Oleh: Najwalin Syofura (Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang)
Mentari sore menyinari kampus yang mulai sepi. Aisha, mahasiswi semester empat jurusan Sastrawan, berjalan gontai menuju halte. Ponselnya berdering, menampilkan nama “Angga” dengan emot love. Ia menghela napas sebelum menjawab.
“Halo, ngga” sapa Aisha lesu.
“Sayang, aku lagi di dekat cafe kosmu, Kamu bisa kesini? Ada yang mau aku bicarakan ” suara Angga terdengar sedikit mendesak.
Aisha ragu. Ia baru saja menyelesaikan tugas akhir yang menumpuk dan lelah luar biasa. Tapi, menolak angga selalu berujung pertengkaran. “Iya, bentar lagi aku kesana,” jawabnya akhirnya.
Di cafe, Angga sudah memesan kopi dan sepotong kue. Wajahnya terlihat cemas.
“Sayang, aku lagi butuh uang” Angga memulai, suaranya sedikit gemetar. “Motor ku rusak, dan… aku butuh uang untuk bayar kuliah semester depan.”
Aisha mengerutkan kening. Ini bukan pertama kalinya Angga meminta uang. Setiap bulan, selalu ada alasan baru, uang kos, uang makan, biaya organisasi, dan sekarang motor rusak. Aisha sudah beberapa kali membantu, menggunakan uang tabungannya hasil kerja paruh waktu sebagai guru les. Padahal dia bisa dikasih orang tuanya atau dia bisa kerja.
“Ngga, aku sudah bantu kamu berkali-kali. Aku juga punya kebutuhan sendiri, lho. Aku juga harus bayar kuliah, dan aku juga harus nabung untuk masa depan,” Aisha berkata, suaranya mulai meninggi.
Angga terlihat kesal karena tidak dikasih “sebenarnya kamu masih sayang gak sih sama aku? Kalau kamu seperti ini, berarti kamu gak cinta dan sayang sama aku.”
Aisha mengangguk, menghapus air matanya dengan punggung tangan. Tatapannya tajam, menatap Angga tepat di mata. “Ini bukan hanya tentang uang, ngga” katanya, suaranya tenang namun penuh penekanan. “Ini tentang rasa hormat. Aku menghormati diriku sendiri, dan aku mengharapkan rasa hormat yang sama darimu. Aku tidak akan menjadi ATM berjalan untuk hubungan kita. Cinta itu berasal dari hati dan bukan hanya soal materi”.
Angga tertunduk, wajahnya pucat. Ia membuka mulut ingin membela diri, tetapi Aisha memotongnya.
“Aku lelah, ngga, sangat lelah. Aku selalu merasa dimanfaatkan. Aku pantas mendapatkan lebih dari ini. Aku pantas mendapatkan seseorang yang mencintaiku apa adanya, bukan mencintaiku karena dompetku.”
Aisha berdiri, mengambil tasnya. Ia tidak menunggu tanggapan Angga. Dengan langkah pasti, ia meninggalkan cafe, meninggalkan Angga yang terpaku di tempat duduknya, di tengah-tengah kopi yang sudah dingin dan kue yang tak tersentuh.
Di luar, matahari telah tenggelam, meninggalkan langit senja yang gelap dan sunyi, mencerminkan perasaan Aisha yang campur aduk antara sakit hati dan kelegaan. Ia tahu, ini adalah keputusan yang sulit, tetapi ini adalah keputusan yang tepat.
Ia memilih untuk mencintai dirinya sendiri, dan itu adalah awal dari sebuah babak baru yang lebih kuat dan bermartabat.
Ia tidak akan pernah lagi membiarkan siapapun memanfaatkannya, dan ia pantas mendapatkan cinta yang tulus, tanpa syarat dan tanpa beban materi.