Suarakampus.com- Timnas Indonesia berhasil membungkam keraguan yang disematkan oleh sejumlah masyarakat maupun pengamat sepakbola. Teranyar, Timnas berhasil menahan imbang Singapura dengan skor 1-1 di leg pertama semifinal Piala AFF 2020. Sedangkan di laga sebelumnya, Tim besutan Shin Tae-Yong itu berhasil menjinakkan Malaysia dengan skor telak 4-1. Sebuah kemenangan manis yang membawa Indonesia berhasil memuncaki klasemen akhir grup.
Sebelum pertandingan ataupun gelaran ini, Indonesia bahkan dianggap Tim yang dipandang sebelah mata. Seperti yang diutarakan oleh legenda hidup Malaysia Safee Sali, pelatih Vietnam Park Hang Seo dan pengamat sepakbola lainnya. Mereka seakan meremehkan Asnawi Mangkualam Cs lantaran skuadnya hanya diisi oleh pemain muda dan tidak berpengalaman. Namun di luar dugaan, Timnas mampu tampil trengginas dengan keluar sebagai juara Grup B atas raihan 10 poin, serta menjadi tim yang paling subur dengan torehan 14 gol hingga saat ini.
Kiprah Timnas tersebut menunjukkan bahwa sepakbola sangat tidak dapat diprediksi. Seumpama pepatah “Hidup ini seperti bola, bulat, apapun bisa terjadi” memang benar adanya. Kendati demikian, ada peran penting yang dilakukan oleh skuad Timnas, terutama pelatih. STY mengajarkan pada kita cara paling elegan dalam menjawab kritik atau pihak yang ragu. Tentu saja jika dijawab dengan perkataan kembali, hal itu tidak berguna.
Sepakbola kerapkali menyuguhkan drama panjang layaknya lakon kehidupan. 90 menit pertandingan di lapangan, kita tidak dapat menjamin siapa yang bakal menang. Sekalipun pertandingan itu menyajikan tim pemuncak klasemen menghadapi kesebelasan juru kunci.
Banyak pertandingan yang tersaji tidak sesuai prediksi publik. Di Piala Euro 2004 misalnya, sungguh tak ada yang menyangka bahwa Yunani mampu menjuarai turnamen tersebut. Adapun di tahun 2016 silam, kisah Cinderella ala Leicester City menggemparkan dunia lantaran mampu merengkuh ajang paling prestisius di tanah Ratu Elizabeth, Premier League.
Dan itulah wajah sepakbola, olahraga yang diyakini sebagai olahraga terfavorit di muka bumi. Karena sepakbola, kita bisa menyaksikan cerita baik suka dan duka. Kita juga bisa melihat momen mengejutkan yang membuat jutaan orang mengekspresikan dirinya secara silih berganti dengan raut kegembiraan, ataupun isakan tangis yang menggema.
Ekspektasi dan Realita
Sebagai olahraga yang mengundang besar atensi publik. Sepakbola hadir sebagai persaingan dan pertunjukkan eksistensi sebuah daerah. Jika kita menyaksikan gelaran internasional macam Piala AFF, Piala Asia maupun Piala Dunia. Kita akan melihat perjuangan totalitas antar pemain yang digadang-gadang sebagai perwujudan rasa nasionalisme dan rasa bangga atas identitas bangsa.
Adanya kompetisi, maka bermunculan ekspektasi. Tiap klub dan negara tentu mempunyai ekspektasinya sendiri. Ekspektasi hadir setelah masyarakat ingin klub maupun negara kesayangannya mampu berbuat banyak.
Di gelaran AFF kali ini, masyarakat Indonesia umumnya memberi ekspektasi tinggi kepada Timnas, yakni juara. Ketua PSSI, Muhammad Iriawan bahkan telah jauh-jauh hari menyebut bahwa target Indonesia harus menjadi yang terbaik. Ini merupakan kesekian kalinya Timnas diberikan target tinggi di kompetisi paling bergengsi se-ASEAN tersebut.
Namun di tengah ekspektasi, kita tahu juga akan realita. Kita boleh berandai, namun tekad juang dan hasil lah yang akan menentukan. Di balik bola bundar yang tidak dapat diprediksi, masih ada lapangan hijau yang rata menjadi indikatornya. Realitanya hingga saat ini, Indonesia belum pernah juara AFF. Padahal tiap kompetisi, Indonesia selalu menjadi unggulan dan tim yang layak diperhitungkan. Hal ini terlihat dengan capaian runner-up terbanyak di antara kontestan lainnya, yakni lima kali sepanjang turnamen berlangsung.
Tentu indikator kesuksesan sebuah tim dilihat dari kesiapan dan materi pemainnya. Di gelaran AFF 2020, Tim Indonesia mempunyai persiapan cukup lama sebelum gelaran ini berlangsung. Kendati demikian, ada poin kritikan di mana kompetisi lokal sangat jauh dari harapan. Padahal, kompetisi lokal merupakan cerminan terdekat menggambarkan tim nasional.
Selain kesiapan tim, ada peran besar yang diemban seorang pelatih. Pelatih saat ini, Shin Tae Yong dinilai cukup menjanjikan dan berpengalaman membesut tim nasional. Sebelum melatih Indonesia, pelatih berusia 52 tahun itu menangani Korea Selatan di ajang Piala Dunia 2018. Dengan pelatih sekaliber internasional tersebut, diharapkan Indonesia mampu mematahkan kutukan runner up tersebut.
Lalu, indikator lainnya adalah memahami pemetaan dan persiapan tim lawan. Tim kuat seperti Thailand dan Vietnam memang menjadi unggulan. Pasalnya, Thailand, adalah negara tersukses di gelaran ini, sedangkan Vietnam merupakan negara yang menunjukan perkembangan cukup pesat beberapa tahun terakhir. Jika mampu menganalisis kekuatan masing-masing tim lawan dengan taktik yang tepat, bukan hal yang mustahil bagi Indonesia untuk bisa menaklukan setiap lawannya.
Kenangan Pahit
Kembali ke satu dekade silam, yakni pada ajang AFF 2010, Timnas Indonesia dilanda demam luar biasa terhadap Tim Merah-Putih. Stadion Gelora Bung Karno, yang menggelar enam dari tujuh permainan Timnas selalu terisi penuh oleh laki-laki, wanita, tua-muda, dari berbagai profesi, semuanya disatukan oleh lambang Garuda di dada. Bahkan, presiden Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhono berbaur dengan masyarakat untuk mendukung Tim besutan Alfred Riedl itu di partai puncak.
Dihuni oleh skuad handal seperti Firman Utina, Zulkifli Sukur, Ahmad Bustomi, hingga pemain keturunan dan naturalisasi, yakni Irfan Bachdim dan Cristian Gonzales tampil cukup memukau dengan menyapu bersih lima pertandingan awal (tiga di fase grup dan dua di Semifinal). Tim yang hebat dan menyihir publik saat itu.
Pada akhirnya, perjalanan Timnas bermuara dengan keruh. Kebahagiaan di awal harus diakhiri dengan luka yang membekas cukup dalam. Prediksi akan merengkuh gelar dengan mudah harus sirna. Ekspektasi yang disematkan oleh banyak pihak terpaksa harus gigit jari, berkat realita tunduk secara agregat di partai final.
Semoga kejadian tersebut tidak terulang kembali.
Penulis: Rahma Dhoni