Suarakampus.com- Pengesahan Peraturan Pemerintah No.70 Tahun 2020 beberapa waktu yang lalu oleh Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo, menuai kritik dan tanggapan dari Nurani Perempuan Womens Crisic Center (NPWCC), Kamis (07/01).
Sebagai informasi, Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2020 membahas ditetapkannya Tata Cara Pelaksanaan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, serta Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak.
Selaku Pelaksana Tugas (Plt) NPWCC, Rahmi Meri Yenti mengatakan kendati sang pelaku kejahatan seksual telah dikebiri atas perbuatannya, tidak lantas menghilangkan cara berfikir pelaku untuk menyalurkan hasrat seksualnya. “Kalaupun pelaku dikebiri, mereka tentu akan mencari cara lain menyalurkan keinginan seksualnya,” jelasnya.
Lanjutnya, pelaksanaan hukuman kebiri ini juga ditentang oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) karena dianggap cukup berbahaya. “Tindakan kebiri kimia akan merusak fisik dan psikis pelaku,” ucapnya saat diwawancarai suarakampus.com via zoom.
Lalu pemerintah hendaknya lebih memfokuskan kembali pola rehabilitasi kepada pelaku, dengan catatan penanganan yang cukup serius melalui psikolog dan psikiater profesional ketimbang memaksakan hukuman kebiri tersebut.
“Pemerintah bisa saja menyiapkan anggaran yang cukup untuk program rehabilitasi tersebut sehingga psikolog maupun psikiater bisa melakukan profesinya dengan maksimal,” tandasnya.
Untuk itu, ia berpesan agar pemerintah bersikap serius menangani kasus kekerasan seksual, apalagi terhadap anak. “Hendaknya pemerintah tinjau kembali setiap kebijakan yang pernah dibuat untuk menghadirkan dampak baik tanpa menimbulkan permasalahan baru,” harapnya.
“Apakah negara bisa menjamin ketika seorang korban dianiaya oleh pelaku karena dia sudah merasa dirinya sangat teraniaya? siapa yang akan menjamin kehidupan korban maupun pelaku kedepannya, apakah pemerintah mampu menjamin?,” tutupnya.
Wartawan: Ulfa Desnawati dan Oktri Lusiandri