Penguatan Keadilan Hukum Lewat Responsifisme dan Progresifisme

Ilustrasi responsif dan progres hukum di era digital (Sumber: Pixabay)

Oleh: Hary Elta Pratama

Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah UIN Imam Bonjol Padang

Pada dasarnya, penerapan hukum di Indonesia bertujuan untuk menciptakan keamanan dan ketertiban serta mewujudkan keadilan bagi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, untuk mewujudkan keadilan normatif, hal itu tidak terlepas dari pemikiran hukum yang diterapkan oleh institusi yang diberikan kewenangan untuk melakukan penegakan hukum.

Seiring perkembangan zaman, manusia dengan segala paradigmanya membuat sebuah dinamika yang berbeda dalam perkembangan terapan hukum, yang mana ketetapan tersebut telah merelevansikan bakunya aturan hukum ke arah yang lebih adaptif. Salah satu perkembangan dalam teori hukum saat ini adalah pemikiran tentang hukum responsif dan hukum progresif.

Kedua teori hukum ini, dalam perkembangannya dapat menjawab kebutuhan masyarakat akan pentingnya makna dari keadilan. Namun, hal itu tidak serta merta sepenuhnya dilandasi oleh pemikiran para pembentuk hukum di Indonesia, sehingga hukum di Indonesia belum terakomodasi dengan pergerakan era globalisasi saat ini.

Penerapan hukum di Indonesia masih dipengaruhi oleh pemikiran hukum positivistik-legalistik. Maka tidak heran, kalau ada beberapa pasal yang dikategorikan masih merugikan masyarakat yang berimbas pada subjek hukum terkait. Pasal karet dengan fleksibilitas hukumnya membuat kecacatan tersendiri pada kekuatan hukum. Seperti, pasal 27 ayat 1 UU ITE tentang asusila. Pasal ini bermasalah karena dapat digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online. Sama halnya dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang defamasi, yang dianggap bisa digunakan untuk represi warga yang mengkritik pemerintah, polisi atau lembaga negara.

Selain pasal karet, buah hasil dari penerapan hukum yang tidak responsif dan progresif adalah adanya pasal yang multitafsir dalam UU ITE. Contohnya seperti Pasal 26 ayat 3 tentang penghapusan informasi tidak relevan. Hal inilah yang menjadi kelemahan bagi penerapan hukum di Indonesia, bukan karena persiapan yang telah dirancang, tetapi dikarenakan pemahaman akan arus paradigma masyarakat masih belum diimplementasikan sepenuhnya oleh pemerintah dan pakar hukum terkait.

Selama ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku dan terlalu menekankan pada aspek legal sistem tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan lain seperti permasalahan sosial. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan bagi penguasa. Disisi lain, ada juga pemahaman mengenai hukum yang menekankan aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri, padahal, semestinya teori hukum hendaknya tidak menutup diri terhadap faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perkembangan masyarakat.

Dalam praktiknya, hukum harus bisa merespon nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Aturan ini biasa disebut dengan hukum responsif. Hukum responsif menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel. Dalam hal gagasan, hukum memerlukan perubahan secara radikal dalam membendung pemikiran tentang hukum yang selama ini berkembang. Orientasi pemikiran hukum seharusnya bukan hanya terfokus kepada basis yuridis, tetapi sebagai konsep negara hukum, Indonesia bisa mengorientasikan penerapan hukumnya dengan basis sosial yang berkeadilan.

Agaknya, Indonesia sendiri sudah tidak mampu lagi menyelesaikan permasalahan hukum yang ada. Untuk itu, diperlukan adanya sesuatu yang bisa membawa arah hukum ke arah yang lebih baik. Bukan hanya manusia yang harus beradaptasi dengan lingkungannya, tetapi hukum pun pada dasarnya juga harus adaptif dan berprogres ke dalam relevansi perkembangan hukum saat ini.

Hukum progresif muncul akibat kegalauan terhadap sistem hukum di Indonesia yang selalu statis, koruptif dan tidak memiliki keberpihakan struktural terhadap hukum yang hidup di masyarakat. Hukum di Indonesia telah kehilangan basis sosialnya, basis multikultural dan ditegakkan secara sentralistik dalam bangunan sistem hukum. Hukum kemudian dipaksakan, didesakkan dan diterapkan dengan kekerasan struktural oleh aparat penegak hukum.

Pemikiran hukum perlu kembali pada filosofis dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofis tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan malah sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Logika inilah yang membuat revitalisasi hukum dilakukan setiap kali.

Oleh karena itu, agar hukum dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan jasa pelaku hukum yang kreatif menerjemahkan hukum itu untuk kepentingan-kepentingan sosial yang memang harus dilayaninya. Berdasarkan problematika yang terjadi, keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat proses logis dan formal. Akan tetapi, keadilan justru diperoleh lewat institusi, karenanya argumen-argumen logis dan formal dicari sesudah keadilan ditemukan untuk membingkai secara yuridis dan formal akan keputusan yang diyakini adil tersebut. Sehingga, perkembangan terapan hukum di Indonesia tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan juga ditujukan untuk pihak yang ada di luar dirinya.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Bazar Preneur Fest Hipmi PT, Pedagang Keluhkan Kurangnya Antusias Pembeli

Next Post

Kepastian Pengembalian Keringanan UKT UIN IB Belum Ada Titik Terang

Related Posts
Total
0
Share