Perkenalkan namaku Ikhsan, nama yang pasaran mungkin di telinga kawan-kawan. Sedikit berbagi cerita saja, aku ini mungkin anak yang biasa saja di mata orang banyak, lahir dari keluarga sederhana, tinggal di desa yang cukup jauh dari peradaban kota, ya begitulah. Desa yang letaknya paling ujung Sumatra Barat (Sumbar) yang berbatasan langsung dengan Bengkulu.
Kota padang adalah kota luas bagiku yang terbiasa dengan kehidupan desa. UIN Imam Bonjol Padang tepat nya, tempat tujuan menimba ilmu saya, mungkin terlihat aneh di mata orang-orang desa kenapa saya masih mau melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, padahal kebanyakan lulusan sarjana menganggur.
“Mau jadi apa setelah lulus?” Pertanyaan yang sering saya dengar saat pulang ke kampung halaman.
Terkadang saya hanya bisa tersenyum dan bertanya ke diri ini dan itu menjadi renungan setiap malam. Entah kenapa aku tertarik dengan hal yang berbau hukum dan itu menjadi alasan mengapa mengambil jurusan hukum. Orang-orang pun heran, baik keluarga dan tetangga. Sering tercetus dari mulut mereka kepadaku.
“Mau jadi pengacara atau hakim?” Lagi-lagi pertanyaan yang membuatku bosan.
Menurutku semua ini bukan tentang mau jadi apa tetapi ini tentang harkat dan martabat orang tua di kampung yang perlu saya angkat. Mungkin ayah dan ibuku yang tahu tentang diri ini sehingga mereka masih mengizinkan aku melanjutkan pendidikan walaupun mereka harus mencukupi kebutuhanku yang tidak sedikit.
Terfikir di benak ini “Mungkin orang tua akan kecewa jika aku tidak sukses,” hmmm sangat sulit bukan?
Ketika anak laki-laki satu-satunya di rumah menjadi harapan yang sangat dinantikan, hal itu menjadi beban pikiran bagi aku pribadi. Banyak yang bilang sudah menjadi tuntutan alam kalau anak laki-laki harus bisa menjadi orang sukses.
Selama ini aku tidak mempedulikan bagaimana orang menganggap aku ini seburuk apa, menganggap perkuliahan ini tidak berguna dan membuang-buang waktu saja. Setiap orang memiliki tujuan dan arah masing-masing, mereka tidak paham, dan mereka tidak tahu tentang diri ku ini. Sama halnya ketika aku berada di kota, hal yang paling sering ditanya orang tua ketika bertanya melalui WhatsApp.
“Bagaimana kuliahnya lancar atau tidak?”
Huffftt, ingin saja rasanya berkata jujur tetapi tak tega rasanya, mengingat keadaan orang tua di kampung dari pagi hingga sore mereka bertarung di bawah terik matahari untuk anaknya yang sedang berjuang.
Ketika malam menjelang pagi, saat selesai mengerjakan tugas kuliah, aku selalu berfikir dengan tugas yang begitu banyak dan bertumpuk kadang membuatku putus asa dan bingung apakah aku mampu dengan semua ini, haruskah berhenti atau bagaimana? Untuk saat ini, belum ada niat untuk menyerah karena teringat begitu sungguh-sungguh orang tua memberi semangat selama ini. Di sisi lain, tak pantas rasanya menyerah setelah mengingat pengorbanan orang tua menafkahi saya.
“Yang penting kamu dapat ilmu yang banyak dan lebih pintar dari ibu yang tidak sekolah ini,” ucap Ibu setiap memberi motivasi sehingga semangat dalam diri tumbuh kembali.
Lucu jika dilihat ketika wajah dewasa dan seram ini tiba-tiba luluh dengan kata-kata Ibu, tapi itu kenyataannya dan itu yang aku alami, rasanya selalu terngiang-ngiang kata-kata orang tua saat merasa lelah dan bosan menjalani perkuliahan. Tak sanggup rasanya jika mengecewakan orang tua ketika mereka sudah percaya anaknya akan mampu menjalani kehidupan sebenarnya. Tiada kata-kata atau hal yang sanggup aku berikan kepada orang tua untuk membalas semua yang telah mereka berikan selama ini, melainkan semangat dalam diri bahwa aku mampu dan masih semangat untuk berjuang.
Penulis: Ikhsan Nur Hidayat (Mahasiswa Hukum Tata Negara, UIN Imam Bonjol Padang)
Jadilah seperti pohon kanda
Bukankah pohon akan sangat bahagia ketika hujan turun?
Berhentilah menjadikan kerumunan sebagai cara untuk menyembunyikan kesepian
Aku percaya dengan mu
Semoga rimba bahagia selalu bermekaran dalam hidup mu