Penulis: Fachri Hamzah
(Mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam UIN Iman Bonjol Padang angkatan 2018)
Senyum itu selalu terbayang dalam benak ini, seyum ramah yang ditutupi cadar hitam. Tak pernah kuduga jika kau bisa tertarik denganku, seorang pekerja seni kampus yang hanya kerjanya keliling kampus untuk berkampanye dengan seni. Entah apa yang merasukimu, bahkan sahabatmu pernah heran padaku, bahwa kau tak pernah mengobrol dengan seorang laki-laki yang baru kau kenal apalagi dekat tetapi berbeda ketika bertemu denganku. Padahal kita punya perbedaan yang begitu drastis. Kau seorang yang taat meyembah Tuhan sedangkan aku?, Tak ingat kapan terakhir sholat.
Aku mengenal kau di sebuah kegiatan diskusi tentang buku yang penulisnya sahabatku sendiri dan ialah yang memperkenalkan kau kepadaku. “Hei, Salam kenal, Ibrahim dari keluarga baik-baik,” ucapku. Awalnya aku canggung dan tak banyak bicara karena melihat pakaianmu yang begitu anggun dan indah, bukanya aku mengejek namun sebaliknya. Aku sangat menghargai pandangan dan prinsip hidup setiap orang, tak pernah ku permasalahkan, baik soal pakaian, agama dan pemikiran. Anggapanku orang sepertimu agak tertutup dan tak mau banyak bicara apalagi dengan lawan jenis. Semua penilain itu salah, ternyata kau orang yang sangat unik dan termasuk humoris.
Pertumuan pertama itu begitu berkesan, kita saling bercerita tentang hari-hari yang dilalui, juga soal prinsip masing-masing, kau dan aku tidaklah jauh berbeda soal pandangan, juga tidak terlalu kaku. Kau juga menceritakan tidak terlalu mempermasalahkan soal pakaian dan yang lain-lain. “Asal ingat Tuhan saja,” katamu. Ucapanmu itu membuatku kagum, sebab orang-orang sepertimu yang kutemui, biasanya mereka lebih kaku bahkan ada juga mengecap seseorang yang tak sepaham dengannya dengan umpatan kafir.
Hari-hari kita lalui bersama walaupun hanya via whatshapp saja, berbagi cerita tentang bagiamana kita menghabiskan hari. Kadang saling tertawa mendengarkan cerita hari-hari yang sama saja dengan kemarin. Di kala bosan menyerang, biasanya kita berhenti sejenak.
Siang itu terasa begitu berbeda, Kau tiba-tiba mengrimiku pesan yang sepertinya kata-kata perpisahan. “Ibrahim terima kasih sudah menemaniku selama ini, aku pamit untuk melanjutkan pendidikanku di negeri jiran,” hatiku seperti bom mendengar ucapan itu, yang setiap saat bisa meledak karena harapan yang sudah besar terhadapmu.
Kau pergi dengan sebuah alasan yang pasti, tapi batin ini tak menerima semua alasanmu itu. Jika kau ingin, kita masih bisa berbalas surat walaupun hanya bisa satu kali dalam sebulan, kurasa itu sudah cukup. Namun pemikiranmu tak sama denganku, kau memilih mengucapkan kata-kata perpisahan dan pergi meninggalkan kenangan yang selama ini telah kita ciptakan.
***
Tiga tahun telah berlalu, sekarang aku sudah menjadi seorang sarjana, entahlah apa arti sarjana ini. Tak terlalu ku pikirkan, yang terpenting kedua orang tuaku bahagia dan bisa belagak di kampung bahwa anaknya sudah sarjana. Setelah wisuda kuputuskan untuk kembali ke kampung halaman yang sudah empat tahun tak pernah kujajaki. Aku ingin melihat perubahan apa saja yang sudah terjadi, apakah masih sama saat aku meninggalkannya.
Segala hal telah ksiapkan, semua buku yang dulu pernah kujajakan di lapak baca. Satu persatu-satu kumasukan ke dalam kotak air mineral, tiba-tiba tangan terhenti disebuah buku, buku yang menginggatkanku kepada kenangan masa lalu. Lembar demi lembarku baca kembali isi buku tersebut, semakin kubaca, membuat memori ini kembali lagi, tetes demi tetes air mata ini tak bisa kubendung lagi. Padahal kenangan itu telah kubuang jauh-jauh.
Seketika detak jarum jam tak terdengar lagi, semuanya terasa sunyi, langkah kaki manusia seakan berhenti,hanya tedengar isak tanggis dari hati yang luka ini. Ilalang menyanyikan lagu duka, tapi aku kesal dengan anjing malah tertawa melihat sedihku. Berbeda dengan kucing kesayanganku ia durut berduka cita atas penderitaan yang kualami.
“Hai sang pemilik semesta dengarlah duka hati ini, kedukaan yang membuatku larut dan tengelam dalam nestapa kesiasiaan. Hai pemilik dunia, izinkanlah aku berjalan di atas dunia yang fana ini,” bisikku dalam renungan panjang. Semuanya telah berlalu, semoga menjadi kenangan yang indah di akhir ceritaku, kudoakan kau semoga menjadi orang yang baik dan menggapai semua yang kau impikan.
Setelah sampai di kampung, semua orang menyambutku dengan suka duka. Kedatanganku disambut layaknya kedatangan sang presiden negara ini, mulai dari teman waktu kecilku hingga semua saudara ibuku. Mereka mengucapkan selamat karena telah menjadi sarjana dan sebentar lagi menjadi orang besar. “Selamat telah menjadi sarjana dan sebentar lagi jadi orang besar,” ucap salah satu pamanku. Aku sedih sambil bahagia,”Seperti apakah orang besar dalam artian mereka, apakah orang besar itu, mereka bisa mengambil hati penduduk lalu menjualnya kepada oligarki atau orang yang berhasil duduk di bangku legeslatif?” ucapku dalam hati.
Semua harapan yang dulu kudambakan, kampung yang indah, banyak perubahan, dan kemajuan perlahan terasa sirna ketika tidak melihat adanya sedikitpun perubahan, padahal sudah lama kutinggalkan. Tapi setelah melihat ayahku semua kekecewaan itu berubah, senyumnya melihatku sudah diwisuda membuat hati ini menjadi bahagia kemabali. “ Kau sudah hebat nak, jangan tinggalkan ayah lagi, ayah tak berharap banyak,” ucapnya.