Oleh : Mega Nofita Sari
Merujuk pada data Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker), sepanjang Januari hingga Desember 2024, terdapat 77.965 tenaga kerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Jumlah ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2023, yang mencapai 64.855 orang. DKI Jakarta menjadi provinsi dengan jumlah PHK tertinggi pada 2024, yaitu 17.085 pekerja, disusul oleh Jawa Tengah dengan 13.130 orang dan Banten sebanyak 13.042 orang (Kontan.co.id, 9 Februari 2025).
Pada 2025, hingga perhitungan tanggal 21 Januari 2025, sudah tercatat 24.327 kasus kriminalitas yang ditindak oleh kepolisian. Kasus yang paling dominan adalah pencurian dengan pemberatan (curat) dan pencurian biasa. Selain itu, terdapat pula kasus penganiayaan, narkotika, hingga pengeroyokan (Goodstats.id, 12 Februari 2025).
Namun, kemungkinan besar angka sebenarnya di lapangan jauh lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum dalam menyelesaikan berbagai perkara.
Dalam Pasal 21 Ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP), disebutkan bahwa pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan terdaftar dalam Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) berhak menerima manfaat uang tunai setiap bulan sebesar 60 persen dari upah, dengan durasi maksimal enam bulan.
Sebelumnya, korban PHK menerima upah selama enam bulan dengan besaran 45 persen dari gaji untuk tiga bulan pertama dan 25 persen untuk tiga bulan berikutnya.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Meningkatnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) disebabkan oleh penerapan sistem kapitalisme di negeri ini. Hal ini diungkapkan oleh Mubalighah Kota Depok, Ustazah Zulfa, yang akrab disapa Ummu Raisa, dalam acara Kajian Muslimah Tematik: Asa Rumah Tangga di Tengah Gempuran PHK. Acara tersebut diselenggarakan di Masjid Al-Ikhlas, Depok, pada Ahad, 3 November 2024.
Ia menegaskan bahwa, dalam sistem kapitalisme, kebijakan pemerintah tidak akan berpihak pada buruh. “Penyebab terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) antara lain kondisi dunia yang sedang tidak stabil, kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada buruh, siasat pengusaha untuk menghindari kenaikan upah di penghujung tahun, persaingan ketat di sektor perdagangan, dan aksi korporasi dalam transformasi bisnis,” jelasnya.
Perusahaan swasta menjalankan prinsip kapitalisme dalam bisnisnya, di mana buruh hanya dipekerjakan sesuai kepentingan industri atau perusahaan. Perusahaan selalu berorientasi pada keuntungan maksimal, yang salah satu caranya adalah dengan menekan biaya produksi. Dalam paradigma kapitalisme, pekerja hanya dipandang sebagai faktor produksi.
Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja semakin mempermudah perusahaan untuk melakukan PHK, sementara syarat mempekerjakan tenaga kerja asing (TKA) semakin dilonggarkan. Hal ini semakin memperburuk kondisi tenaga kerja lokal.
Islam sebagai Solusi
Islam mewajibkan negara untuk menyediakan lapangan kerja yang cukup sebagai salah satu cara mewujudkan kesejahteraan rakyat. Negara juga bertanggung jawab membangun iklim usaha yang kondusif dan mempermudah akses kerja bagi masyarakat. Selain itu, negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat melalui mekanisme yang sesuai dengan hukum syariah.
Dalam sistem ekonomi Islam, kesejahteraan diukur berdasarkan terpenuhinya kebutuhan setiap individu dalam masyarakat. Masalah pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah dampak dari penerapan sistem kapitalisme. Oleh karena itu, solusinya harus bersifat mendasar dan fundamental.
Berikut beberapa mekanisme Islam dalam menyelesaikan persoalan buruh dan pekerja:
- Pengembangan Investasi Halal di Sektor Riil
Islam mendorong investasi di sektor riil yang halal, seperti pertanian, kehutanan, kelautan, dan pertambangan. Dengan demikian, perekonomian akan berkembang tanpa ketergantungan pada sektor nonriil yang sarat dengan riba dan spekulasi. - Menstabilkan Sistem Moneter
Islam mengusulkan penggunaan sistem moneter berbasis emas (dinar) dan perak (dirham) sebagai alternatif dominasi dolar. Selain itu, sistem ekonomi Islam mengarahkan perputaran kekayaan dari sektor nonriil ke sektor riil, seperti pertanian, industri, perikanan, perkebunan, dan pertambangan. Hal ini bertujuan untuk menghindari praktik judi dan riba yang marak dalam sektor nonriil serta mengoptimalkan sektor riil dalam perekonomian. - Pengaturan Harta Kepemilikan
Islam membagi kepemilikan harta menjadi tiga jenis: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Islam melarang pengelolaan harta milik umum oleh individu atau swasta. Oleh karena itu, hasil pengelolaan harta milik umum harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. - Sistem Pendidikan Gratis
Islam mewajibkan negara untuk menyediakan pendidikan gratis bagi seluruh warga negara. Pendidikan dianggap sebagai kebutuhan pokok yang harus dipenuhi agar setiap rakyat memiliki kesempatan yang sama dalam mengembangkan potensinya. - Dorongan untuk Bekerja
Negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi warganya. Jika ada masyarakat yang tidak memiliki modal usaha, negara akan memberikan modal. Jika seseorang tidak memiliki keterampilan, negara akan menyediakan pelatihan. Jika seseorang memiliki keahlian, maka ia akan diserap dalam sektor usaha riil. Dengan mekanisme ini, tidak akan ada pengangguran, terutama di kalangan laki-laki yang bertanggung jawab mencari nafkah.
Sejarah telah mencatat bagaimana penerapan ekonomi Islam mampu menciptakan kesejahteraan. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab (13–23 H/634–644 M), dalam sepuluh tahun pemerintahannya, kesejahteraan merata ke seluruh negeri.
Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99–102 H/818–820 M), meskipun hanya memerintah selama tiga tahun, beliau dikenang sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. Yahya bin Said, seorang petugas zakat pada masa itu, mengatakan bahwa ketika ia hendak membagikan zakat, ia tidak menemukan seorang pun yang miskin. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan seluruh rakyat berkecukupan (Ibnu Abdil Hakam, Sîrah ‘Umar bin Abdul ‘Azîz, hlm. 59). Kemakmuran pada masa pemerintahannya tidak hanya terbatas di Afrika, tetapi juga merata hingga Irak dan Bashrah.
Dengan demikian, sulit mewujudkan masyarakat yang bebas dari pemutusan hubungan kerja (PHK) dan sejahtera jika sistem yang diterapkan saat ini tetap memberikan celah bagi ketimpangan ekonomi. Oleh karena itu, sudah saatnya umat merindukan penerapan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Sebab, aturan terbaik bagi manusia adalah aturan yang berasal dari Sang Pencipta, Allah Swt.
Wallahu a’lam.