Pasca Putusan MK, Independensi KPK Dipertaruhkan

Ilustrasi (Foto: tonimalakian/instagram)

Suarakampus.com- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji formil Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (04/05). Permohonan tersebut sebelumnya diajukan oleh mantan pimpinan KPK, di antaranya Agus Rahardjo, Laode M Syarif dan Saut Situmorang.

Menanggapi hal itu, Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute Center For Public Policy Research, Hemi Lavour Febrinandes mengatakan bahwa uji formil UU KPK terkesan sebagai basa-basi semata karena pada kenyataannya tidak ada uji formil yang diterima MK. “Penolakan dilakukan berdasarkan hukum, namun mengesampingkan pendapat pencari keadilan yang menuntut pembatalan UU KPK untuk menjaga marwah dan semangat pemberantasan korupsi,” katanya.

Lavour menuturkan beberapa uji materil yang ditolak MK salah satunya adalah pengawasan dewan pengawas dan status Aparatur Sipil Negara (ASN). “Berdasarkan data dari Tempo dan media lainnya terdapat 75 pegawai KPK yang tidak melakukan tes kebangsaan, hal ini dinilai sebagai pelemahan KPK secara sistematis,” sambungnya.

Lanjutnya, salah satu alasan sikap yang mendasari putusan MK yaitu adanya perubahan UU MK menghilangkan batas periodesasi jabatan hakim konstitusi yang dinilai dapat melemahkan indepedensi hakim konstitusi. Pada saat ini terdapat beberapa ketentuan yang dinyatakan konstitusional oleh MK, namun berisiko menjadi penguat oleh pemerintah serta DPR untuk menjadikan KPK di bawah rumpun eksekutif.

“Ini sebagai salah satu jalan melemahkan indepedensi dari lembaga anti rasuah ini,” tegasnya.

Menurut Lavour, jika UU KPK ini disetujui MK maka ada baiknya KPK dibubarkan saja karena kinerja KPK belakangan ini pergerakannya tidak lagi independen. “Seperti yang dikatakan Zainal Arifin Mochtar bahwa dia akan berusaha melakukan advokasi untuk membubarkan KPK karena pergerakannya tidak lagi independen,” katanya.

Kemudian, ia menilai saat ini KPK hanyalah rumah kosong yang meninggalkan bukti sejarah bahwa dahulu lembaga ini pernah menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi. “KPK saat ini hanya menyisakan monumen sejarah dan pergerakannya tidak lagi mampu menunggangi harapan masyarakat,” tuturnya.

Senada dengan itu, Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas (Unand) Beni Kurnia Ilahi mengatakan penolakan uji formil UU KPK merupakan preseden buruk bagi gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia karena berbagai keputusan tetap berada di tangan MK. Walaupun masyarakat mengetahui landasan awal pembentukan UU KPK tidak didasari dengan niat yang baik sehingga mekanisme pembentukannya menjadi sembarangan.

“Sedari awal kita telah meyakini bahwa pasal-pasal yang terdapat dalam UU KPK memang melemahkan KPK dan menjadikannya sebagai lembaga eksekutif sehingga keindependensiannya menjadi terganggu,” jelasnya.

Beni menjelaskan sifat MK tampak tidak responsif terhadap publik dengan menolak uji formil UU KPK karena dalam kaca mata hukum bisa saja UU itu bermasalah secara formil maupun materil. Namun MK yang sebelumnya menyatakan KPK merupakan lembaga negara yang independen ketika dihadapkan dengan perubahan UU ini hanya mengamini keberadaannya sebagai lembaga eksekutif.

“Hal ini tentu sangat bertentangan dengan konsep lembaga negara independen, ditambah dengan adanya lembaga dewan pengawas KPK,” tuturnya.

Menurutnya masa depan lembaga anti rasuah ini sudah mati dan telah berakhir. “Tidak ada gunanya kita mempertahankan lembaga yang nantinya bakal melindungi para koruptor uang negara,” katanya.

Beni menuturkan, secara sederhana bisa saja KPK dibubarkan atau mengganti seluruh komisioner KPK, namun secara hukum tidak dapat melakukan pemikiran yang ekstrim demikian. “Masyarakat, akademisi, praktisi dan organisasi masyarakat harus bergandengan tangan mengawal setiap kinerja KPK dalam memberantas korupsi walaupun kita lakukan dari luar,” ucapnya.

Kemudian, Beni berharap agar dewan pengawas KPK dapat menjalankan perannya secara maksimal walaupun pimpinan KPK tidak menjalankan kewenangannya. “Korupsi adalah penyakit di Indonesia, maka semua unsur haru bergerak melawan segala bentuk penyimpangan dalam pemberantasan korupsi ini,” harapnya. (gfr)

Wartawan: Firga Ries Afdalia

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

UIN IB Berduka Atas Wafatnya Gubes Bahasa Arab, Masnal Zajuli

Next Post

Jalan Peta Pendidikan Indonesia Harus Dibangun Bersama

Related Posts
Total
0
Share