Selamat(kan) Jalan Demokrasi Indonesia

ilustrasi: istimewa

Oleh: Nandito Putra (Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Syariah UIN Imam Bonjol Padang)

Tahun ini Indonesia akan melewati 23 tahun reformasi 1998, dan telah banyak perubahan yang telah terjadi dan kita lalui sebagai sebuah bangsa. Perbaikan demi perbaikan terus diupayakan dari masa ke masa. Terlebih lagi ketika keran demokrasi dibuka lebar, yang sebelumnya, tersumbat lantaran pola kekuasaan yang otoriter dan sentralistik. Hal itu dibuktikan dengan komitmen bersama yang termanifestasi melalui amandemen konstitusi, UUD 1945.

Akan tetapi, keran demokrasi yang dibuka lebar-lebar tadi, dalam perjalanannya, tidak melulu mengalir seperti yang dicita-citakan. Masih diperlukan semacam filter dan wadah agar arus demokrasi tidak melimpah ruah, sehingga menimbulkan masalah baru. Itulah yang sedang terjadi dan kita alami hari ini. Nyatanya, demokrasi kita masih terkontaminasi oleh pola-pola lama. Penerapan demokrasi amat paradoks, sebab, cara-cara yang terkesan konstitusional dan demokratis ternyata juga bisa mengikis demokrasi itu sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa fenomena politik dan ketatanegaraan belakangan ini. Seperti menguatnya politik dinasti, penyumbatan kebebasan sipil, pembungkaman oposisi (lihat komposisi kekuatan politik di DPR RI), dan proses legislasi yang minum aspirasi publik.

Tidak hanya itu, dalam mencapai tujuan ekonomi pun, negara sering melanggar nilai-nilai demokrasi dan konstitusi. Hal itu dapat ditemui dari beberapa produk hukum seperti UU Cipta Kerja, yang mana dalam peraturan turunannya, pemerintah menghapuskan limbah batu bara dari daftar limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Padahal, pakar energi dan kimia menilai bahwa limbah batu bara dapat mengancam keselamatan warga yang bermukim di sekitaran pabrik ataupun pembangkit listrik yang menggunakan batu bara sebagai sumber energi utamanya.

Penghapusan limbah batu bara dari kategori B3 ini telah melanggar Pasal 28H ayat (1) yang mencantumkan secara tegas bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Ini baru satu contoh kecil bentuk penyimpangan terhadap konstitusi yang terjadi hari ini. Pertanyaannya, bagaimana bisa aturan semacam ini dapat lolos dan disahkan? Bukankah dalam proses pembentukannya, UU Cipta Kerja dikritik habis-habisan, pakar hukum dan lingkungan pun turut mengkritisi produk hukum bermasalah ini. Tetapi politik hukumnya berbicara lain. Kita tahu bahwa sebagian besar partai di DPR merupakan pendukung pemerintah. Kemudian, hampir semua elit partai memiliki usaha yang terafiliasi dengan tambang dan industri ekstraktif lainnya. Demokrasi kita di bawah bayang-bayang korporat dan perusahaan tambang milik para elit.

Contoh lain bentuk pengikisan demokrasi dapat dilihat dari lemahnya pengawasan terhadap pemerintah oleh DPR (check and balance). Barangkali semua bentuk penyelewengan demokrasi seperti yang disebutkan di atas disebabkan lantaran redupnya kekuatan pengimbang pemerintah. Berkaca pada polarisasi politik di DPR, enam fraksi di parlemen dengan total 427 dari 575 kursi merupakan penyumbang modal politik pemerintah. Polarisasi yang tidak seimbang ini membuka celah masuknya model kekuasaan otoriter. Dengan dukungan yang begitu besar dari parlemen, setiap kebijakan dan langkah yang diambil pemerintah tidak dapat diawasi secara objektif, karena setiap partai politik sudah tersandera dengan berbagai jabatan yang diisi oleh kader-kader partai, mulai dari menteri hingga komisaris BUMN, sebagai bentuk bagi-bagi jatah kue politik.

Koalisi yang sedemikian besar itu merupakan konsekuensi terhadap percampuran sistem pemerintahan presidensial dengan sistem multipartai ekstrem di Indonesia. Sebab, bangunan koalisi yang kokoh merupakan keniscayaan agar pemerintah memiliki dukungan yang kuat dari parlemen. Namun sebaliknya, ketika koalisi yang dibangun oposisi sangat besar, juga menimbulkan masalah terhadap jalannya pemerintahan, dimana dalam penerapannya, seringkali pemerintah mendapat hambatan dalam menjalankan program dan janji politik karena minimnya dukungan parlemen. Peluang terciptanya stabilitas politik dalam sistem presidensial yang dipadukan dengan multi partai memang sulit diwujudkan.

Pendapat di atas dikuatkan oleh Scott Mainwaring dalam Presidentialism, Multipartism, and Democracy:The Difficult Combination,”Comparative Political Studies, sistem multipartai dan sistem presidensial merupakan dua sistem yang sulit digabungkan. Hal ini setidaknya telah dibuktikan pada 31 negara yang masuk kategori demokrasi yang stabil. Syamsuddin Haris dari LIPI pernah menyampaikan bahwa gabungan sistem Presidensial dan sistem multipartai adalah “kawin paksa”, contoh terdekat adalah Filipina yang mempraktekkan Sistem Presidensial dan Multipartai-yang bisa kita lihat dan ukur tingkat efektifitas dan stabilitas politiknya (Filipina adalah salah satu negara yang paling sering mengalami kudeta).

Setidaknya ada tiga alasan mengapa kombinasi ini menimbulkan permasalahan. Pertama, tidak adanya pemenang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang mayoritas mutlak dalam legislatif. Kedua, tidak adanya suatu sistem pemilihan lembaga kepresidenan yang sesuai dengan paparan yang di atas. Ketiga, perlu dikaji peran dan fungsi berbagai elemen penunjang lembaga kepresidenan serta pembentukan struktur kelembagaan penunjang berdasarkan fungsi tersebut.

Persoalan gabungan partai politik pendukung Presiden dan Wakil Presiden terpilih sebagaimana telah diarahkan oleh Undang-Undang Dasar 1945, secara teoritik mestinya dilanjutkan dengan formalisasi koalisi antara partai politik atau gabungan partai politik. Seperti adanya aturan mengenai koalisi permanen. Dengan demikian, partai-partai dirangsang berkoalisi karena persamaan perjuangan, bukan karena kepentingan kekuasaan. Koalisi ini diharapkan akan mencegah polarisasi dan fragmentasi berlebihan antara berbagai kekuatan yang ada. Koalisi yang demikian memberikan dukungan riil bagi penyelenggaraan pemerintahan secara lebih efektif dalam masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden.

Bagi munculnya sebuah koalisi yang berarti, maka faktor kepemimpinan dalam partai dan kedisiplinan partai menjadi penentu. Karenanya adalah sesuatu yang mendesak untuk memperhatikan keterkaitan dan kalau perlu keberlanjutan koalisi antar partai sebelum dan setelah pemilihan presiden.

Untuk mewujudkan hal di atas memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, jika para legislator dan pemerintah kita tergerak untuk memperbaiki sistem demokrasi yang ada, tidak ada kata yang tidak mungkin. Akan tetapi, bila keadaan yang terjadi seperti hari ini terus dibiarkan, kecil kemungkinan untuk mewujudkan negara yang berlandaskan demokrasi konstitusional. Kita akan terus disibukkan dengan masalah yang terus tersandera oleh sikap pragmatis para elit politik. Demokrasi Indonesia dengan sistem presidensial mutlak memberikan ruang terciptanya mekanisme check and balances–karena hal itu merupakan ruh dari demokrasi–agar kekuasaan tidak terjebak dalam lembah hitam otoritarianisme.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

UPT Perpustakaan UIN IB Adakan Library Management Event

Next Post

Jalan Terjal Mengembalikan Perdamaian di Myanmar

Related Posts
Total
0
Share
410 Gone

410 Gone


openresty