Perjuangan kaum perempuan dalam lintas sejarah, tidak pernah berhenti. Perempuan selalu, melakukan pergerakan-pergerakan yang sangat signifikan terhadap pemberdayaan diri dan kaumnya. Di Minangkabaupun, sebagai daerah yang memiliki konsep lokal wanita sebagai Bundo Kanduang juga mempunyai sejarah pergerakan pemberdayaan perempuan. Setidaknya, dibuktikan oleh pergerakan Rohana Kudus dalam lintas pergerakan perempuan masa lalu di Minangkabau.
Rohana Kudus merupakan perempuan Minangkabau yang mencoba menaburkan benih “pembebasan” perempuan dari teologi bias gender. Pergerakan-pergerakan pemberdayaan perempuan yang dilakukan Rohana Kudus adalah simbol manifestasi perjuangan kaum perempuan dari realita yang tidak seimbang memandang perempuan itu sendiri.
Perempuan, sering termarjinalkan disebabkan oleh dua faktor. Pertama, akibat konstruski budaya. Artinya perempuan dipetakan atau dipolakan sebagai kaum yang memiliki domain (ranah) kerja yang sentralistiknya domestik yang sering dianekdokkan dengan sumur, dapur, kasur”. Kedua, akibat pemberdayaan perempuan yang belum merata. Pemberdayaan ini sangat terkait dengan pendidikan, sebab keterbelakangan perempuan dominan disebabkan oleh rendahnya pendidikan yang dimiliki oleh kaum perempuan tersebut. Dalam perpektif masyarakat “kontrusi gender” pendidikan bagi perempuan mempunyai katerbatasan, mengingat pekerjaan perempuan itu sudah jelas, sebagai “pelayan rumah tangga”. Dari dimensi bias gender ini, maka pendidikan diprioritaskan kepada anak laki-laki ketimbang anak perempuan.
Di Minangkabau, pergerakan perempuan diawali dengan edukasi dan pemeberdayaan perempuan oleh perempuan itu sendiri. Tokoh perempuan Minangkabau, yang mencoba konsern dalam perjuangan pendidikan perempuan ini diantaranya adalah Rahmah Elyunisia dan Rohana Kudus. Masing-masing mempunyai institusi pendidikan khusus untuk perempuan. Secara sosiologis historis, institusi pendidikan yang dihadirkan oleh kaum perempuan ini, sebagai simbol perjuangan dan perlawanan kaum perempuan dari ketidak adilan budaya dalam menengahi mereka. Kitidak adilan itu, muncul dari perpektif yang tidak seimbang atau balance dalam melihat perempuan sebagai komunitas yang memiliki sumber daya manusia, dimana perempuan hanya dipandang dari sisi bilogis dengan karakteristik-karakteristik vulgaristik. Maka, wilayah kerja perempuan ditetapkan dalam garis damargasi tiga dimensi (sumur, kasur dan dapur). Di sini terlihat ada ketidak adilan sosial kultural terhadap perempuan.
Pergerakan perempuan, pada dasarnya adalah untuk melepaskan perempuan dari stigma-stigma yang diskursus ini. Oleh sebab itu, dalam lintas sejarah perjuangan kaum perempuan tidak lepas dari keprihatinan dalam melihat nasib kaum sesamanya.
Lintas Sejarah Perjuangan
Rohana Kudus, lahir di Koto Gadang Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember tahun 1884. Dari pasangan Muhammad Rasyad Maraja Sutan dan Kiam. Rohana Kudus merupakan saudara sebapak dengan dengan St Syahrir (Pimpinan Partai Sosialis Indonesia).
Pada tahun 1908 ketika Rohana berumur 24 tahun menikah dengan Abdul Kudus Pamuncak Sutan, yakni seorang pemuda yang berjiwa sosial. Tetapi perkawinannya tidak berumur lama. Mungkin, akibat kesibukan masing-masing memisahkan mereka dengan baik-baik, sehingga ditengah kesendiriannya Rohana mendobrak perlawanan ketidak adilan kultur terhadap kaum perempuan.
Perjuangan Rohana akhirnya membawa secercah harapan bagi perempuan kampungnya Koto Gadang, melalui usaha pemerbedayaan kaum perempuan yang di rintis Rohana dengan mendirikan institusi pendidikan yang bergerak dalam bidang pendidikan dan keterampilan wanita, yang diberinya nama Kerajinan Amai Setia.
Rohana menaruh prihatin terhadap kondisi kaumnya yang tidak termarjinalkan. Perempuan, waktu itu tidak disentuh oleh pemberdayaan baik dalam konteks lokal maupun oleh kalangan penjajah sendiri. Perempuan di biarkan terkapung dalam polemik keterbelakangannya. Kondisi, secara langsung menimbulkan raut wajah kaum perempuan lesu dan tidak punya oriented masa depan hanya berkurung dalam suasana keterbelakangan.
Dari kondisi perempuan yang tidak berdaya inilah Rohana Kudus bangkit menggeliat, memberikan konstribusi terhadap kaum hawa. Memang tidak sedikit tantangan yang dihadapi oleh Rohana dalam menjalankan cita-citanya. Tidak saja berkaitan dengan dana untuk membiayai kegiatan tetapi juga cemohan dan pandangan miring dari masyarakat. Pembaruan yang dilakukan Rohana menyekolahkan dan menghadirikan perempuan dalam area pendidikan formal memang belum bisa diterima oleh masyarakat.
Konstruksi budaya ketika itu telah menetapkan perempuan dalam wilayah kerja yang sudah tentu yakni, sumur, kasur dan dapur. Building opini bias gender ini, menyebabkan perempuan tidak dibenarkan mengecap pendidikan selayaknya. Di sinilah yang tidak disetujui oleh Rohana, bagi Rohana perempuan itu harus memasuki dunia pendidikan guna memberdayakan dan membentuk karakteristik perempuan yang mandiri.
Selain bergerak dalam bidang pendidikan, Rohana juga berjuang melalui tulisan dengan diterbitkannya, sebuah surat kabar yang bernama Sunting Melayu. Surat kabar ini diterbitkannya pada tahun 1912. Surat kabar ini merupakan, koran perempuan pertama di negeri ini.
Di koran ini, Rohana banyak menulis tentang kegundahannya dalam melihat realita, terutama yang berkaitan dengan nasib kaum perempuan yang masih terjepit dalam pemikiran-pemikiran sempit. Oleh sebab itu, perjuangan pemberdayaan perempuan dalam pergerakan yang dilkukan Rohana cukup luas tidak hanya sebatas lokal, tetapi disuarakannya dengan lantang melalui media masa yang diterbitkannya dan dibaca oleh banyak orang.
Di sinilah, kiprah Rohana mulai dikenal dengan luas. Perempuan, mulai mengagumi dan mengikuti perjuangannya. Perempuan juga mulai sadar terhadap pemberdayaan dirinya.
1. Pendidikan Perempuan
Minangakabu, sebagai salah satu suku bangsa di negeri ini memberikan julukan terhadap perepuan sebagai Bundo Kanduang, yakni menempatkan perempuan dalam kontelasi yang seimbang dengan kaum laki-laki. Yang lebih penting lagi, suku bangsa ini menganut falsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Menegakan syraiat agama dalam segala aspek kehidupan. Hal ini, memberikan isyarat formulasi budaya yang terintegritas, antara kepentingan vartikal dengan horizontal yang dijabarkan dengan luas oleh norma adat.
Konsep ini, menjadi basisi edukasi yang siginifikan dalam pergerakan pemberdayaan kaum perempuan bagi Rohana Kudus. Agama harus ditegakan dengan dalam semua aspek, dan agama tidak pernah mengekang perempuan untuk terdidik. Malahan agama mendorong manusia untuk mempotensikan akalnya, salah satu jalan yang harus ditempuh untuk mempotensikan akal itu adalah melalui pendidikan. Landasan inilah, yang membuat Rohana tidak gentar menghadapi rival-rival (lawan-lawan) yang tidak setuju dengan adanya pendidikan terhadap perempuan. Rohana yakin sekali, tidak ada agama melarang perempuan berfikir dan berpendidikan maju.
Akhirnya, Rohana bergerak melakukan pembaruan-pembaruan dalam bidang pendidikan kaum perempuan. Kerajinan Amai Setia (KAS) yang didirikan Rohana, merupakan salah satu bentuk pendidikan kaum perempuan waktu itu. Di institusi pendidikan ini, perempuan diajarkan untuk pandai menulis dan membaca.
Selanjutnya, materi pendidikan yang diajarkan di KAS tidak hanya mengisi “otak” perempuan, tetapi Rohana mencoba memadukan antara pengisian otak dengan dada memalui pendidikan agama. Di sini perempuan juga diberikan keterampilan-keterampilan, sehingga perempuan kelak dapat mandiri dibidang ekonomi.
Salah satu, kerampilan yang diajarkan disekolah Rohana ini adalah, menenjhit dan membordir. Keterampilan ini, akhirnya semakin menjadikan Koto Gadang, sebagai sentra bordiri kain terkenal di ranah Minang. Kemudian, oleh anak didiknya dikembangkan di daerah asal masing-masing. Tujuan pendidikan yang dikembangkan oleh Rohana semakin jelas, setidaknya senada dengan apa yang dikatakan oleh Goulet to have enough-for the poor person needs more, in order to be more. Kemudian diinterpretasikan oleh Francis Wahono menjadi “ dalam pendidikan; burulah ilmu dan kuasailai kermpilan yang cukup, agar semakin bermanfaat dan beratilah hidup.”
Dari keretampilan yang diajarkan terlihat ‘makna” kultural lokal. Dimana Rohana, ingin mengembangkan aset lokal menjadi berdaya guna. Keterampilan membodir dan menjahit, yang dijarakan kepada perempuan pada waktu itu sudah cukup berati dalam pengembangan perekonomian perempuan itu sendiri. Sampai kini, keterampilan ini berkembang di Koto Gadang, sehingga tidak heran daerah ini menjadi sentra produksi bordir yang akrab dikerjakan oleh perempuan.
Pendidikan Yang Memerdekakan
Mendidik, telah menjadi darah daging dalam kehidupan Rohana. Rohana, betul-betul memiliki inner force (kekuatan batin) dalam bidang edukatif ini, sehingga tantangan bahkan fitnah yang begitu kejam dihadapkan kepadanya tidak membuat dia tertegun untuk mengembangkan bidang ini.
Misalnya, ketika di Koto Gadang di KAS, Rohana tidak hanya sekedar mendapat cemohanan dengan pergerakannya, tetapi juga difitnah telah menyeleweengkan uang perkumpulan KAS, sehingga Rohana terpaksa berhadapan dengan hukum. Di perdisidangan Rohan tidak terbukti bersalah dalam kasus penyelewengan dana tersebut.
Dengan adanya fitnah yang begitu menyedihkan ini, akhirnya Rohana mengambil keputusan untuk keluar dari Koto Gadang dan hijrah ke kota Bukittinggi. Di alam hijrahnya ini, Rohana tidak diam dengan seribu bahasa, tetapi Rohana semakin mengembangkan sayapnya sebagai perempuan yang peduli terhadap kaumnya. Di Kota ini Rohana merajut kembali perjuangannya yang belum selesai, dengan mendirikan Rohana School ditahun 1916. Sebuah sekolah lagilagi untuk kaum perempuan.
Tekanan-tekanan yang ditujukan kepadanya tidak membuat Rohana menjadi surut untuk berjuang, malahan perjuangannya semakin menampakan hasil dengan banyak minat kaum perempuan belajar di sekolah yang baru didirikannya ini. Kelihatan, semakain Rohana mendapat tekanan maka sekuat tekanan itu pula tekatnya untuk terus berjuang.
Pendidikan perempuan yang dikembangkan Rohana, esensinya untuk memerdekakan dan memanusiakan kaum perempuan. Di sini tersirat, teologis pendidikan yang dikembangkan adalah teologis pembebasan. Yakni, merancang bangun pendidikan sebagai basis inner force (kekuatan batin) serta menunbuhkan kepribadian perempuan sebagai manusia yang mederka.
Pada dasarnya, Paradigma pendidikan perempuan yang dikembangkan Rohana adalah paradigma yang terintegritas tidak hanya sekedar pendekatan sumber daya manusia tetapi termanifetasi paradigma keadilan sosial pendekatan pemberdayaan manusia. Paradigma ini, sangat erat kaitannya menempatkan manusia sebagai objek dan subjek pendidikan.
Transformasi pendidikan sebagai agent perubahan sangat tergantung kepada pendekatan-pendekatan yang dilakukan dalam dunia pendidikan itu. Pendekatan ini, tidak hanya sekedar direkayasa melalui kurikulum tetapi harus ditelaah secara mendasar, sehingga pendidikan diharapkan mampu mencapai sasaran dan tujuan.
Dengan pendekatan-pendekatan yang realistis ini, banyak sedikitnya telah meminimalisir kemiskinan dalam berbagai aspek di kalangan perempuna. Kemiskinan tersebut, telah memarjinalkan perempuan. Hasil penelitian Bronstein menunjukan di negara-negara ke tiga, potret buram kaum perempuan tidak terlepas berkisar dari tiga hal yakni; (1) sebagai warga negara terbelakang (2) sebagai petani yang tinggal di daerah yang sangat miskin dan (3) sebagai perempuan yang hidup ditengah dominasi masyarakat laki-laki. Untuk membebaskan perembuan dari masalah itu, pendidikan perempuan dianggap cukup penting artinya.
Pendidikan, jalan transformasi yang harus ditempuh dalam usaha pemberdayaan perempuan. Rohana mencoba kearah itu, sehingga wajar lintas pendidikan yang dikembangkan Rohana pada zamannya disebut-disebut sebagai bentuk perjuangan dari kaum perempuan.
Pendidikan Yang Memberdayakan
Issu pemberdayaan perempuan (women empowerment) dalam lintas sejarah pada dasarnya sudah lama berkembang, tetapi belum dipopulerkan secara maksimal. Peta perjuangan Rohana Kudus, pada dasarnya memberikan setting dalam konteks ini. Begitu juga dengan perjuangan RA Kartini, Dewi Sartika dan lainnya pada zamannya. Mereka semua, bergerakan untuk pemberdayaan ini.
Di pahami pemberdayaan dalam konteks ini, bukan berarti menciptakan wanita lebih unggul dari laki-laki, tetapi memberikan ruang gerak perempuan dalam konstelasi yang lebih mandiri, sehingga dengan upaya ini, perempuan tidak lagi ditata dalam telase yang marjinal yang mudah diekspliotasi, diskriminasi dan sebagainya. Tetapi menemapatkannya sebagai komunitas yang memiliki masa depan dengan mempunyai sumber daya yang representatif dan objektif.
Rohana dengan institusi KAS dan Rohana Schoolnya, mencoba meratas pemberdayaan perempuan ini, dengan mengakat berbagai issu sentral diantaranya adalah; (1)issu kemiskinan kaum perempuan (2) issu keterbelakangan perempuan dalam ranah publik (public domain) dan (3) issu peran ganda perempuan
Dalam penglihatan Rohana yang objektif, perempuan belum lepas dari kemelut kemiskinan. Akibat, kemiskinan ini sikap kemandirian perempuan “mati” dan tingkat ketergantungan secara langsung atau tidak langsung akan tinggi. Perpektif Rohana, untuk membebaskan tingkat ketergantungan yang tinggi ini, perempuan perlu mendapatkan pendidikan untuk memupuk kemandiariannya, sehingga Rohana bertekat kuat untuk mendirikan sekolah kerajinan KAS, seperti yang dikutip Tamar Djaja tujuan didirikan KAS oleh Rohana adalah untuk memajukan perempuan Koto Gadang dalam berbagai aspek kehidupan dalam rangka kemuliaan seluruh bangsa.
Upaya-upaya yang dilakukan Rohana dibidang pendidikan perempuan ini, cukup jelas tujuannya yakni untuk memposisikan perempuan dalam dunia yang sesungguhnya. Artinya perempuan, tidak hanya berkutat dalam ranah domestik tetapi perempuan juga harus memainkan peranan penting di area publik. Perempuan, mempunyai partisipasi yang sama dengan kaum laki-laki dalam membangun peradaban manusia.
Selanjutnya, pemberdayaan perempuan dalam dimensi pendidikan yang dikembangkan Rohana juga mengandung perpaduan dua kesuksesan yakni permpuan sukses diranah publik juga sukses diranah domestik. Inilah yang disebut dengan peran ganda perempuan. Perempuan, harus menempatkan posisinay secara hati-hati dalam dua dimensi. Satu sisi erat kaintannya dengan fitrah perempuan sebagai seorang ibu dan istri, satu sisi lagi berkaitan dengan aktualisasi perempuan dalam dunia luas. Ketimpangan salah satu diantaranya tentu wanita harus menyadarinya akan terjadi disorder.
2. Membangun Media Massa
Di masa kecil, Rohana sudah terbiasa berhadapan dengan surat kabar dan majalah, apalagi setelah pandai membaca kedekatan Rohana dengan media massa semakin akrab. Rohana membaca seluruh surat kabar atau majalah yang dihadapkan kepadanya. Rohana juga punya kebiasaan membacakan surat kabar untuk orang banyak. Dimana orang banyak berkumpul, Rohana hadir disitu membaca surat kabar dengan suranya yang lantang.
Kedekatan Rohana dengan media massa ini ternyata telah membuat dunia baru baginya dan membawa Rohana menjadi seorang jurnalis perempuan pertama di nusantara ini sekaligus sebagai pelopor media massa perempuan dengan didirikannya surat kabar Sunting Melayu pada 10 Juli 1912.
Sunting Melayu merupakan sebagai surat kabar perempuan pertama di negeri ini, didirikan oleh Rohana dengan perjuangan yang cukup berarti. Surat Kabar ini, terbit atas kerjasama Rohana dengan Dt. St. Maharaja pimpinan surat kabar Utusan Melayu. Dari kejauahan di Koto Gadang, Rohama mencoba menyurati Dt. St. Maharaja dengan isi suratnya agar surat kabar yang dipimpin Dt. St. Maharaja dapat menyediakan ruangan-rubrik yang membicarakan masalah perempuan. Sekaligus menawarkan untuk menerbitkan sebuah surat kabar khusus perempuan.
Komunikasi surat ini, ditanggapi dengan bijaksana oleh Dt. St. Maharaja, kemudian dia mendatangi Rohana ke Koto Gadang tempat Rohana berkiprah mengembangkan sayapnya. Di sinilah terjadi kesepakatan anatara Dt. St. Maharaja dengan Rohana untuk mendirikan surat kabar perempuan Sunting Melayu yang dipmpin langsung oleh Rohana Kudus.
Di Sunting Melayu ini, Rohana lebih menampakan perjuangannya sebagai perempuan yang peduli terhadap kaumnya. Tulisan-tulisannya, seakan-akan mendobrak dunia kelam perempuan yang tengah dipermainkan oleh realita yang tidak adil. Seperti dituturkan Rohana dalam sayir yang dimuat di Sunting Melayu tanggal 27 Juli 1912
Pelbagai benih buah pikiran
percaturan politik yang bertaburan
perempuan dan laki-laki berhamburan
peri kemajuan dan kemanusiaan
Ayolah mari kita ke taman Sunting
hamburkan benih yang penting-penting
anyam mengayam, gunting menggunting
halus dan kasar dahan dan ranting
Perempuan harus menggerakan diri
patutlah pula mengeluarkan peri
penarah nan kesat nak hilang duri
penghentian gunjing sehar-hari
Akan menjadi tiru teladan
anak padusi nak jan nyo edan
ajak sekolah maju ke medan
ajak hormat merendahkan badan
(dikutip dari; Rohana Kudus Riwayat Hidup dan Perjuangannya. Tamar Djaya, 1980)
Jurnalis perempuan yang tidak pernah berhenti memperjuangkan kaumnya
Perjalanan Rohana di surat kabar, membuka cakrawala baru dalam dunia pers pada masa itu dan sekaligus membuat Rohana menjadi perempuan yang fenomenal.
Dalam perjalannya di persurat kabaran, Rohana telah membuat formasi baru. Pertama, Rohana mengisi kekosongan perempuan dari liputan pesr, kedua, Rohana membuktikan diri kesanggupannya dalam bidang pers yang belum terjamah oleh kaum perempuan. Dua hal ini, sebuah kontribusi yang “canggih” dilakukan Rohana pada zamannya, sehingga dunia persurat kabaran tidak hanya dimainkan oleh kaum laki-laki. Perempuan pun mampu menjadi kuli tinta.
Di sinilah keberanian Rohana, dia mampu memformulasikan perjuangn dan pergerakannya dalam suasana yang sulit direkayasa. Di sini pula letak pentingnya kerja pers yang dilakukan oleh Rohana, diaman ketika dunia masih terkapung dalam pembagian kerja secara seksual Rohana mencoba mengeliminirnya dengan kemampuan yang dimilikinya, sehingga jadilah Rohana sebagai komunitas pers ditengah dominasi kaum laki-laki.
Setidaknya ada dua tujuan yang hendak dicapai oleh Rohana dalam keterlibatannya di dunia pers ini; pertama, terlihat adanya keinginan yang kuat untuk mengkomunikasikan ke pada khalayak (massa) pembebasan perempuan dari keterbelakangan. Di sini Rohana, ingin merubah image masyarakat tentang perempuan. Dimana perempuan itu tidak hanya sebagai kaum yang terjajah tetapi harus dimerdekakan. Kedua, terlihat adanya “proyek” besar dari Rohana untuk mengeluarkan perempuan dari keterbelakangan ilmu pengetahuan.
Di sinilah letaknya eksistensi surat kabara sebagai “corong” pengeras dan alat komunikasi yang paling urgen pada masa itu, sehingga Rohana mengharapkan tulisan-tulisan dan berita yang dipublikasikannya mampu menjadi sara perjuangannya untuk membebaskan keterbelakangn kaumnya.
Langkah Rohana di dunia pers tidak pernah surut, selalu bergelora sehingga Rohana tidak pernah berhenti berjuang melalui dunia ini, misalnya ketika dia hijrah ke Medan lagi-lagi dunia ini dibidiknya sehingga Rohana menjadi redaksi pada surat Kabar Perempuan Bergerak yang diterbitkan di Medan. Dari sini pula ia tidak merasakan perjuangan terputus, sekalipun dia meninggalkan dunia pendidikan yang dibangunnya.
Pada tahun 1924 Rohana kembali pulan ke kampung halaman dan dia tidak berhenti bergerak dari dunia kuli tinta ini. Bahkan eksistensinya sebagai orang pers mendapat sambutan yang luas, sehingga Rohana dibidik oleh surat kabar Radio yang diterbitkan oleh Cina Melayu Padang untuk menjadi redakturnya. Selain itu, tulisannya hadir dimana-mana, tidak hanya pada media massa terbitan lokal tapi sudah merambah ke media yang terbit di pulau Jawa.
Dari perjalannya di dunia pers ini, pantaslah Rohana dinobatkan sebagai wartawai atau jurnalis perempuan pertama di negeri ini yang bergerak memperjuangkan kaumnya. Atas jasanya ini, pemerintah Sumatera Barat menobatkan Rohana sebagai wartawati pertama di Minangkabau, dengan diberikannya penghargaan kepada Rohana pada tanggal 15 Agustus 1974.
Oleh: Silfia Hanani, Mantan Aktivis Pers Mahasiswa Suara Kampus