Penulis: Neneng Nora Hastuti
Mahasiswi Komunikasi Penyiaran Islam, UIN Imam Bonjol Padang
Perkembangan teknologi informasi pada masa ini tak terbendung lagi. Muncul, berkembang secara terus menerus. Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, media massa pun tak ketinggalan ikut mengalami perkembangan. Seperti yang telah kita ketahui, bahwa media massa digolongkan menjadi media massa cetak (surat kabar, majalah, tabloid, dan sebagainya) dan media massa elektronik (radio dan televisi). Kini, muncul sebuah media massa baru yang disebut media massa online atau Internet. media baru berupa internet ini muncul seperti sebuah fenomena, walaupun tak serta merta datang begitu saja, internet yang juga memiliki sejarah ini seakan semakin lama semakin berkembang dan selalu mengalami perubahan yang cepat, sehingga menjadi the most needed thing in life bagi masyarakat sekarang ini.
Bermacam jenis teknologi sudah merenggut eksistensi media sebagai acuan utama publik dalam mencari informasi. Internet adalah tersangka utama dari perubahan pada masyarakat. Internet mengubah cara masyarakat membaca dan berpikir menjadi lebih instan.
Pada zaman Internet yang sangat mudah diakses seperti sekarang, kita kerap kali kesulitan untuk menelusuri mana informasi yang benar dan mana yang palsu. Internet memungkinkan semua orang untuk menemukan sumber yang mendukung apapun opini seseorang, tak peduli betapa tidak ilmiahnya opini tersebut. Akibatnya, orang menjadi merasa lebih berdaya untuk menyuarakan opininya.
Nah, apa yang lebih buruk dari hal tersebut? Orang biasa mungkin tidak memiliki basis massa yang banyak atau jangkauan menyuarakan pandangannya secara luas. Namun, bagaimana jadinya jika selebritis atau tokoh terkenal yang mempromosikan informasi yang salah? Tentu, akibatnya jauh lebih masif.
Hal inilah yang mendasari para pembisnis media tidak lagi peduli akan apa yang disampaikan tetapi lebih fokus pada angka berapa massa yang meng-klik apa yang mereka sebarkan.
Kabar buruknya, kita memiliki sifat manusiawi yang membuat kita percaya pada argumen yang salah. Apalagi argumen itu dimuat di media besar, dan itu merupakan momok besar pengaruhnya teknologi informasi bagi masyarakat awam. Ketika ditelisik lebih lanjut, baik para ahli maupun orang awam, memiliki kecenderungan untuk percaya pada argumen yang salah. Setidaknya terdapat dua penyebab kecenderungan manusia memercayai argumen yang salah. Pertama, apa yang disebut dengan the Dunning-Kruger Effect dan kedua, bias konfirmasi (confirmation bias).
The Dunning-Kruger Effect merupakan sebuah bias kognitif yang membuat orang terlalu percaya diri akan pengetahuannya, khususnya malah di area yang kurang mereka kuasai. Penyebabnya adalah kurangnya kesadaran atas proses berpikir seseorang yang menyebabkan mereka malah ngeyel atas opini yang mungkin jelas-jelas salah.
Manusia cenderung untuk mencari dan memperhatikan informasi yang mendukung hal-hal yang sudah kita percayai sebelumnya. Semisal seseorang percaya bahwa bumi itu datar, maka ia akan mencari argumen pendukung hal yang diyakininya tersebut. Ia hanya bersedia mengkonfirmasi apa yang sudah ia percayai sebelumnya.
Internet seperti memiliki dua sisi mata uang. Pertama, internet merupakan sumber informasi yang sangat berlimpah ruah. Namun, internet dapat membuat seseorang mudah tersesat apabila ia tidak melakukan pengecekan kembali atas informasi.
Dengan adanya internet, kuantitas sumber yang tersedia mungkin bertambah tetapi kualitasnya menjadi berkurang. Bisa jadi kita kesal dengan judul yang bombastis alias clickbait. Misalnya judul artikel , “Lima Manfaat Begadang yang Jarang Disadari, Nomor Empat Bikin Tercengang”
Namun, maraknya clickbait menunjukkan bahwa strategi tersebut masih efektif untuk menjaring pembaca. Semakin banyak klik berarti semakin banyak pembaca dan semakin banyak pemasukan untuk pemilik media.
Niat untuk berbagi informasi menjadi topeng untuk mereka yang prioritasnya adalah angka. Dan pada akhirnya, jati diri suatu media bisa jadi bayaran yang harus seseorang tebus demi ‘perhatian’ yang ia dambakan. Demi angka yang ia impikan. Bagi beberapa media, angka memang sekrusial itu. Angka di sini bisa berupa jumlah impression/reach/engagement pada media tersebut atau apapun sesuai dengan cara pandang masing-masing. Mereka-mereka ini, mencari segala cara, agar angkanya tetap stabil. Termasuk berbohong menjadi jalan ninja yang harus mereka lakukan, mungkin.
Beberapa hari lalu saya membaca tulisan salah seorang senior dalam media sosialnya. “Berbagai cara pebisnis media mengumpulkan daya dan upaya demi tercapainya hasil yang diinginkan oleh pemilik media. Seakan rasa takut terjadinya kelaparan melebihi ketaatan terhadap profesionalisme diri sebagai jurnalis, sehingga berbagai jurus akan terus dilakukan walaupun harus mendustai amanat konstitusi. Satu persatu jurnalisme kehilangan kodrat sebagai alat mencerdaskan kehidupan bangsa, terdorong asyiknya melihat perdebatan publik di kolom komentar”
Informasi berlimpah yang bisa ditemukan hanya dengan menggeser layar gawai mendukung orang memiliki sumber untuk berdebat mengenai apapun, mulai dari hal yang ringan seperti film hingga teori ilmu alam. Itulah mengapa banyak perdebatan yang memicu keributan di dunia maya. Kita tentu tak jarang melihat betapa mudahnya hoax atau kabar palsu beredar di masyarakat.
Saya jadi teringat perkataan Bu Tri dan Bu Tejo tentang internet dalam film Tilik yang viral semenjak tayang di Youtube pada 17 Agustus 2020 lalu.
“Gimana (nggak benar)? Namanya internet itu bikinannya orang pintar. Ya, nggak mungkin salah lah,”
“Informasi dari internet itu kongkrit, ada fotonya, ada gambarnya,”
Pada kenyataanya, tidak semua yang ada di internet itu benar, entah terdapat informasi yang tidak utuh atau malah informasi palsu. Foto yang ada bisa jadi benar tetapi narasi foto (caption) yang salah dapat menyesatkan.
Di era seperti ini harusnya publik tak lagi percaya dengan media yang memuat berita dengan klaim “percayalah pada saya” tapi seharusnya lebih skeptis dan berpikir sekaligus ikut menantang media agar para oknum pebisnis media media tak lagi punya pengaruh dalam mendikte segala informasi yang akan disampaikan. Media bagaikan ladang ranjau informasi yang dapat menjebak sehingga kita yang harus pandai-pandai agar tak terkena tipu muslihatnya.