17 Tahun Kasus Munir dan Pengabaian Negara atas Pelanggaran HAM

Ilustrasi Munir Said Thalib (foto: voi.id)

“Mereka, yang tidak mengingat masa lalu dikutuk untuk mengulanginya.”George Santayana

Suarakampus.com-Ungkapan penulis berkebangsaan Spanyol, George Santayana (1863-1952) dalam bukunya yang berjudul Kehidupan Rasio atau Fase-Fase Kemajuan Manusia di atas, dibuktikan secara telanjang oleh pemerintahan Joko Widodo.

Di bawah pemerintahan Joko Widodo, kasus pembunuhnan Munir mengendap tidak berkejelasan. Banyak aktivis memprediksi, Jokowi akan mengulangi kembali kegagalan pendahulunya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dua periode kepemimpinan SBY, ternyata tidak mampu mengungkap aktor intelektual di balik pembunuhan Munir.

Memang waktu itu, atas desakan publik, SBY meneken Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 111 Tahun 2004 yang melandasi berdirinya Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan Munir. TPF dibentuk guna membantu kepolisian mengusut keterlibatan oknum di lingkungan direksi PT Garuda Indonesia dan Badan Intelijen Negara (BIN).

Tujuh bulan bekerja, laporan TPF rampung pada Juni 2005. Namun sampai hari ini, publik tidak pernah mengetahui isi laporan tersebut. Pemerintah mengklaim, laporan TPF hilang di Kementerian Sekretaris Negara dan baru ketahuan pada 2016.

SBY menyatakan hanya memiliki salinan dan tidak memiliki naskah asli laporan TPF. Ia mengaku, melalui Mensesneg kala itu, Sudi Silalahi, telah melimpahkan salinan laporan TPF kepada pemerintahan Jokowi. Dua rezim tersebut saling melempar tanggungjawab dan mengklaim tidak mengetahui keberadaan laporan TPF.

Pengadilan menjatuhi hukuman 14 tahun penjara terhadap aktor lapangan yang mencampurkan arsenik ke dalam minuman Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto. Menurut laporan TPF, ada empat lapisan aktor di balik pembunuhan Munir, dan Pollycarpus hanyalah lapisan pertama, sebagai eksekutor. Ia bebas pada 2018 setelah berkali-kali mendapat keringanan hukuman. Oktober 2020 lalu, sang penabur racun tutup usia dan keterangan lebih dalam tentang kasus Munir ikut terkubur bersamanya.

Majalah Time menulis Jokowi sebagai a new hope. Namun harapan baru itu tidak berlangsung lama. Di awal periode pertama, eks Wali Kota Solo itu memang tampil meyakinkan. Misalnya, ia menawarkan sederet janji, seperti: akan memperkuat KPK, menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu, tidak bagi-bagi jabatan, dan terbaru yang sering ia gaungkan, yaitu menerima segala bentuk kritikan.

Namun di bawah kekuasaannya pula indeks demokrasi anjlok. Terburuk dalam 14 tahun terakhir. Laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) mencatat Indonesia berada di posisi ke-64 dengan skor 6,3.

Dalam hal ini, pernyataan BEM UI beberapa waktu lalu, yang menyebut Jokowi adalah King Lip of Service benar adanya. Adalah sahih bahwa pernyataan sang presiden sering bertolak belakang dengan tindakannya. Dari sekian banyak ucapan Jokowi tersebut, terselip pertanyaan besar tentang bagaimana nasib kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib.

Pembiaran Kasus Munir

Hari ini, Selasa (7/09), bertepatan 17 tahun kasus pembunuhan Munir yang masih belum sepenuhnya terungkap. Munir meregang nyawa dalam perjalanannya menuju Belanda pada 7 September 2004 silam. Ia dibunuh dengan racun arsenik yang dapat menumbangkan seekor gajah.

Menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, Jokowi membiarkan pelaku pelanggaran HAM tidak tersentuh hukum. Asfinawati mengatakan pembiaran pelanggaran ham (by omission) juga merupakan bentuk pelanggaran HAM.

“Dalam prinsip hak asasi, pemerintah membiarkan pelanggaran HAM itu sebenarnya adalah pelanggaran HAM,” katanya dalam diskusi media yang diselenggarakan Themis Indonesia secara daring, Senin (06/09).

Asfinawati menyebut, pelanggaran karena pembiaran (by omission) terjadi ketika negara tidak melakukan sesuatu tindakan atau gagal untuk mengambil tindakan lebih lanjut yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban hukum. “Jokowi terlibat pelanggaran HAM pengabaian, karena tidak urung menindaklanjuti kembali temuan oleh TPF kasus Munir,” katanya.

Untuk itu, ia mendesak agar Jokowi segera membentuk TPF baru untuk menyelidiki kembali temuan TPF bentukan SBY. “Dua periode ini, kita tidak melihat komitmen pemerintah untuk segera mengungkap kasus Munir,” tegasnya.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti pesimis bahwa di sisa pemerintahannya, Jokowi mau mengusut tuntas kasus Munir seterang-terangnya. Fatia menilai, kuatnya pengaruh oligarki dan keterlibatan purnawirawan militer di pemerintahan Jokowi, membuat kasus pelanggaran HAM terhalangi konflik kepentingan.

Oligarki Menghambat Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM

Sementara itu, Guru Besar FISIP UI Thamrin Tamagola, tidak yakin pemerintahan Jokowi bakal mengusut tuntas kasus Munir dan pelanggaran HAM lainnya. Menurutnya, selama oligarki masih mengakar dalam sistem politik Indonesia, kasus serupa tak akan bisa diselesaikan.

Ia menilai, tidak ada tanda-tanda Jokowi akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Menurut Thamrin, hal itu terlihat dari jarangnya Jokowi menyinggung soal HAM di setiap pidato kenegaraannya.

“Saya punya pandangan yang pesimistis dengan penuntasan ini. Pada akhirnya saya melihat kelihatannya tidak ada sesuatu yang menjanjikan akan diangkat dan dituntaskan terutama di pemerintahan Jokowi ini,” kata Thamrin.

Ia menganggap bahwa keberadaan oligarki saat ini lebih sadis ketimbang Orde Baru. Sebab, pembungkaman akan penyampaian pendapat terjadi begitu luas. “Oligarki yang sekarang membuat napas demokrasi sesak dan suara kritis dibungkam,” katanya.

Pada periode kedua ini, langkah politik dan ekonomi pemerintahan Jokowi sangat kontras mementingkan para oligarki. Dua indikator utama yang melihatkan pelayanan luar biasa untuk kaum oligarki terlihat dari pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi yang serampangan pada 2019 lalu. Jokowi juga mengakomodasi kehendak oligarki lewat UU Cipta Kerja dan UU Minerba.

Pada 2020 lalu, YLBHI mengeluarkan laporan bertajuk Tanda-tanda Otoritarianisme Pemerintahan Jokowi (PDF), dalam diskusi publik dan mimbar bebas demokrasi melawan oligarki. Menurut laporan tersebut, pemerintahan Jokowi sejak 2014, menggunakan tiga pola kekuasaan otoritarianisme.

Pertama, menghambat kebebasan sipil seperti berpikir, berkumpul, berpendapat, berekspresi, dan berkeyakinan. Kedua, mengabaikan hukum yang berlaku baik itu Konstitusi, TAP MPR, maupun undang-undang. Ketiga, memiliki watak yang represif, mengedepankan pendekatan keamanan, dan melihat kritik sebagai ancaman.

Dari tiga pola tersebut, sejak 2014 setidaknya ada 27 kebijakan yang menandakan pemerintahan yang otoriter. Salah satunya adalah pengabaian aspirasi publik dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.

Mengenai kuatnya patron oligarki di tubuh pemerintahan Jokowi, Asfinawai melihat keterlibatan orang-orang rezim lama akan mempersulit terkuaknya kasus pelanggaran HAM. “Keterkaitan rezim lama yang menempati posisi-posisi kunci di rezim baru tidak boleh diterapkan, karena akan ada upaya menghalang-halangi kasus pelanggaran HAM yang menyangkut dirinya,” kata Asfin.

Asfinawati juga menyoroti kuatnya cengkraman militer di pemerintahan Jokowi. Ia melihat hari ini banyak posisi strategis yang diduduki oleh orang militer. “Selama militerisasi masih hidup, siapapun pemimpinnya, kasus pelanggaran HAM hanya akan mengendap. Paradigma itu yang mesti ditinggalkan. Iklim politik kita arus disipilkan” Asfinawati. (Red)

Wartawan: Nandito Putra

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Komisi VIII DPR RI Akan Lakukan Kunker ke UIN IB

Next Post

31 Nama Dinyatakan Lulus Verifikasi Berkas pada Pemilihan Jajaran Pimpinan UIN IB

Related Posts
Total
0
Share
404 Not Found

Not Found

The requested URL was not found on this server.


Apache/2.4.41 (Ubuntu) Server at hacklink.site Port 80