Oleh : Idhar Koto
(Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang)
Kelam kian pekat membungkus larutnya malam. Tubuh mungil Ghifra meringkuk di balik selimut tipis yang tak sedikitpun mengusir dingin. Namun, hal tersebut sejalan dengan kondisi gubuk reyot beralas tanah yang tiangnya dihiasi ukiran hasil kerja para rayap.
Kamar tanpa pintu berukuran 4×6 meter itu hanya berisi kulkas usang berisikan pakaian hingga buku milik Ghifra. Selain itu, ada koleksi unik milik Ghifra, yaitu barbie botak kesayangan nya. Unik bukan. Di samping kulkas, terdapat sebuah tas sekolah dan meja lipat kecil bergambar masha and the bear berkumis pink dan dan berjanggut kuning asimetris hasil penata rias terhebat di gubuk itu, siapa lagi kalau bukan Ghifra Fithri Kurnia.
Malam ini, baginya begitu mencekam untuk dapat tertidur nyenyak. Angin kencang menggoyang-goyang batang bambu yang menyentuh atap seng berkarat kamar, berhasil menambah kesan seram suasana. Ghifra berpikir bisa saja itu adalah makhluk bertaring dan berkuku panjang yang sedang menggaruk-garuk atap untuk melahapnya hidup-hidup. Imajinasi bocah itu, sedang merajalela.
Tiba-tiba, pintu berderit. Ghifra memicingkan matanya kuat-kuat. Ia tak mau penasaran dengan keseraman apa lagi yang akan datang menghampiri. Ia harus tidur malam ini. Tekadnya.
“Klotak..klotak…klotak” Terdengar langkah kaki berjalan perlahan tapi pasti menuju kamarnya. ingin dia berteriak meluapkan segala rasa takut tapi ia selalu memegang pesan kakaknya. “Jangan beranjak dari ranjang ketika sudah larut malam dan abaikan semua suara bagaimana pun bunyinya” Kira-kira begitulah cara bocah delapan tahun itu menterjemahkan pesan siaga dari kakaknya.
Langkah itu kini berhenti. Ia yakin sosok itu sudah berada persis di dalam kamarnya. Tepat sisi ranjangnya. Tapi iya terlalu takut untuk membalikan badan melihat bagaimana rupa monster itu. Karena kata kakak, kalau kita pura-pura tidur, nanti monsternya bosan dan terus pergi mencari anak nakal lain yang masih bangun tengah malam.
Monster itu mendekat hingga terdengar deru nafasnya dengan jelas. Kini ia duduk persis di tepi ranjang. Ghifra masih dalam posisinya, berpura-pura tidur dan memicingkan matanya kuat-kuat. Tiba-tiba..
“Muaach….” Sebuah kecupan hangat mendarat di pipi tebal Ghifra. Sontak ia kaget tapi kemudian lega karena ternyata monster itu adalah kakaknya.
“Kakaaaaak…” Rengeknya menangis manja sembari memeluk tubuh kakaknya erat-erat.
“Kakak kok lama sekali pulangnya?, Apa banyak om-om jahat yang mau melukaimu kakak?” Tanya Ghifra polos pada kakaknya.
“Iya Ghifra, Kakak harus kalahkan mereka dulu baru bisa pulang” Jawab kakaknya meladeni kepolosan adiknya.
Ghifra kecil hanya tinggal berdua dengan kakaknya. Ibu dan ayahnya sudah meninggal secara tragis 3 tahun silam karena kecelakaan. Mobilnya terjun ke dalam jurang di jalan Malalak, Agam, Sumatera barat.
Beruntung Ghifra dan kakaknya tidak ikut dalam perjalanan nahas itu karena sedang menjaga neneknya yang sedang sakit keras di rumah.
Tiga bulan berselang, giliran neneknya yang meninggal. Karena tak ada penanganan medis yang serius, penyakit kronis yang dideritanya itu akhirnya membunuhnya.
Kini Nishfa lah yang menjadi tulang punggung. Ia harus menghidupi satu-satunya keluarga yang tersisa di hidupnya. Si kecil Ghifra.
Karena hanya tamatan SMA, tak ada kecakapan khusus yang ia miliki sehingga demi memenuhi kebutuhan dia dan adiknya, ia harus rela bekerja di luar kemampuan dan keinginan hatinya. Nishfa baru berangkat kerja sore hari dan hanya akan pulang ketika subuh hampir datang. Pekerjaan yang sangat berat bagi gadis 19 tahun.
“Kak Nishfa kerja apa, sih? Kok pulangnya lama terus?” Protesnya suatu hari.
“Kakak itu kerjanya melawan om-om jahat. Kakak harus kalahkan mereka dulu satu persatu baru kakak bisa pulang dan bawa makanan buat Ghifra” Jelasnya sambil mencubit gemas pipi Ghifra.
Nishfa seringkali menjawab pertanyaan adiknya dengan jawaban yang terkesan becanda dan mengada-ada. Namun, Ghifra sangat percaya pada cinta semata wayangnya itu.
Malam ini adalah malam tahun baru. Tapi hujan turun deras sekali. Gelegar petir sambar menyambar terdengar bersahutan. Suaranya merusak ritme melodi hujan nan menenangkan. Ghifra tetap dalam posisi meringkuknya sepanjang malam sembari berharap kakaknya pulang membawa makanan dan barbie duyung baru yang ia minta sebagai hadiah tahun barunya.
Ia tak sabar menunggu kakaknya pulang membawa hadiah itu. Ia berkhayal akan bermain bersama tiga Barbie besok pagi. Ia juga sudah berjanji pada kakaknya tidak akan mencabuti rambut berbienya lagi. Ah, pagi sungguh lama sekali datang. Pikirnya.
Hujan sudah reda, adzan subuh pun berkumandang dengan merdu menggugah hati dari corong-corong toa masjid. Tapi Nishfa belum juga pulang.
Ghifra mulai kesal menunggu kakaknya yang tak kunjung pulang. Padahal ia sudah begadang semalaman dan berhasil melewati rasa takutnya demi Barbie baru itu.
“Kak Nishfa jahat. Aku udah nunggu semalaman, tapi dia gak datang-datang. Kemana sih, kak Nishfa?” Gerutunya.
Ghifra berangkat sekolah dengan kesal. Ia bertekad akan memarahi kakaknya setelah pulang sekolah nanti. Apalagi kalau dia tidak membawa Barbie duyung baru. Ia akan membenci kakaknya itu.
Keesokan harinya, Ghifra seperti hari biasa berangkat ke sekolah untuk belajar agar bisa menggapai cita-citanya. Kekesalan tadi malam kepada kakaknya, seakan-akan lupa dan beranjak dari Ghifra.
“Anak-anak, sekarang kita belajar Seni Budaya dan keterampilan. Silakan dibuka buku gambarnya dan gambar hal yang paling kalian inginkan” Instruksi guru yang langsung disambut wajah antusias anak-anak. Mereka sangat suka menggambar, terutama Ghifra.
Buru-buru ia menggambar Barbie duyung dengan semangat. Ia sudah lupa dengan kekesalan pada kakaknya tadi pagi.
Tiba-tiba datang dua orang paruh baya berseragam ke kantor kepala sekolah. Seluruh guru pun dipanggil ke ruangan, meninggalkan murid-murid mengerjakan tugas sendirian. Termasuk kelasnya Ghifra.
“Ada Polisii!!” Seru Andre, teman Ghifra antusias setelah ia naik ke atas meja.
“Pasti pak polisi itu mau nangkap om-om jahat. Kakak aku juga kerjanya sama kayak Pak polisi itu” Sahut Ghifra, bangga.
“Kakakmu polisi juga ya?” Tanya Salma.
“Kayaknya bukan, deh. Soalnya dia ga pake baju polisi kayak bapak-bapak itu”
“Itu artinya kakak kamu adalah polisi yang sedang menyamar” Timpal Andre.
Bu Guru kemudian masuk ke kelas lagi. Murid-murid yang berantakan tak beraturan tiba-tiba kembali duduk rapi di tempat duduknya.
“Ghifra, Ayo ikut Ibu, Nak!”
Ghifra melompat dari tempat duduknya, berlari menuju sumber intruksi tersebut dan digiring menuju kantor.
Di depan kantor kepala sekolah kini ramai oleh guru-guru lainnya, mereka berhenti sebentar.
“Ghifra harus kuat ya, Cantik. Harus tabah apapun yang terjadi” Ujar gurunya membuka percakapan sebelum masuk kantor.
“Ghifra memang kuat, Buk. Ghifra kan sudah diajari kakak” Jawabnya polos sembari memamerkan pangkal lengan gempalnya.
Pikirnya, ia hanya akan disuruh mengisi ulang spidol atau membawakan buku tugas teman-temannya ke kelas. Tapi ternyata…
“Benar kamu adiknya Nishfa Azizi Kurnia?”
“Benar, Pak”
“Ini ada mainan yang bapak temukan di tas kakakmu. Bapak yakin ini pasti hadiah untukmu”
Ghifra melonjak kegirangan menerima hadiah itu. Dia berpikir bapak-bapak baik itu pasti datang untuk mengantar hadiah tahun barunya.
“Yang sabar ya, nak. Kakakmu sekarang sudah tenang di alam sana” Ucapnya berbela sungkawa.
“Kakak sedang bertugas ya, Pak?” Tanyanya tidak mengerti.
“Kakakmu meninggal, Nak. Ia terjatuh dari lantai 4 hotel Pertiwi tadi malam”
Ghifra meraung dan melempar Barbie barunya. Ia tak siap untuk kehilangan satu-satunya keluarga yang dicintainya.
Yang tidak diketahui Ghifra adalah ternyata kakaknya terjatuh dari jendela lantai 4 hotel karena panik saat terjaring razia. Ia sedang melayani hasrat busuk pria paruh baya yang menjadi kliennya malam ini.
Ia berusaha bersembunyi di balik jendela yang memiliki sedikit bagian untuk menopangkan kaki. Namum, bentak polisi pada si hidung belang mengagetkannya. Pegangannya pada bibir jendela terlepas, dan ia terjatuh.
Tak ada identitas yang ia temukan pada diri korban. Hanya sebuah Barbie duyung dan nota bukti pembayaran SPP sekolah Ghifra. Itulah yang membawa bapak-bapak itu datang ke sekolah Ghifra dan membawa kabar ini.
Kakak Ghifra nyatanya bukanlah seperti yang dikatakan oleh Andre tadi, tapi seorang wanita tuna susila pemuas nafsu lelaki hidung belang.
Hari itulah, hari terakhir di mana Ghifra menerima hadiah tahun baru dari kakaknya. Tidak ada lagi Barbie baru penambah koleksinya. Ghifra, si bocah kecil malang yang sungguh hebat menanggung takdir.
Padang, 29 Mei 2022