Suarakampus.com- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menggelar diskusi publik bertajuk Mengukur Dampak Uji Materi Pers Bagi Kebebasan Pers. Diskusi tersebut digelar untuk merespon gugatan Undang-Undang (UU) Pers No.40 oleh Heintje Grontson Mandagie dan kawan-kawan.
Sebelumnya, tiga wartawan yakni Heintje Grontson Mandagie, Hans M. Kawengian dan Soegiharto Santoso memohonkan pengujian dua norma tentang fungsi Dewan Pers kepada Mahkamah Konstitusi.
Uji materi beralasan lantaran aturan UU tersebut merugikan hak konstitusional pemohon. Mereka mengklaim ketidakjelasan tafsir Pasal 15 ayat (5) UU Pers. Oleh karena itu, para pemohon beranggapan jika Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Pers harus ditinjau kembali.
Ketua AJI Indonesia, Sasmito Madrim menjelaskan uji materi UU Pers ini masih banyak memiliki persoalan yang merugikan pers. “Meskipun ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tetapi memberi pengaruh tersendiri bagi insan pers,” tuturnya.
Sasmito mengatakan, permohonan tersebut dinilai tidak tepat mengingat AJI turut aktif menyusun UU pers. “AJI beserta konstituen sebelumnya ikut terlibat di dalamnya,” kata Sasmito.
Mengacu pada pernyataan pemohon yang menyebut organisasi pers berhak menyusun peraturan-peraturan tersendiri, Sasmito menegaskan pemohon harus lebih banyak buku terlebih dahulu, terutama buku 15 hari perjuangan untuk kemerdekaan pers.
“Dalam buku tersebut, kita dapat menjawab persoalan yang digugat oleh Hendagi dan kawan-kawan” tuturnya via Zoom Meeting, Selasa (16/11).
Sementara itu, Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin menuturkan pentingnya Dewan Pers menjadi pihak yang bertanggung jawab melakukan verifikasi terhadap regulasi pers. “Jika tidak begitu, kewenangan Dewan Pers bakal hilang,” sebut Ade.
Uji materi UU pers yang dilakukan pemohon, kata Ade, menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasalnya, nanti akan bermunculan organisasi serupa dewan pers yang mengatur regulasinya tersendiri.
“Hadirnya Dewan Pers yang lain berdampak pada standar karya jurnalistik. Sebab, standar karya jurnalistik dan perusahaan media akan berbeda-beda antara satu Dewan Pers dengan yang lain,” lanjut Ade.
Ahli Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menyampaikan gugatan UU Pers adalah upaya dalam memonopoli Dewan Pers. “Kita tegaskan bahwa Dewan Pers hanya berjumlah satu. Jika lebih maka akan muncul keraguan pada warga negara,” sebutnya.
Bivitri menyoroti hakim yang belum memiliki keyakinan kuat untuk menolak gugatan tersebut. Ia meminta agar MK tidak menindaklanjuti bahkan mengabulkan gugatan tersebut karena akan berdampak negatif bagi pers di Indonesia.
“Bukan tidak mungkin bahwa MK akan mengabulkan gugatan ini. Jika begitu, nantinya akan berefek panjang pada kontrol terhadap demokrasi, sebab pers adalah salah satu pilar utama dalam demokrasi,” tutupnya.
Wartawan: Rais Shiddiq dan Mia