Mutiara di Tengah Badai

(Sumber: Verlandi/suarakampus.com)

Oleh: Anisa Pitri Tara

(Mahasiswi Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam)

Di sebuah desa kecil dekat pantai, hiduplah seorang gadis muda bernama Kaiyla Azzahra. Penduduk kampung biasa memanggilnya Kaiyla. Ia adalah tamatan pondok pesantren, namun nasibnya tak sama dengan teman-teman seangkatannya. Salah satu temannya, Najwa, juga berasal dari kampung yang sama. Berbeda dengan Kaiyla, Najwa dikenal cerdas, aktif, dan serba bisa. Ia sering menjadi panutan di kampung maupun di pondok pesantren.

Sementara itu, Kaiyla sering kali lupa hafalan, gagap membaca kitab kuning, dan tidak pernah pandai berdebat. Ketika diajak berdiskusi tentang agama, Kaiyla cenderung diam, takut salah bicara. Orang-orang di kampung mulai berbisik-bisik.

Orang-orang kampung kerap membandingkan Kaiyla dengan Najwa. “Lihat Najwa, anak berprestasi yang selalu diandalkan. Tapi Kaiyla? Percuma bertahun-tahun mondok, ceramah saja tidak bisa,” ujar salah satu ibu kampung suatu hari.

Kaiyla mendengar komentar itu. Kata-kata tersebut menusuk hatinya, namun ia memilih untuk diam. Meski sering dianggap bodoh dan memalukan, Kaiyla memiliki sifat yang lembut dan hati yang tulus. Ia selalu membantu siapa pun tanpa pamrih.

Rumah Kaiyla yang dekat dengan mushala membuatnya sering berada di sana. Setiap pagi, sebelum azan Subuh berkumandang, ia membersihkan mushala, menyapu lantai, dan mengisi bak air untuk wudhu. Tidak ada yang memintanya melakukan itu; Kaiyla melakukannya dengan sukarela.

Hari itu, hujan turun sangat lebat sejak pagi. Angin kencang bertiup, membawa suasana dingin yang menusuk tulang. Kaiyla menatap ke luar jendela, melihat air yang mulai menggenangi halaman rumahnya. Hatinya terasa gelisah.

“Hmmm… bagaimana ya? Kalau hujan tidak berhenti, air bisa naik ke mushala,” gumamnya dalam hati. Meski hujan, Kaiyla tetap pergi ke mushala. Dengan payung tua yang bocor, ia berjalan di tengah derasnya hujan.

Seorang penjual sarapan pagi yang kebetulan melihatnya menggelengkan kepala sambil tersenyum kagum. “Hujan begini lebat, tapi Kaiyla tetap saja pergi ke mushala. Dia memang luar biasa,” ucapnya pelan.

Namun, kebaikan Kaiyla tetap tidak diakui oleh banyak orang di kampung. Mereka masih memandangnya sebelah mata, menganggapnya tidak berguna karena tidak memiliki prestasi seperti Najwa.

Malam tiba, namun hujan tak kunjung berhenti. Air mulai naik dengan sangat cepat, membanjiri rumah-rumah di kampung. Orang-orang panik, berusaha menyelamatkan barang-barang mereka. Beberapa warga menangis karena kehilangan harta benda yang tak sempat diselamatkan.

Kaiyla, yang menyaksikan kekacauan itu, segera mengambil mikrofon di mushala. Dengan suara yang sedikit bergetar karena gugup, ia berkata, “Para warga, diharapkan untuk tidak panik. Sebaiknya kita segera mengungsi ke balai desa, di sana lebih aman.”

Awalnya, tak seorang pun mendengarkannya. Beberapa warga bahkan mencibir, “Apa yang Kaiyla tahu? Dia kan bodoh.” Namun, setelah beberapa saat, seorang bapak mulai menyadari kebenaran ucapannya. Dengan nada serius, ia berkata, “Betul juga kata Kaiyla. Kalau kita tetap di sini, air akan semakin tinggi. Ini berbahaya.”

Perlahan-lahan, warga mulai mengikuti saran Kaiyla. Mereka mengajak keluarga masing-masing menuju balai desa yang terletak di dataran lebih tinggi. Dalam perjalanan, sebuah insiden terjadi. Seorang ibu yang menggendong anak kecil tiba-tiba tergelincir. Anak itu terlepas dari pelukannya dan hanyut terbawa arus deras.

Tanpa berpikir panjang, Kaiyla menerjang derasnya arus air yang dingin. Ia berlari sekuat tenaga mengejar anak kecil itu, meski tubuhnya sudah basah kuyup. Orang-orang hanya bisa tertegun, menyaksikan keberanian luar biasa yang diperlihatkan Kaiyla.

“Alhamdulillah, aku berhasil!” seru Kaiyla lega saat akhirnya ia berhasil menangkap anak kecil itu sebelum hanyut lebih jauh. Tanpa membuang waktu, ia segera membawa si kecil kembali ke pelukan ibunya yang menangis tersedu-sedu.

“Terima kasih, Kaiyla. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kamu tidak menolong anakku,” ucap sang ibu dengan suara bergetar penuh haru.

Setelah banjir surut, warga desa mulai perlahan membangun kembali rumah dan kehidupan mereka. Namun, ada satu hal yang berbeda. Orang-orang kini memandang Kaiyla dengan penuh rasa hormat dan penghargaan.

Saat berjalan bersama temannya, seorang ibu di kampung berkata, “Kaiyla mungkin tidak dianggap pintar, tetapi hatinya begitu mulia. Dia rela berkorban demi kita semua. Aku benar-benar malu pernah berpikiran buruk tentangnya.”

Sejak peristiwa itu, Kaiyla menjadi sosok yang dihormati di kampungnya. Meski begitu, ia tetap menjalani hari-harinya dengan sederhana, membantu warga, dan merawat mushala seperti biasa, seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Najwa, yang sebelumnya sering menjadi pusat perhatian, mendekati Kaiyla suatu sore. Dengan raut wajah penuh penyesalan, ia berkata, “Kaiyla, aku ingin mengatakan bahwa kamu luar biasa. Selama ini, aku merasa iri karena kamu selalu tulus membantu orang lain, sementara aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri.”

Kaiyla hanya tersenyum kecil dan menjawab lembut, “Aku tidak luar biasa, Najwa. Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar dan baik.”

Kisah hidup Kaiyla mengajarkan bahwa kecerdasan sejati tidak diukur dari kemampuan berbicara atau pencapaian yang kasat mata, melainkan dari ketulusan hati dan keberanian untuk berbuat baik.

Orang-orang kini menyadari bahwa, meskipun Kaiyla tidak sempurna, ia adalah mutiara berharga di kampung mereka. Ia membuktikan bahwa kelembutan hati dan keikhlasan mampu menyentuh banyak jiwa, bahkan di tengah badai kehidupan sekalipun.

Kaiyla mengajarkan bahwa kecerdasan sejati tidak hanya diukur dari kemampuan berbicara atau pencapaian yang terlihat, tetapi dari ketulusan hati dan keberanian untuk berbuat baik.

Adab lebih mulia daripada ilmu. Orang yang berilmu belum tentu memiliki adab, tetapi orang yang beradab pasti memiliki ilmu.

Dengan keikhlasannya, Kaiyla telah menjadi cerminan indah dari nilai-nilai tersebut, menginspirasi orang-orang di sekitarnya untuk menjadi lebih baik.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Labirin Mahasiswa Akhir

Next Post

Media Sosial dan Pengaruhnya untuk Otak Manusia

Related Posts

Semangatku

Perkenalkan namaku Ikhsan, nama yang pasaran mungkin di telinga kawan-kawan. Sedikit berbagi cerita saja, aku ini mungkin anak…
Selengkapnya
Total
0
Share