Walhi Nasional Gelar Konferensi Pers Soal Krisis Sungai di Sekitar Pulau Jawa

Suasana penyampaian materi soal penanganan pemerintah dalam membenahi krisis sungai lewat via zoom meeting (Foto: Wangi/suarakampus.com)

Suarakampus.com- Walhi Nasional adakan konferensi pers terkait somasi yang ditujukan kepada para Gubernur sebagai tanggung jawab atas krisis air sungai dan sampah di sekitar pulau jawa. Kegiatan ini dilaksanakan di Kantor Walhi Nasional secara online lewat via zoom meeting dan live youtube pada jam 13:00-14:30 WIB, Selasa (12/04).

Selaku Ekspedisi Sungai Nusantara, Prigi Arisandi mengatakan ada setidaknya tiga sungai yang telah diteliti dan diobservasi perihal kebersihan pengalirannya. Sungai tersebut yakni sungai Bengawansolo, sungai Brantas dan sungai Citarum. “Sejauh ini ketiga sungai besar tersebut telah dialiri oleh sisa sampah dan limbah industri,” ungkapnya saat menyampaikan ulasan.

Dari hasil amatannya, Prigi menyimpulkan ciri-ciri pertama yang ditemukan pada sungai di Indonesia adanya sampah plastik dan sejumlah kandungan zat mikroplastik yang membuat sungai tercemar dan ikan-ikan yang ikut mati.

Lanjutnya, ia mengungkapkan sebanyak 200 ribu mikroplastik ditemukan di tiga sungai besar pulau jawa. Katanya, ia menemukan 25 jenis yang terpapar mikro jahat dan ikan nila merupakan jenis ikan yang paling banyak mengandung mikroplastik dibanding jenis ikan lainnya.

“Jika ikan yang tercemar ini kita makan, kemudian kita konsumsi, secara otomatis tubuh kita juga akan mengandung mikroplastik juga,” ujarnya.

Kemudian, ia menjelaskan kegiatan ini berupaya untuk menghimbau para Gubernur khususnya pulau jawa agar pemerintah dapat benahi pengelolaan sampah dengan baik. “Sungai harus menjadi perhatian Gubernur karena air merupakan sumber kehidupan manusia,” ucap Prigi.

“Kami menyiarkan dan membahas hal ini kepada teman-teman semua agar tidak mencontoh pulau jawa dalam mengelola sungai,” sambungnya.

Senada dengan itu, salah seorang perwakilan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Rahyang Nusantara mengatakan selain pencemaran yang terjadi di setiap aliran sungai, pengelolaan sungai dalam setiap daerah juga kurang dibenahi. “Dari 514 Kabupaten dan Kota yang ada di pulau jawa hanya 70 daerah yang membentuk peraturan pengelolaan sampah,” terangnya.

Lalu, Rahyang menjelaskan ada dua indikator yang perlu diperhatikan dalam mengurangi atau menangani sampah, yakni pihak produsen dan konsumen. Katanya, dalam menangani masalah sampah, produsen dan konsumen harus memiliki pemikiran yang sama soal pengelolaan sampah setiap daerah.

“Jika pengurangan sampah plastik tidak mempan untuk dibenahi, kita harus mengelola sampah itu sendiri tentunya dengan pembinaan oleh pemerintah,” jelasnya.

Ia juga menyebut, para konsumen mesti mengurangi penggunaan bahan plastik dalam pembelanjaan dan selektif dalam membuang sampah secara benar agar tidak terjadi penumpukan mikroplastik. “Kita sebagai konsumen, jangan sampai terjadi mismanagement, yang mana kita tau harus berbuat apa dan berpura-pura tidak tau apa-apa soal penanganan sampah,” tegas Rahyang.

Selanjutnya, selaku Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Suci F. Tanjung mengungkapkan penyumbang sampah terbanyak berada pada lingkungan masyarakat. “Sebanyak 72,2% sampah berasal dari masyarakat, 17,5% dari daerah perkotaan dan 9,9% berasal dari limbah industri,” jelasnya.

Berdasarkan data pada tahun 2018 menunjukkan sampah popok bayi merupakan sampah dengan tingkat paling tinggi, kemudian diikuti sampah plastik, botol serta kemesan makanan yang mencapai 28,5%. Suci mengatakan, sebanyak 13 sungai di Jakarta menghasilkan 300 hingga 400 ton sampah perharinya.

“Sejak orde baru, sudah banyak program pemerintah yang mengatur tentang pengelolaan sampah, tapi karena kebijakan yang tidak sinergis, hasilnya jadi seperti ini,” ucap Suci.

Lanjutnya, Suci menilai upaya pemerintah khususnya daerah DKI Jakarta sudah dijalankan dalam pengeloaan sampah di sekitar sungai seperti, skema penanaman eceng gondok, sanitasi berbasis masyarakat hingga kebijakan kota tanpa kumuh. “Saya pikir hal ini tidak dilakukan secara komersial, tidak punya prosadis yang benar sehingga kita sampai kedalam keadaan problematika yang baru,” tuturnya.

Menyambung hal itu, selaku Founder Ecoton, Daru Setyorini mengatakan kondisi sungai Indonesia memasuki tahap darurat. Ia menilai faktor-faktor penyebab krisis sungai terjadi karena kebijakan yang tidak persial dan sektoral, juga kurangnya political will serta leadership yang kurang paham soal pengendalian pencemaran sungai.

Selain itu, Daru membandingkan negara Indonesia dengan Singapura dalam penanganan pengelolaan sampah di sungai. Ia menyebut negara Singapura konsisten dalam menjaga lingkungan serta sistem political will yang tertata. “Mereka menggunakan target yang berkesinambungan, beda halnya dengan kita yang tiap ganti pemimpin pasti ganti kebijakan,” ujarnya.

Kemudian, ia mengatakan masyarakat butuh ruang yang terpadu dalam penanganan sampah di lingkungan sungai sehingga dapat mengimplementasikan kebijakan yang dibuat. “Perlu adanya pembinaan dari pemerintah terkait kesadaran dan pemahaman masyarakat, namun pemerintah, juga tidak paham dan hanya mengekploitasi ekonomi saja,” lugasnya.

Penghujung pembicaraan, ia berharap tiap provinsi dapat memberikan payung humum untuk melindungi sungai dari pencemaran. Bukan hanya itu, Daru menyebut pemerintah perlu membentuk tim pencegahan dan pengelolaan sampah di Provinsi.

“Saya berharap, tim penanganan ini nantinya bisa memberikan akses informasi dan partisipasi sampai pada tingkat masyarakat di desa,” tutupnya. (hry)

Wartawan: Ramitha Mawangi (Mg)

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Hari Kesepuluh Pelaksanaan Puasa, Jalanan Sekitar Kampus II UIN IB Diwarnai Kemacetan

Next Post

Lewat Surat Pernyataan Sikap, Ormawa UIN IB Tolak Pemilihan Presma

Related Posts
Total
0
Share
410 Gone

410 Gone


openresty