Oleh: Verlandi Putra
(Oleh: Mahasiswa Tadris Bahasa Inggris UIN IB)
Aku duduk di singgasana
Di meja penuh berlimpah rupa
Daging bertumpuk bagai gunung
Kuah berminyak mengalir tenang
Es berwarna tersaji megah
Beradu manis dengan sirup merah
Gelas-gelas tinggi berdenting riuh
Seakan malam ini adalah akhir
Mereka berkata, “Ini wajar
Sebelum besok kita berpuasa
Hari ini makan sepuasnya
Agar tak menyesal dikala lapar”
Aku menyaksikan piring berganti
Isi berkurang, nafsu bertambah
Genggaman sendok kian rakus
Bibir mengunyah tak kenal jeda
Besok kita menahan diri
Jangan biarkan tubuh lemah
Hari ini habiskan yang tersaji
Agar esok kuat bertahan susah
Aku pun ikut menjejalkan
Tak ingin kalah dalam perjamuan
Sebab siapa yang makan paling banyak
Besok takkan merasa kehilangan
Namun di sudut ruang sempit
Seorang bocah mengintip malu
Mata menatap piringku penuh
Seakan menakar sisa yang jatuh
Aku berpikir dalam benakku
Bukankah puasa adalah latihan?
Mengendalikan bukan melampiaskan
Menahan diri bukan menimbun
Namun mereka berkata, “Jangan khawatir
Tuhan Maha Pemurah pada hamba-Nya
Kita hanya bersiap menghadapi lapar
Ini strategi, bukan sekadar nafsu belaka”
Aku pun mengangguk, pura-pura paham
Lalu menyesap sisa gelas
Perut menegang seperti genderang
Tapi hati justru terasa kikis
Esok lusa kita berkhotbah
Menjaga lisan, menahan amarah
Namun malam ini kita berpesta
Seakan dunia akan berakhir sudah
Lucu nian manusia ini
Makan dendam sebelum menahan diri
Mengisi perut hingga nyaris meledak
Lalu berlagak suci di pagi buta
Mungkin Tuhan pun hanya tertawa
Melihat hamba lupa makna
Sebab lapar bukan untuk dibalas
Melainkan untuk diuji hikmahnya
Namun biarlah, aku sudah kenyang
Nanti siang aku akan berdakwah
Menahan nafsu dan menjaga lisan
Seolah semalam tak pernah ada