Penulis: Khazanatul Huda
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah disusun oleh pemerintah hampir 50 tahun. Pengesahan RKUHP sangat dinantikan karena selama hampir 77 tahun sejak merdeka, Indonesia masih menggunakan KUHP yang diwariskan oleh Kolonial Belanda disertai penyelarasan kondisi berupa pencabutan pasal-pasal yang tidak relevan. Kemudian pemerintah mulai merasa penting untuk Indonesia mempunyai landasan hukum sendiri dengan membuat rancangan kitab undang-undang hukum pidana. Landasan ini dimaksudkan untuk mengganti KUHP produk Belanda yang sekarang masih berlaku di Indonesia.
Pembuatan RKUHP ternyata tidak berjalan mulus seperti yang diinginkan, banyak pihak yang mengkritik dan menganggap banyaknya pasal yang merugikan rakyat dan menguntungkan pemerintah. Salah satu pasal yang menjadi kontroversi adalah pasal tentang penghinaan Presiden/Wakil Presiden. Sebelumnya pada tahun 2019, pemerintah mengumumkan draf final RKUHP kepada publik, yang menimbulkan penolakan karena beberapa pasal yang kontroversial sehingga, Presiden memutuskan untuk menunda pengesahan RKUHP hingga waktu tak terbatas.
Pasal penghinaan Presiden/Wakil Presiden juga terdapat dalam KUHP yang berlaku saat ini, tepatnya dalam Pasal 134, Pasal 136 dan Pasal 137. Dalam pelaksanaanya sudah ada beberapa orang yang didakwa dengan pasal ini. Beberapa orang diantaranya, Sri Bintang Pamungkas yang terlibat demo anti-Soeharto di Jerman, April 1995 dan divonis 10 bulan penjara. Nanang dan Mudzakir (aktivis mahasiswa) dihukum satu tahun penjara karena didakwa menghina Presiden, yaitu menginjak foto Megawati dalam sebuah unjuk rasa di depan Istana Merdeka pada tahun 2003, dan beberapa orang lainnya.
Tahun 2006, Eggi Sudjana dan Pandapatan Lubis mengajukan permohonan uji materil kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 134, Pasal 136 dan Pasal 137 karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28F UUD Tahun 1945 yang menjamin kebebasan warga negara memperoleh dan menyampaikan informasi. Kemudian pada tanggal 6 Desember 2006, MK mengabulkan permohonan uji materil tersebut dan menyatakan pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Tahun 2019, pemerintah kembali memasukkan pasal penghinaan Presiden/Wakil Presiden ke dalam RKUHP tepatnya dalam Pasal 218 dan Pasal 219. Pemerintah mengatakan bahwa pasal penghinaan Presiden/Wakil Presiden yang terdapat dalam RKUHP berbeda dengan pasal penghinaan Presiden/Wakil Presiden yang sudah dimatikan oleh MK sebelumnya. Semula pasal tersebut merupakan delik biasa, sedangkan dalam RKUHP pasal tersebut diubah menjadi delik aduan.
Perlu kita ketahui delik aduan berbeda dengan delik biasa. Delik aduan adalah tiap-tiap kejahatan yang dilakukan, yang hanya dapat diadakan penuntutan oleh penuntutan umum apabila telah diterima aduan dari pihak yang berhak mengadukan. Singkatnya, delik aduan hanya dapat diproses apabila si korban yang langsung mengajukan aduan atas tindakan kejahatan orang lain kepadanya. Jika kita hubungkan dengan pasal penghinaan Presiden/Wakil Presiden, berarti ketika ada orang yang melakukan penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden, maka haruslah Presiden/Wakil Presiden yang langsung mengajukan aduan. Sedangkan delik biasa, setiap orang dapat melaporkan tindakan kejahatan orang lain walaupun ia bukan korban dari kejahatan tersebut.
Keputusan pemerintah yang mengubah pasal penghinaan Presiden/Wakil Presiden menjadi delik aduan tetap menerima penolakan keras dari masyarakat, bahkan sebagian menganggap dengan diubahnya pasal penghinaan Presiden/Wakil Presiden menjadi delik aduan malah membuat pasal tersebut menjadi lebih buruk, karena terlihat tidak wajar apabila seorang Presiden/Wakil Presiden menuntut rakyatnya sendiri dan pemerintah juga terkesan mencari celah untuk mengingkari keputusan MK yang telah menghapus pasal tentang penghinaan Presiden/Wakil Presiden sebelumnya.
Menteri Hukum dan HAM menanggapi bahwa delik aduan ini, tidak berlaku untuk kepentingan umum dan untuk pembelaan diri. Ia mengatakan bahwa yang dilarang dalam peraturan ini, bukan mengkritik kinerja dari seorang Presiden/Wakil Presiden melainkan, larangan untuk menghina kehormatan atau harkat dan martabat Presiden/Wakil Presiden, seperti mengata-ngatai Presiden/Wakil Presiden dengan bahasa yang tidak senonoh.
Presiden/Wakil Presiden sebagai suatu jabatan tidak memiliki fitur moralitas untuk merasa dihina dalam konteks setiap komentar, kritikan, sentimen, pujian bahkan cibiran publik kepada Presiden/Wakil Presiden adalah bentuk penilaian terhadap kinerja Presiden/Wakil Presiden. Masalah pantas atau tidak, sopan atau tidaknya cara komunikasi publik dalam menyampaikan kritik atas fungsi pemerintahan, sudah masuk ke wilayah etika yang mana didalamnya sudah ada sanksi sosial, sehingga tidak patut dijerat dengan sanksi pidana, apalagi sanksi pidana yang diatur dalam RKUHP bukanlah sanksi pidana ringan.
Ketakutan pemerintah, jika pasal ini tidak disahkan akan menimbulkan masyarakat yang liberal adalah ketakutan yang tidak mendasar. Sejak penghapusan pasal penghinaan Presiden/Wakil Presiden oleh MK pada tahun 2006 lalu hingga sekarang, sulit dikatakan bahwa masyarakat sudah terkikis oleh nilai-nilai liberal. Artinya, penghapusan pasal penghinaan Presiden/Wakil Presiden tidak serta merta menjadikan masyarakat menjadi liberal.
Kemudian perubahan pasal penghinaan Presiden/Wakil Presiden menjadi delik aduan juga tidak menjamin turunnya kriminalisasi terhadap penghinaan Presiden/Wakil Presiden. Kenyataannya, kepolisian masih pandang bulu dan sulit untuk bersikap profesional ketika pelaporan datang dari pihak yang memiliki relasi dengan kekuasaan pemerintahan, apalagi jika pelaporan tersebut datang dari Presiden/Wakil Presiden.
Penolakan juga datang dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) yang menilai bahwa seandainya penghinaan tersebut ditujukan kepada martabat individu yang menjabat sebagai Presiden/Wakil Presiden, hal itu dapat ditindak lanjuti dengan pasal penghinaan terhadap individu dengan mekanisme gugatan perdata. Penilaian PSHK sejalan dengan survei CISA yang mengajukan angka 85,28% responden menolak pengaturan pasal tersebut.
Keputusan pemerintah untuk mengakomodir pasal penghinaan Presiden/Wakil Presiden melalui perubahan delik sejatinya memperburuk kualitas demokrasi. Hal ini sama saja dengan membunuh hak masyarakat dalam menyuarakan pendapat, eksistensi pasal tersebut akan mengacaukan rakyat dan menimbulkan banyak permasalahan. Sehingga, penghapusan pasal tersebut dari RKUHP lebih menjanjikan dalam tujuan negara untuk mencapai kesejahteraan rakyat.