Oleh: Najwalin Syofura
(Mahasiswa Prodi Ilmu Perpustakaan Islam)
Di jantung kota yang ramai, di antara gedung-gedung pencakar langit dan deru kehidupan kota yang tak pernah berhenti, tinggallah seorang gadis bernama Maya, seorang yang mengaku sebagai penikmat segala sesuatu yang pedas. Seleranya adalah tungku api, indra pengecapnya adalah simfoni rasa panas dan pedas. Dia bisa menangani kari terpedas, saus paling menyengat, dan cabai terpedas tanpa berkeringat.
Suatu hari, Maya menemukan sebuah restoran baru launching, surga bagi segala sesuatu yang pedas, kiblat bagi mereka yang berani menantang indra pengecap mereka. Nama tempat kuliner ini adalah Mie Gacoan, tempat di mana udara berderak dengan janji rasa yang intens dan aroma rempah-rempah yang membakar hidung memenuhi penciuman.
Karena penasaran, Maya memutuskan untuk mengunjungi Mie Gacoan. Dia memasuki restoran, jantungnya berdebar-debar penuh antisipasi, indra perasanya geli karena kegembiraan. Menunya merupakan rangkaian hidangan pedas yang menggoda, masing-masing lebih menarik dari yang lain. Mata Maya bergerak dari satu hidangan ke hidangan lainnya, pikirannya berlomba dengan berbagai kemungkinan.
“Wah, banyak banget pilihannya,” gumam Maya sambil membaca menu. “Semuanya kelihatan enak dan pedas.”
Akhirnya, dia membuat keputusan. Dia memesan semangkuk Mie Gacoan, hidangan khas restoran, ramuan pedas mie, daging, dan sayuran, semuanya bermandikan saus merah yang berapi-api. Dia memilih tingkat kepedasan terendah, berpikir itu akan menjadi pengantar yang lembut untuk kehebatan kuliner restoran.
“Mbak, saya pesan Mie Gacoan level satu ya,” kata Maya kepada pelayan.
“Baik, Kak. Ditunggu ya,” jawab pelayan sambil tersenyum.
Hidangan itu tiba, mengepul panas dan harum. Maya menarik napas dalam-dalam, matanya terpejam, dan menyelam masuk. Gigitan pertama adalah ledakan rasa, simfoni rempah-rempah yang menari di lidahnya. Rasa pedasnya ada di sana, tetapi masih bisa ditangani, sengatan lembut yang menggelitik indra pengecapnya.
“Hmm, enak juga, tapi kok kurang pedas rasanya?” kata Maya dalam hati.
Maya terus makan, nafsu makannya bertambah setiap gigitan. Mienya matang dengan sempurna, dagingnya empuk dan beraroma, dan sayurannya renyah dan segar. Sausnya adalah mahakarya, campuran rempah-rempah yang kompleks dan memuaskan.
“Ini beneran level satu?” tanya Maya kepada dirinya sendiri. “Kok nggak pedas sama sekali?”
Saat dia mencapai dasar mangkuk, Maya menyadari bahwa dia telah meremehkan tingkat kepedasan hidangan tersebut. Rasa panasnya mulai terbangun, rasa terbakar perlahan yang menjalar ke tenggorokannya dan ke dadanya. Dia menyesap air, tetapi hanya sedikit membantu memadamkan pedas.
“Aduh, kok makin lama makin pedas ya?” keluh Maya sambil mengipasi mulutnya. “Ini leve satu apa level sepuluh sih?”
Mata Maya berair, hidungnya mulai meler, dan dahinya mengucur keringat. Dia mulai bertanya-tanya apakah dia telah membuat kesalahan dalam memilih tingkat kepedasan terendah.
“Mbak, ini kok pedas banget ya?” tanya Maya kepada pelayan yang lewat.
“Iya, Kak. Level satu di sini memang lumayan pedas,” jawab pelayan sambil tersenyum. “Tapi, kebanyakan pelanggan suka kok.”
Namun kemudian, hal aneh terjadi. Rasa panasnya mulai mereda, digantikan oleh sensasi hangat dan kesemutan. Indra pengecap Maya masih terbakar, tetapi itu adalah api yang menyenangkan, rasa pedas yang masih bisa ia tangani.
“Wah, ternyata enak juga ya pedas-pedas gini,” kata Maya sambil tersenyum. “Nagih banget!”
Dia menyelesaikan makanannya, merasa puas dan gembira. Dia telah menaklukkan tingkat kepedasan terendah di Mie Gacoan, dan dia sangat ingin kembali lagi.
“Besok-besok mau coba level dua ah,” kata Maya dalam hati, penasaran.