Abrasi: Dampak Nyata Krisis Iklim di Pantai Barat Sumatra

Rusak. Peningkatan ketinggian air laut mengakibatkan abarsi di kawasan Air Manis, Kecamatan Padang Selatan. Terlihat kondisi rumah warga setelah dihantam gelombang pasang, Rabu (09/11). Foto: M. Abdul Latif (suarakampus.com)

Suarakampus.com-Dedi bersama beberapa orang kawannya terlihat sibuk membenahi dapur yang hancur dihantam ombak. Tiga hari belakangan, ketinggian gelombang melebihi hari biasanya. Puncaknya, pada Sabtu malam (06/10) lalu, ombak menghantam bagian belakang rumah Dedi, meluluhlantakkan dapur dan mengikis pondasi rumahnya. Air juga menyusup memasuki ruangan lain, di rumah semi permanen itu.

“Sudah tiga hari ini gelombang selalu tinggi, mengikis setiap jengkal pondasi rumah,” kata Dedi kepada suarakampus.com, Selasa (09/11).

Matanya merah seperti kurang tidur. Saban malam, ia harus berjaga-jaga mengawasi ombak. Sudah sepekan lebih angin barat berembus kencang. Bagi Dedi Iskandar, hal itu bukan masalah, sebab sudah begitu adanya. Tapi kini, setiap jengkal hidupnya begitu mengkhawatirkan. Ombak pantai barat Sumatra berada begitu dekat dengan tempatnya tinggal, kurang dari satu meter.

Dedi, 47 tahun, tinggal di Kelurahan Air Manis, Kecamatan Padang Selatan. Rumah yang ia tempati berada di ambang kehancuran karena abrasi. Pada 2019 lalu, rumah Dedi juga pernah dihantam gelombang tanpa ampun. Namun, ia tetap bertahan dan berupaya memasang karung-karung berisi pasir dan pecahan batu untuk menahan laju ombak, agar tidak langsung menghantam rumahnya.

Mengapa tidak pindah saja, sudah tahu keadaannya begini. Dedi sudah berkali-kali mendengar kalimat barusan dari orang-orang, termasuk wali kota sekalipun. Pada 2020 lalu, Wali Kota Padang Mahyeldi, kini Gubernur Sumbar, menyambangi kediaman Dedi. Ia dianjurkan untuk pindah agak jauh ke depan dari bibir pantai. Tapi anjuran itu tidak bertemu ruas dengan buku. Apa yang dikatakan oleh pemerintah tidak pernah terealisasi.

Foto satelit kawasan RT I RW II Kelurahan Air Manis. Terlihat pemukiman warga dengan jarak begitu dekat dengan pantai.

“Kebanyakan pejabat hanya datang berfoto. Sudah, itu saja. Nasib kami tetap seperti ini,” kata bapak tiga anak itu.

Bukannya tak ingin pindah. Dedi tidak punya tanah untuk ditempati. Situasinya pelik sebab sudah tidak ada lagi lahan untuk membangun rumah baru. Tidak ada pilihan selain bertahan sampai semuanya benar-benar usai.

Dedi sudah tinggal di Air Manis selama 23 tahun. Sepuluh tahun lalu, posisi bibir pantai berjarak lebih kurang 100 meter dari tempatnya sekarang. Ia tidak bisa berbuat banyak, selain tetap bertahan, mengisi karung demi karung dengan pasir dan menumpuk batu-batu agar rumahnya tetap aman dari hantaman ombak.

Dedi bersama beberapa orang warga sudah menyuarakan persoalan ini kepada pemerintah sejak 2019 lalu, tahun di mana gelombang memasuki pekarangan warga, hingga 50 meter menyusuri pemukiman. Namun bantuan berupa batu grip pemecah ombak baru datang minggu lalu.

Ia mengatakan, upaya mitigasi dengan memasang batu grip tidak serius. Batu tersebut baru datang tiga truk. Jumlah itu jauh dari cukup untuk membendung bibir pantai. Dedi bilang, alasan batu tidak datang lagi karena tidak ada stok dari pemborong.

Dedi mengatakan, pemasangan girp merupakan janji dari salah seorang anggota legislatif saat pemilihan umum 2019 lalu. “Dulu dijanjikan akan dipasang grip di sini, tapi baru sekarang datangnya,” katanya. Sebelum ada campur tangan pemerintah, Dedi sudah membeli 15 truk batu pemecah ombak menggunakan uang pribadi. Namun jumlah itu jauh dari cukup.

Sebagai nelayan, hampir seluruh uang yang ia dapat dari hasil menangkap ikan digunakan untuk mencegah agar air laut tidak menghantam huniannya. Ia sudah melakukan hal itu sejak 2019 silam. Ratusan karung yang diisi pasir memang tidak dapat bertahan lama, begitu pula dengan batu yang ia pasang.

Kondisi rumah salah seorang warga Kelurahan Air Manis, Dedi Iskandar setelah dihantam ombak. Rabu (9/11)/M. Abdul Latif.

Dedi sadar betul bahwa batu dan karung pasir itu tidak akan efektif menahan hantaman ombak. “Seharusnya batu ukuran besar, tapi hanya ini kemampuan kita,” katanya. Batu yang ia gunakan untuk memecah ombak berukuran kecil. Seharusnya batu itu digunakan untuk pondasi bangunan. Tapi apa boleh buat, tindakan serius dari pemerintah tak kunjung terlihat.

Saat dikonfirmasi terkait terhentinya kedatangan batu grip, pejabat Kelurahan Air Manis mengatakan belum pernah berkomunikasi dengan pemegang tender. Kepala Lurah Air Manis, Zainal, mengatakan ia tidak tahu soal anggaran pemasangan batu tersebut. “Belum ketemu sama pemegang proyek, apa yang mau dijelaskan,” kata dia singkat.

Foto satelit rumah Dedi Iskandar di Kelurahan Air Manis, Kecamatan PadangUtara, Kota Padang, Sumatra Barat. Sumber: googlemap

Dedi tidak sendirian. Di RW 01 RT 02 Air Manis, terdapat puluhan rumah yang berada di tepi pantai. Namun, hanya rumah Dedi yang paling dekat dan bersinggungan langsung dengan ombak. 50 meter di sebelah kiri rumah Dedi, terdapat sebuah bangunan semi permanen yang setengahnya sudah hancur dihantam ombak.

Ia merasakan, selama ini warga hanya menghadapi persoalan abrasi secara sendiri-sendiri. Tidak bersatunya warga dalam merespon persoalan membuat Langkah mitigasi oleh pemerintah semakin berlarut-larut.

Yang habih, habihlah surang. Yang hiduik, hiduiklah surang,” kata Dedi menggambarkan situasi yang ia rasakan.

Nasib serupa juga dialami oleh Syafri Oyon, 61 tahun. Kondisi tempat tinggalnya hanya sedikit lebih baik daripada tetangganya, Dedi Iskandar. Rumah Oyon hanya berjarak 10 meter dari bibir pantai. Oyon sudah mendiami Air Manis sejak 1981 silam. Ia menyaksikan bagaimana abrasi di tempatnya terjadi begitu cepat.

15 tahun lalu, di posisi yang kini sudah berubah jadi lautan, berdiri lima rumah dan satu musala. Ia tidak menyadari bahwa apa yang terjadi adalah dampak dari krisis iklim. Yang diketahuinya hari ini adalah laut semakin mendekat, dan batu grip harus segera dipasang agar laut tidak semakin mendekat.

Menurutnya, pemerintah harus segera mengambil langkah cepat agar abrasi tidak semakin meluas dan menenggelamkan Kawasan Air Manis. “Pembangunan batu grip harus segera dipercepat, kalau tidak bisa-bisa dalam lima tahun ini sudah habis semua,” kata dia.

Kelurahan Air Manis berada tepat di selatan Gunung Padang, tepat sebelum Teluk Bayur. Kawasan ini merupakan dataran sempit yang di sebelah utaranya dihambat perbukitan rendah.

Ketidakseriusan Merespon Abrasi

Abrasi sudah menjadi masalah klasik Pantai Padang. Pesisir barat Sumatra, khususnya Kota Padang langsung berhadapan dengan Samudra Hindia dengan ombak yang ganas. Bahkan, seperti kata Randi Reimena dalam Menjinakkan Ombak Pantai Padang: Dari Abrasi ke Abrasi, maslah ini sudah terjadi sejak masa kolonial Belanda. Pemerintah kolonial kerap dibuat keranjingan ketika angin barat bertiup kencang dan menimbulkan ombak yang merusak kawasan pesisir.

Berdasarkan catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kota Padang berada di posisi teratas sebagai kawasan paling rawan terhadap gelombang tinggi dan abrasi di Indonesia, dengan skor 50. Data yang dihimpun dalam Permodelan Perubahan Garis Pantai Dengan Menggunakan Genesis di Pantai Kota Padang menunjukkan terjadi perubahan garis pantai Padang dari 1990 hingga 2010 berkisar 2-3,4 meter (0,10-0,17 m/tahun).

Kepala Departemen Kajian, Advokasi dan Kampanye WALHI Sumbar, Tommy Adam, mengatakan, peningkatan laju permukaan air laut,  tidak terlepas dari deforestasi besar-besar dalam dua dekade terakhir. Hal itu merupakan dampak dari tidak adanya kebijakan yang selaras dengan isu lingkungan.

“Hutan yang ada sudah tidak memadai untuk menyerap karbon sehingga menimbulkan pemanasan global yang berakibat mencairnya lapisan es di kutub,” kata dia.

Perambahan hutan besar-besaran, kata Tommy, umumnya terjadi di negara berkembang dengan tutupan Kawasan hutan yang luas, seperti Brazil dan Indonesia. “Hal ini akan berdampak serius bagi daerah pesisir, seperti pantai barat Sumatra dan dataran rendah yang bersinggungan dengan laut,” kata Tommy. “Abrasi adalah salah satu hal paling nyata yang terlihat, tapi langkah yang diambil terbilang lamban”.

Khusus di Kawasan barat Sumatra, Tommy melihat terjadi penggerusan pesisir pantai akibat abrasi terjadi begitu cepat. Dalam rentang 10 tahun terakhir, misalnya, daerah yang dulunya masih jauh dari pantai, hari ini sudah bersinggungan langsung dengan laut.

Bagian yang diarsir warna pink merupakan kawsan hutan dalam status peringatan deforestasi (Deforestation Alerts). Sumber: Global Forest Watch.

Katanya, Sumbar adalah daerah paling rawan terjadinya abrasi. Hal itu diperburuk dengan kondisi geografis yang berhadapan langsung dengan Samudra Hindia dengan rata-rata ketinggian ombak 1-3 meter.

Untuk dapat menahan laju gelombang dan abrasi, Tommy menilai harus ada Langkah serius di sektor kebijakan pembukaan lahan. Namun demikian, pemerintah terlihat tidak serius dalam merespon persoalan ini.

Tommy mengatakan, mitigasi abrasi hanya akan bertahan sementara apabila hulu persoalan tidak dibenahi: deforestasi.

Selain maraknya deforestasi, Tommy mengatakan pengurasan air tanah berlebihan membuat kondisi tanah menjadi rapuh. Hal itu membuat permukaan tanah mengalami penurunan secara bertahap.

Menurut Tommy, pengurangan abrasi semakin diperburuk karena tata Kelola wilayah pesisir yang buruk. Tommy merinci, di beberapa daerah di Sumbar, seperti di Ulakan dan Pesisir Selatan, terjadi pengalihan fungsi kawasan pesisir. “Sekarang marak berdiri tambak-tambak yang seharusnya di situ tempat tumbuhnya nipah dan bakau,” kata dia.

“Pemerintah harus melihat abrasi sebagai masalah yang serius, karena ini terkait ancaman terhadap ruang hidup masyarakat,” kata Tommy, saat ditemui di kantornya, Selasa (09/11).

WWF Indonesia mencatat, Sumatra telah kehilangan lebih dari setengah hutan alam karena dialihkan menjadi perkebunan untuk produksi kertas, dan sawit. WWF memprediksi, akan ada lima juta hektar hutan akan beralih fungsi jika tidak ada tindakan serius.

Proyeksi WWF dalam laporan menunjukkan setidaknya 5 juta hektar hutan dapat hilang pada tahun 2030. Tutupan hutan di Borneo, termasuk Malaysia dan Brunei, dapat tersisa kurang dari seperempat luas aslinya pada tahun 2020 jika tren saat ini dibiarkan. New Guinea, yang meliputi Indonesia dan Papua New Guinea, dapat kehilangan hingga 7 juta hektar hutan antara tahun 2010 dan 2030 jika rencana pembangunan pertanian berskala besar terwujud.

Wartawan: Nandito Putra dan Muhammad A. Latif

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Perayaan Kecil Mengenang Orang ‘Besar’

Next Post

Kiprah ‘Bapak Perfilman Nasional’ dalam Pameran 100 Tahun Usmar Ismail

Related Posts
Total
0
Share
410 Gone

410 Gone


openresty