Polemik Pindah Menuju IKN

Ilustrasi by Izzatul Nisa Syafa

Suarakampus.com- Isu perpindahan Ibu Kota Nusantara (IKN) ke Kalimantan Timur, yang lebih tepatnya di Penajam Paser Utara dan di sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara telah lama menjadi perbincangan hangat dan menimbulkan polemik dalam negeri. Tujuan Presiden Joko Widodo memindahkan Ibu Kota Negara adalah sebagai bentuk upaya penyelamatan ekologi Pulau Jawa yang katanya teramat padat karena populasi. Ada pula untuk pemerataan ekonomi, hingga sebagai antisipasi tenggelamnya Kota Jakarta. Kendati demikian, sebenarnya rencana perpindahan IKN ini sudah direncanakan sejak kepemimpinan Soekarno, Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga baru terlaksana di masa Joko Widodo-Ma’ruf Amin.


Pembangunan IKN yang saat sekarang masih dalam tahap perencanaan ini memakan waktu cukup panjang. Di mulai pada tahun 2022 hingga 2045 mendatang, bertepatan dengan 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Pembangunan ini sebelumnya telah disahkan dalam Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang IKN pada tanggal 18 Januari 2022 lalu. Pembangunan dengan anggaran RP466 triliun yang berasal dari APBN, KBBU, investor swasta dan BUMN masih menjadi polemik di kalangan berbagai pihak. Sebab, ada yang berpendapat dengan dana sebesar itu semestinya digunakan untuk masalah yang terjadi seperti sekarang ini seperti Covid-19, membantu kemiskinan untuk masyarakat dan lain sebagainya.


Jika dilihat dari kaca pengamat lingkungan, apakah dengan pemindahan IKN ini tidak akan berdampak besar pada lingkungan. Data yang didapat dari Departemen Kehutanan, luas hutan Kalimantan seluas 40,8 juta hektar. Sedangkan penggunaan pembangunan IKN ini seluas 256.142 hektar lahan akan dijadikan wilayah yang dialihkan menjadi Ibu Kota Nusantara. Jumlah tersebut, tidak sedikit ruang yang dibutuhkan untuk pembangunan ini. Dan bila dilihat lagi pembangunan IKN ini mengusung konsep “Future Smart Forest City”, apakah akan tercapai konsep yang demikian? Hal itu perlu ditelusuri.


Perlu Pertimbangan Besar


Meskipun pembangunan ini diusung hampir seluruh partai politik, namun menurut Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Demokrat Kabupaten Pesisir Selatan, Ali Tanjung mengatakan meski UU IKN telah disahkan dirinya pribadi tidak setuju akan pembangunan ini. Katanya, dengan dana sebanyak itu lebih baik digunakan untuk masyarakat dan permasalahan yang ada. “Yang pertama sudah di putuskan DPR, jadi secara hukum sudah sah. Cuman kalau saya pribadi buang-buang duit saja, lebih baik bantu masyarakat yang tidak mampu,” ucapnya saat ditemui di halaman Kantor DPRD Sumatra Barat, Senin (11/04).


Kemudian, ia mengungkapkan bahwa Fraksi Partai Demokrat kalah suara pada saat rapat dilangsungkan. “Kami kalah suara, partai lain setuju dan keputusan akhirnya tetap dilangsungkan pembangunan,” ungkapnya.


Putra asal Pesisir Selatan ini mengkhawatirkan dampak keuangan negara terhadap pembangunan ini akan terpakai, sebab ini mega proyek. “Kalau dari ekonomi uang anggaran negara dikhawatirkan akan terpakai banyak,” tuturnya.


Selanjutnya, jika dikaji dari regulasi hukum UU IKN ini bisa digugat ke Mahkamah Konstitusi jika masyarakat keberatan dengan UU ini. “Ini sudah di putuskan DPR menjadi UU, kalau ada masyarakat yang keberatan itu di gugat ke Mahkamah Konstitusi,” pungkasnya.


Kemudian, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Bengkulu Beni Kurnia Ilahi mengatakan bahwa, pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur bukan sekedar wacana baru lagi. Sebab, wacana pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke beberapa daerah di Indonesia sudah beberapa kali direncanakan yaitu masa mulai dari rezim Soekarno, Soeharto, SBY, sampai rezim Jokowi hari ini. Masing-masing dari mereka memiliki kepentingan yang berbeda untuk memindahkan Ibu Kota Negara tersebut. “Tahun 1957 Soekarno mau meresmikan kota Palangkaraya di Kalimantan Tengah, melihat Palangkaraya sebagai daerah yang mungkin jauh dari Jakarta tapi lagi-lagi wacana itu tidak diwujudkan,” katanya via telepon, Sabtu, (26/03).


Sama halnya pada masa Presiden Soeharto, juga pernah menggagas pemindahan IKN dari Jakarta ke Jonggol. Namun lagi-lagi rencana itu kandas. “Tahun 80-an Soeharto juga memiliki rencana tapi tidak terlaksana,” tuturnya.


Kemudian, dilanjutkan pada masa Presiden SBY juga pernah menggagas hal yang sama, melihat bagaimana kondisi alam di Jakarta kemacetan, banjir, membuat SBY berpikir ulang bahwa kita perlu melakukan pemindahan IKN. “Pada saat itu, SBY melihat beberapa perbandingan seperti di Australia, di Turki memang memiliki dampak positifnya dengan pemindahan IKN,” ucapnya.


Persoalan terbesar dari permasalahan ini adalah tentu untuk memindahkan IKN tidak bisa seperti pindah rumah begitu saja, tidak semudah itu. Perlu ada langkah, upaya, dan pertimbangan hukum untuk memindahkan IKN tersebut. “Karena itu sudah pernah di lontarkan oleh pakar ekonomi bahwa pemindahan IKN tidak juga akan berefek luas terhadap wilayah Kalimantan dan sekitarnya, tapi hanya berdampak daerah sekitar saja. Jadi kalau pertimbangan pemerintah terhadap itu tidak masuk akal,” jelas Beni.


Beni menegaskan bahwa pemindahan IKN ini akan berdampak pada pembebanan terhadap keuangan negara dan pemerintah perlu mempersiapkan anggaran yang cukup banyak sementara kondisi hari ini tidak memungkinkan mempersiapkan uang sebanyak itu. Tapi lagi-lagi pemerintah dihadapkan dengan tugas mega proyek. “Saya khawatir nanti kalau sekiranya tidak ada yang mendanai nantinya, tentu ujungnya akan menggunakan APBN. Sementara APBN kita tidak sampai sebanyak itu,” tegasnya.


Pria yang akrab disapa Beni ini menyebutkan bahwa pertimbangan pemerintah untuk memindahkan IKN dari aspek pembebanan keuangan negara hari ini juga tidak logis. Apalagi sekarang beberapa investor sudah mulai mundur dari penanaman modal untuk pembangunan IKN ini. “Mungkin karena beberapa hal investor mundur dari mega proyek ini, seperti Soft Bank,” sebutnya.


Dari sisi politik hukum, pemindahan Ibu Kota Negara tidak berdasarkan kepentingan masyarakat, serta lebih mementingkan pada aspek kepentingan segelintir orang yg dikenal dengan kepentingan oligarki. “Kalau di tanya masyarakat saat ini, masyarakat juga tidak menerima manfaat dari pembangunan IKN justru malah menimbulkan persoalan baru,” katanya.


Beni beranggapan dalam hal ini, pemerintah memindahkan IKN melihat kondisi hari ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum tata negara dan hukum administrasi negara yang ada, terutama bertentangan dengan prinsip hukum keuangan negara juga karena masa kepala otorita punya kuasa penuh terhadap pengelolaan keuangan negara. Tidak ada lembaga negara manapun selain kementerian keuangan yang memiliki kuasa penuh dalam pengelolaan keuangan negara. “Namun dalam UU IKN itu tidak diatur, justru memberikan kewenangan atau kuasa itu secara penuh kepada badan otorita sehingga kementerian keuangan teredupsi kewenangannya,” anggapannya.


Harusnya sikap pemerintah menghadapi polemik yang ada, harusnya mendengarkan aspirasi dari masyarakat. Di tambah lagi dengan pengesahan UU dalam jangka waktu 43 hari. “Tidak wajar tiba-tiba naskah akademiknya selesai dalam jangka waktu 43 hari, kapan melakukan sosialisasi dengan masyarakat,” ucap Beni.


Keadaan kondisi unsur kepentingan dalam pembangunan IKN bukan kepentingan rakyat lagi tapi ini sudah kepentingan segelintir elit. Elit politik atau pengusaha karena persiapan pemilu 2024 pemerintah hari ini harus menang lagi. Makanya ada penundaan pemilu perubahan UU kalau tidak para pendukung para investor para oligar akan lari ke calon capres lainnya, kalau tidak di berikan semacam wadah tempat ia investasi menanamkan modal kalau sudah mendapatkan proyek tempat menanamkan modal para oligarki ini, bagaimana pun akan membiayai biaya politik partai pemerintah nantinya yang ingin mencalonkan kembali presiden di tahun 2024.


“Saya masih pesimis dengan banyaknya dinamika politik hari ini yang bisa mempengaruhi jalannya pembangunan dan pemindahan IKN,” tutupnya.


Menakar Dampak Geografis dan Sosiologis IKN


Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Timur (Kaltim), Yohana Tiko menguraikan ada beberapa kajian lingkungan strategis rapid Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), dalam hal lingkungan setidaknya dalam studi, ada sederet permasalahan mendasar yang akan timbul. “Akan timbul ancaman yang masif terhadap tata air, flora dan fauna, ekosistem mangrov di Teluk Balikpapan, bencana pencemaran dan memperparah bencana ekologis di ring satu serta berpotensi merampas dan menyingkirkan wilayah kelola masyarakat setempat,” katanya.


Yohana mengungkapkan hal semacam ini tidak pernah dibicarakan, serta bagaimana posisi masyarakat yang terkena dampak baik di ring satu, dua dan tiga. “Itu apakah mereka akan tetap tinggal di situ atau mereka akan relokasi. Ketika direlokasi bagaimana lahannya sesuai dengan yang mereka tempati saat ini atau gimana misalnya nih masyarakat punya 1000 hektar, dipindahkan mereka juga harus punya 1000 hektar,” tuturnya.


Kemudian, dalam proses pembangunan IKN ini, masyarakat setempat juga telah merasakan dampaknya seperti terganggunya tata air bersih masyarakat. “Mereka sudah mengalami krisis air bersih baik ring satu, dua dan tiga,” ungkap Yohana.


Yang menjadi landasan mereka pindahnya ibukota baru ini ke Kalimantan Timur tidak ada kajian soal daya tampung dan daya dukung lingkungannya. Bahwa ini menjadi green city tapi alam ternyata rusak, potensi kerusakan mangrove dan kerusakan hutan sungai. Secara pemindahan itu tidak jelas menjadi acuannya logika penggaris ideologi pengukuran soal logika atau kajian. “Pemindahan ibu kota ini tidak ada partisipasi publik,” tegas Yohana.


Konsep pembangunan ibu kota yang dipakai mana perlindungan mereka seperti apa mereka itu tidak pernah dibicarakan di masyarakat jadi memang tidak ada transparansi, keterlibatan publik yang baik secara regulasi maupun kajiannya yang menyatakan ibu kota bukan punya rakyat Indonesia tapi politik.


Pemerintah menanggapi semua masukan, tapi tidak pernah dibicarakan ke publik bagaimana nasib masyarakat ke depannya. Lebih mirisnya, kemungkinan masyarakat mengetahui soal perpindahan ibu kota malah dari sosial media. Seharusnya masyarakat tahu hal ini dengan sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah. Dari sekian kebijakan-kebijakan yang muncul tidak ada bicara soal keselamatan rakyat tapi bagaimana investasi dipermudah untuk masuk di Indonesia. Tapi tidak bicara soal keselamatan rakyat bagaimana soal kesejahteraan rakyat nya itu tidak dibicarakan kemudian tiba-tiba datang untuk mematok wilayah kawasan ibu kota inti tanpa ada kejelasan ke masyarakat. “Hal mana yang dikatakan melibatkan masyarakat tidak hanya Kaltim tapi seluruh rakyat Indonesia karena ini kita bicara ibu kota, tidak ada di ruang publik itu dibicarakan,” tutur Yohana.


Jadi bicara soal keberlanjutan ekosistem hingga keadilan untuk masyarakat dengan wilayah kelola dan hidupnya baik juga berkeadilan dengan satwa dan tumbuhan, serta lingkungannya itu baru dikatakan berkelanjutan. Kalau salah satu ekosistem hancur maka yang lainnya juga ikut hancur. Hutan akan terganggu ketika ada pembangunan. “Jangan terlalu banyak masuk investasi yang asing ditambah dengan beban baru pindahnya Ibu Kota Negara yang seharusnya itu menjadi bahan pertimbangan,” ucap Yohana.


Adanya krisis permasalahan terhadap lingkungan menjadi serius bagi masyarakat setempat. Hal ini sudah mulai dirasakan oleh masyarakat, sebaiknya dilakukan kajian dan dipertimbangkan lagi demi keadilan bagi masyarakat. Sebab, mega proyek seperti ini bukan perihal pemindahan rumah. Tapi Ibu Kota Negara yang perlu melibatkan suara rakyat. Kurangnya, sosialisasi hingga tidak adanya transparansi menyebabkan cacatnya keputusan pemerintah jika dilihat dari kebutuhan dan kepentingan yang perlu diatasi saat ini. “Dana sebanyak itu, seharusnya digunakan untuk mengatasi masalah yang ada bukan menambah masalah baru. Seperti lari dari sebuah masalah, dan masuk ke dalam masalah baru yang akhirnya tidak ada yang tahu,” jelas Yohana.


Pemerintah juga dinilai kurang memahami kebutuhan masyarakat. Sehingga, masyarakat setempat yang wilayah itu tempat lahirnya, menjadi terusir dari rumah mereka sendiri. Keadilan memang bukan perihal masyarakat saja. Akan tetapi, lingkungan menjadi pertimbangan yang penting. Adanya mega proyek ini dikhawatirkan akan mengancam ruang hidup wilayah tersebut. “Konflik antara manusia dengan hewan juga telah dirasakan oleh masyarakat. Hal ini tentu saja mengancam jiwa keduanya. Satwa-satwa asli wilayah tersebut akan punah pada waktunya. Sebab, dari beberapa satwa asli sana tidak bisa berada di sebuah wilayah yang bising. Hal ini akan menghilangkan hewan-hewan endemik tersebut. Pemerintah seharusnya memikirkan hal itu. Agar tidak timbulnya sebuah ketimpangan,” pungkasnya.


Kemudian, Dosen Sosiologi Universitas Negeri Padang (UNP) Delmira Syafrini mengatakan, bahwa hal ini tentu akan mempertanyakan seperti apa kesiapan masyarakat setempat dengan adanya ibu kota baru ini. Sebab dikhawatirkan, dengan tidak adanya kesiapan yang telah dilakukan pemerintah, masyarakat pribumi tersebut malah tersingkirkan dari tanah kelahirannya. “Masyarakat Kaltim sendiri mungkin nantinya akan menghadapi berbagai hal yang tidak terbayangkan pada hari ini,” ucap Delmira saat ditemui tim Suara Kampus, Kamis (14/04).


Selain itu, masyarakat setempat juga akan mengalami cultural shock dengan adanya perpindahan ibu kota ini. “Mereka pasti akan merasakan cultural shock, karena akan hidup di sentral negara,” ujar Delmira.


Hal ini juga akan mengalami, urbanisasi secara besar-besaran. Dimana ASN yang ada di Jakarta sekarang akan pindah ke ibu kota baru. Sehingga masyarakat perlu beradaptasi dengan pendatang baru. Masalah lainnya adalah ketika masyarakat setempat tidak dipersiapkan kreativitas dan mentalnya untuk bersaing dengan pendatang baru, masyarakat lokal akan mengalami keterpinggiran. “Meski, memiliki dampak positif, seperti pertumbuhan ekonomi, adanya lapangan pekerjaan baru bagi penduduk lokal,” tuturnya.


Kemudian, berbicara tentang hal kebudayaan di wilayah itu di mana memiliki berbagai macam suku dan budaya lokal, jika masyarakat tidak memiliki benteng yang kuat untuk mempertahankan budayanya, dikhawatirkan budaya itu akan memudar di suatu ketika akibat IKN ini. “Jika masyarakat di sana ingat kebudayaan itu sebagai identitas diri mereka, maka budaya itu akan tetap ada,” tutur Delmira.


Menurut Delmira, persoalan nilai-nilai dan norma-norma yang ada di sana akan bisa bergeser dengan adanya pemindahan Ibu Kota Negara baru ini. “Hal ini akan bisa hilang, karena adanya difusi urbanisasi secara besar-besaran,” pungkasnya.


Demi mempertahankan kearifan lokal masyarakat setempat, pemerintah mesti berada pada perspektif masyarakat untuk menguatkan budaya wilayah itu. “Pemerintah harus gencar dengan kearifan budaya wilayah itu,” tutupnya.


Wartawan: Nada Asa Fhamilya Febria Andre, Rolla Purnama Sari (Mg)

Editor: Ghaffar Ramdi

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Ridwan Pemain Tabuik di Jorong Surau Pinang Pingsan Saat di Persimpangan Jalan

Next Post

Mempertanyakan Kualitas Kampus Megah

Related Posts
Total
0
Share