Mimpi yang Tak Akan Jadi Kenangan

Oleh: Fachri Hamzah

Malam semakin larut, binatang malam bernyanyi dengan merdunya.  Kulihat, ia sedang mabuk berahi, ditambah aroma bunga yang begitu pekat, rembulan bersinar begitu terang sesekali ia tersipu malu, jam dinding berdetak dengan kencang, jarumnya tertuju pada angka dua. Aku baru sadar ternyata sudah selarut ini, walaupun demikian tubuh yang lelah ini tidak mau juga untuk direbahkan, sepertinya tubuh ini sedang asik menikmati malam yang panjang. Mengisi malam yang panjang itu, ku putuskan untuk mengambil gitar dan menyanyi sebuah lagu Sisir Tanah yang berjudul Lagu Alternatif.

Nyalakan lampu dengan putaran angin.

Terangi rumah dari aliran air

Sinari kota dengan panas matahari

Tak lama berselang saat ku masih asik memetik gitar, tiba-tiba handphoneku berdering, ternyata ada pesan dari wanita yang bernama Ranupani. Pernah datang namun ia tidak pernah singgah, seperti angin lalu yang hanya memberikan kesejukan sesaat. Terlihat, pesan itu mengajakku ke tempat yang dulu biasa kami kunjungi. Ya, ke pantai, tempat di mana sepasang anak manusia biasanya menikmati senja.

Aku terkejut, kenapa kau datang lagi Ranu?. setelah kau menghilang bersama bayang tiga bulan lamanya. Hanya pilu dan luka yang bisa ku kenang, keindahan telah sirna bersama duka. Apakah kau akan menyiram dan menumbuhkan luka  yang hampir membuatku gila. Ah, aku tak ingin seperti itu lagi. Aku tak ingin semesta kecewa dengan janji yang pernah terucap dari mulut seorang tuan ini. Janji untuk tak mengulang masa itu lagi.

Di kala kau ucapkan kata-kata manis kepadaku. Terselip sebuah harapan dariku atas mu. Namun, seketika sirna seperti kertas dibakar api dan hanya meninggalkan abu. Mungkin aku memang bodoh dan dungu, terbutakan oleh cinta. Padahal, semesta pernah berkata tidak.

“Maaf, Ranu aku saat ini sedang ada kesibukan,” balasku pada Ranu. Padahal besoknya hari libur tetapi ego telah menelanku.

***

Paginya kulihat lagi handphone ternyata tidak ada balasan dari Ranu. Bodoh amatlah aku ingin melupakan semua kenangan bersamamu. Akan ku kubur kenangan itu bersama duka dan luka. Seharusnya kamu bertanggung jawab atas duka ini Ranu, walaupun tak sepenuhnya. Aku juga punya tangung jawab atas luka dalam hati ini, karena kebodohanku semua itu tercipta dan tumbuh subur sehingga tak bisa membendungnya.

“Ah, sudahlah,” kataku dalam hati. Sehabis mandi dan sarapan, setelah itu langsung  menuju kantor redaksi, tempatku bekerja. Kebetulan hari ini tidak ada tugas liputan, jadi bisa bersantai sambil melihat Mas Kulo menyusun tata letak berita yang akan segera dicetak. Setelah disusunnya dengan rapi, ia ingin aku membaca kembali agar tidak ada kesalahan, lembar demi lembar kubaca,  hingga tanganku berhenti di sebuah kolom yang tertempel gambar seseorang yang tidak asing lagi di mata ini. Wanita yang tadi malam mengajak untuk bertemu.

Di kolom tersebut tertulis wanita tangguh yang telah menyelesaikan pendakian tujuh gunung tertinggi di Indonesia. Seketika hatiku jadi kacau tak karuan. Lalu, timbul beberapa pertanyaan dalam benak ini. Mungkin ini alasanmu meninggalkanku selama tiga bulan yang menghasilkan luka. Maaf aku selalu menyalahkanmu. Salahmu juga tidak ada memberi aba-aba. Hatiku mulai tenang serta alasan demi alasan yang mau kamu jabarkan padaku nanti, tapi sayangnya aku sudah menolakmu. Sepertinya kau memang tidak ditakdirkan untukku.

Tiba-tiba Mas Kulo menegurku. “Hei, bagaimana,?”

“Sudah siap?”

“Sudah, Mas,” jawabku. Lalu, Mas kulo menyuruhku untuk menunggu sebentar, ia mengatakan akan mengajakku ke kedai kopi yang enak. Kunanti Mas Kulo yang katanya sebentar, tetapi sudah satu jam lamanya ia meninggalkanku.

***

Setibanya Mas Kulo ia langsung mengajakku pergi, sampai di kedai kopi aku pun memesan kopi yang biasa, tiba-tiba dari kejauhan terlihat sosok yang mirip dengan Ranu. Aku juga tak yakin itu Ranu. Namun perlahan-lahan ia menghampiriku, tenyata  memang Ranu.

“Hei, Mad,” sapanya.

”Hei Ranu, maaf aku menolak ajakanmu semalam kerjaan sedang banyak sekali,”

Kamipun mengobrol tetapi tidak lama, karena Ranu dipanggil seorang lelaki yang telihat dari penampilannya, ia juga seorang pendaki. Sepuluh menit kemudian Ranu datang lagi ke hadapanku dan pamit untuk pergi ke Himalaya. Aku yang sudah terlanjur berduka hanya bisa berucap. “Iya kamu hati-hati saja, Nu!”.

Ranu pergi lagi. Sebenarnya aku hanya butuh  penjelasan. Penjelasan panjang yang , beserta kata maaf karena telah meninggalkan luka pada diriku Ranu. Mungkin karena egoku juga yang tidak ingin pergi ketika kau ajak semalam.

Beberapa saat kemudian pesan datang lagi pada Handphoneku.“Rahmad aku ingin melanjutkan pendakian ke Puncak Everst bersama sahabatku Roki.”

“Aku minta maaf karena tiga bulan terakhir tidak memberimu kabar, ya, karena ini, aku ingin menyelesaikan ekspedisi,” pesan kedua masuk. Aku tak bisa berkata setelah melihat pesan dari Ranu, yang inginku lakukan menunggumu kembali dari pendakian, akan ku utarakan rasa ini. Rasa yang pernah inginku buang bersama kenangan.

Setelah tiga bulan Ranu pergi. Aku mendapatkan kabar, rombongan pendaki dari Indonesia hilang di Everest, tim pencari sudah satu minggu melakukan pencarian. Namun, hasilnya nihil, seketika aku teringat kepada Ranu. Ranu masih belum memberiku kabar di mana dia sekarang?.

Aku jadi bingung, ketika aku sudah bisa menerima kamu, kau entah ke mana, selalu membuatku galau seribu malam. Meninggalkan sepercik api yang dulunya kamu siram dengan minyak, menanam sebenih rindu yang tak pernah kamu tuai. Ranu dimana?.

***

Tiba-tiba ada yang memanggilku. “Rahmad,” panggilnya. Aku tidak tau siapa yang memanggilku. Semestakah, Tuhan, atau siapa?, kulihat di sekitar tidak ada satu orangpun. Lalu siapa?. Aku pun terbangun di tempat di mana aku ditinggalkan Mas Kulo. Beberapa saat kemudian Mas Kulo datang menghampiriku. “Ehh maaf aku lama meninggalkanmu sampai kamu ketiduran,” ujarnya.

Ternyata hari sudah menunjukkan pukul tiga sore. Mas kulo tetap mengajakku ke kedai kopi yang paling enak di kota, sesampai di kedai kopi yang jaraknya lumayan jauh dari  kantor, kamipun memesan kopi  espresoo , pahit tapi membuat hati dan pikiranku lebih tenang ditambah suara ombak yang terdengar merdu. Mas Kulo sekali lagi meninggalkanku. Ia mengatakan ingin  menelpon salah satu narasumber yang akan ditemuinya di sini.

Dangau Literasi, Rabu 20 mei 2020

*Cerpen ini ku persembahkan untuk orang yang kehilangan sebelum berani megungkapkan rasanya kepada Puan itu, karena tak berani ataupun ego diri sendiri, juga untuk orang yang patah hati, karena harapan yang terlalu tinggi. Tetap semangat dan jalani hari yang indah ini.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Filsafat Politik dan Kotak Pandora Abad ke-21

Next Post

Kembar Tapi Tak Sedarah

Related Posts

Tentang Diri

Oleh: Athaya Syahla Hanifah Rania menghidupkan data seluler, lalu meng-klik salah satu aplikasi yang selalu menjadi target atas…
Selengkapnya
Total
0
Share