bukunya Soe Hok Gie Biografi Sang Demonstran 1942-1969. Lalu apa hubungannya Gie dengan tulisan ini? Gie adalah pentolan aktivis mahasiswa yang memiliki andil besar dalam menurunkan Soekarno dan mengganyang PKI pada tahun 1966. Satu hal yang bisa (kita) sepakat dengan Gie, seorang mahasiswa itu harus mampu mempertahankan idealisme murni. Seorang mahasiswa tidak sepantasnya melacurkan diri kepada penguasa. Setelah menumbangkan Soekarno, Soe Hok Gie berpendapat mahasiswa harus kembali ke kampus. Di sinilah korelasinya, mari kita kembali ke kampus.
Terang saja kampus kita masih memiliki berjimbun persoalan yang harus diselesaikan. Demonstrasi setiap semester adalah bukti dari permasalahan itu. Tapi, sayang kampus kita tidak juga asri. Kampus juga telah harus menanggung polusi-polusi politik tidak sehat. Namun, sekali lagi persoalan tidak bisa dicukupkan sampai di sini. Setiap permasalahan tentu membutuhkan penyelesaian. Solusi-solusi itu berada di tangan mahasiswa. Jangan terlalu gegabah, mari bicarakan hal itu dengan perlahan-lahan.
Yang paling esensial—dan sering terlupakan—manusia mesti mempertanyakan eksistensinya terlebih dahulu. Who I am? Ini adalah pertanyaan yang mesti dijawab pertama kali oleh semua orang. Akan tetapi sayangnya kita juga tidak bisa berlama-lama di sini, silakan masing-masing dari kita, selami filsafat manusia. Kita sepakati dulu pertanyaan dari who i am (siapa saya), jawabannya adalah saya mahasiswa. Berikutnya kita bertanya siapa itu mahasiswa? Kita mengajukan pertanyaan ini dalam tataran ontologis dan bersifat subjektif tentunya—saya akan dengan senang hati jika ada balasan dari tulisan ini. Urgensinya adalah pencapaian kesadaran murni. Banyak manusia yang tidak sadar dia manusia. Kalau tidak percaya cobalah jawab, apa itu manusia?
Mengutip KBBI mahasiswa adalah seseorang yang menuntut ilmu di perguruan tinggi. Ini adalah pengertian yang paling umum. Namun dalam ranah ontologis kita tidak bisa berhenti sampai di situ. Kita tidak bicara pada tataran eksistensi tapi esensi. Menyelami makna, bukan sesuatu terkooptasi seperti itu. Dibutuhkan makna yang melampaui sekatan-sekatan sempit. Kalaupun pengertian itu diterima sebagai sebuah definisi, namun posisinya sangat lemah. Hanya terbatas pada merek semata. Apa untungnya? Kalau mahasiswa tetapi tidak seperti mahasiswa. Kita bertolak dari sebuh premis di mana mahasiswa adalah kalangan yang istimewa. Namun indikator apa yang bisa dijadikan sebagai kaedah destruktif kemahasiswaan itu?
Tidak ada salahnya jika berangkat dari konsensus umum. “Mahasiswa itu adalah orang orang yang kritis”. Tetapi premis ini juga mesti diuji. Bagaimana ada orang yang kritis tetapi tidak kuliah? Layakkah dia dikatakan sebagai mahasiswa? Bisa saja dikatakan tidak karena ia tidak mendapatkan pendidikan di perguruan tinggi. Tapi (sekali lagi) tidak bisa bertahan di sana, karena pengertian yang sangat lemah, sekadar emblem.
Premis kedua, mahasiswa adalah orang yang berjiwa sosial tinggi. Semua orang juga bisa untuk berjiwa sosial tinggi. Dan kita juga tahu tidak semua mahasiswa memiliki jiwa sosial tinggi. Kita tidak akan melihat semua mahasiswa yang turun ke jalan benar-benar paham akan tuntutan dan benar-benar bertindak sebagai penyambung lidah rakyat, kita tidak akan lihat semua mahasiswa akan turun ke tempat bencana atau ke lingkungan masyarakat kecuali ketika melaksanakan kewajiban kampus. Saya tidak mengatakan konsepsi-konsepsi seperti itu salah, tapi agaknya harus lebih diperdalam lagi.
Saya ingin memberikan sebuah alternatif tentang apa atau siapa itu mahasiswa. Mahasiswa adalah orang yang bukan apa-apa tapi adalah segalanya. Terkesan rumit dan bertele-tele. Tapi saya yakin itulah mahasiswa. Mahasiswa bukan siapa-siapa adalah berhubungan dengan power. Mahasiswa bukanlah pihak penguasa yang berhak menentukan sebuah regulasi bagaimana negara harus diatur dan dijalankan, namun di lain sisi mahasiswa juga bukan petani atau buruh yang yang mencangkul di sawah atau menghabiskan jam-jam mereka di pabrik. Sedangkan mahasiswa adalah segalanya berkaitan dengan peran dan fungsi mahasiswa itu sendiri. Ke mana mahasiswa harus berpihak? Kepada kebenaran, yaitu kemanusiaan. Bagi saya satu-satunya cara untuk mengukur benar atau salahnya sebuah tindakan tergantung nilai-nilai kemanusiaannya.
Posisi mahasiswa dalam kelas sosial
Meminjam term Marxian yang membagi masyarakat ke dalam dua kelas sosial yang tendensius terhadap alat produksi, maka mahasiswa tidak bisa dimasukkan ke dalam dua kelas itu, borjuasi dan proletariat. Asumsi dasarnya adalah mahasiswa tidak mempunyai kepentingan terhadap alat produksi, kecuali pendidikan yang telah terkapitalisasi. Seharusnya mahasiswa menjadi kelas yang mengambil jarak dari dua kelas sosial yang dikatakan Marx.
Sebenarnya ini sulit. Setidaknya status quo menuliskan mahasiswa adalah bagian dari gerakan rakyat. Di samping itu, juga terdapat kengerian pribadi ketika harus mengatakan mahasiswa bukanlah bagian dari rakyat. Saya katakan mahasiswa adalah bagian dari gerakan rakyat ketika rakyat itu benar-benar berada pada pihak yang benar—kemanusiaan tadi. Tidak bisa dijelaskan dengan pasti ke kelas yang mana mahasiswa mesti ditempatkan, yang pasti mahasiswa adalah kelompok yang istimewa, di luar dari borjuis dan proletar. Keistimewaan itu mesti dibuktikan dengan kualitas.
Setidaknya pendapat dari Victor Serge soal mahasiswa masih dapat digunakan. Victor Serge mengatakan, “Mahasiswa kau ingin jadi apa? Pengacara, untuk mempertahankan hukum kaum kaya, yang secara inheren tidak adil? Dokter, untuk menjaga kesehatan kaum kaya, dan menganjurkan makanan yang sehat, udara yang baik, dan waktu istirahat untuk mereka yang memangsa kaum miskin? Arsitek, untuk membangun rumah yang nyaman untuk tuan tanah? Lihatlah di sekelilingmu dan periksa hati nuranimu. Apa kau tidak mengerti bahwa tugasmu adalah sangat berbeda: untuk bersekutu dengan kaum tertindas, dan bekerja untuk menghancurkan sistem yang kejam ini.”
Kita tidak bisa mengkritik penguasa hanya dengan dalih hak berekpresi, sebelum memenuhi esensi kritikan itu. Jangan menjadi tong kosong yang nyaring bunyinya. Jadilah cendekiawan yang benar-benar berilmu. Kritik yang benar-benar kritis. Mahasiswa yang benar-benar mahasiswa.
Masuk ke dalam lingkaran kekuasaan? Itu jauh lebih diharamkan. Bermesraan dengan penguasa adalah tindakan hina. Bisa saja ketika ada kebijakan waras oleh penguasa kemudian dibantu oleh mahasiswa untuk menyalurkannya kepada masyarakat dan membantu dalam perealisasiannya. Tapi tidak dengan menganggap diri sebagai bagian dari penguasa atau bahkan bermain dalam kekuasaan. Berkolaborasi bukan harus menjadi bagian dari kolega tersebut. Mahasiswa yang bermesraan dengan penguasa terdegrasi ke dalam kelas menengah dalam term Weberian dan merupakan kelas banci bagi kalangan Marxis. Kelas penjilat, dimana kepentingannya terpenuhi maka ia akan beralih kesana.
Sebagai penutup dari tulisan nan sederhana ini. Mari temukan kesadaran kita masing-masing. Mari buktikan bahwa kita adalah orang-orang yang memang berhak menyandang status itu, mahasiswa. Lalu, kembali ke kampus.