Kampus Ramah Difabel

Sosok Muhammad Nasir, SS, M.A (Foto: Berkas/suarakampus.com)

Oleh: Muhammad Nasir, SS, M.A

Sebagaimana diketahui, pemerintah telah membuat kebijakan dengan membuat peraturan perundang-undangan tentang hak-hak kaum difabel seperti UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terutama tentang pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Selain itu, pemerintah juga telah meratifikasi konvensi hak-hak kaum Difabel yang tertuang dalam UU No. 19 tahun 2011. Undang-undang ini mengharuskan negara menjamin dan mengakui hak penyandang disabilitas atas pendidikan, baik dari segi sistem dan sifat pendidikan yang inklusif pada setiap tingkatan. Termasuk di perguruan tinggi.
Sementara, di level pendikan tinggi sudah ada juga beberapa regulasi. Pertama, adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas dan, kedua, Peraturan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 46 Tahun 2017 tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus di Perguruan Tinggi.
Segala peraturan yang ditampilkan di atas menjelaskan bahwa alasan untuk menyertakan penyandangan difabilitas bukanlah semata karena kasihan. Namun, negara sebagai rumah bersama bagi semua warga negara berkewajiban memenuhi hak semua warga negara sesuai dengan keadaan fisik mereka. Inilah salah satu bentuk pengamalan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kata Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, pemerintah sudah memberikan fasilitas-fasilitas untuk pemenuhan hak penyandang disabilitas, baik pemenuhan hak untuk pekerjaan, untuk perumahan serta untuk fasilitas umum yang ramah terhadap disabilitas. Tentu saja janji ini perlu ditagih, oleh dunia pendidikan, termasuk perguruan tinggi. Begitu!

Dukungan Institusi
UIN Imam Bonjol Padang, sudah menyediakan kesempatan untuk penyandang disabilitas untuk mengikuti perkuliahan. Namun tentu saja semua hak yang mesti didapatkan dalam pendidikan belum dapat diberikan. Sebagai instrumen negara dalam bidang penyelenggaraan pendidikan tinggi, masih terbuka peluang untuk memperbaiki layanan pendidikan terhadap para penyandang disabilitas ini. Di antaranya akomodasi kebutuhan individu yang sesuai dengan keadaan mereka.
Dukungan akomodasi dapat diberikan dalam bentuk penyediaan fasilitas pembelajaran. Jika di antara mahasiswa ada yang tunanetra, tentu ada sumber belajar yang cocok, misalnya buku bahan ajar atau modul-modul pembelajaran berhuruf Braille. Lebih jauh lagi, tentu kampus harus merekrut dosen-dosen yang menguasai metode pembelajaran khusus untuk penyandang difabel. Selain itu, dari sarana fisik rancang gedung dan tata ruang tentu saja mesti ramah difabel. Semuanya bertujuan untuk memastikan para penyandang difabel mampu mengakses pendidikan tinggi dan dapat mendapatkan hak pendidikannya dengan maksimal.
Semua yang disebut di atas tentu kondisi ideal. Butuh kerja-kerja ajaib jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa penyandang difabel. Bayangkan saja, betapa banyak anggaran yang mesti digelontorkan untuk mendesain ruangan dan sistem pembelajaran yang dapat mengakomodasi kebutuhan penyandang difabel. Kecuali, ada kebijakan serupa afirmative action dari pemerintah pusat. Ya, dari pusat, seperti janji presiden kita!

Menuju Kampus Ramah Difabel
Menjadi kampus ramah difabel mestinya sebuah kemestian. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa selalu saja ada penyandang difabilitas yang kuliah di kampus ini. Sudah jadi sarjana pula. Meski berat untuk memenuhi sarana prasarana standar untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran bagi mereka, namun tentu saja tidak menjadi alasan untuk menolak penyandang difabilitas untuk ikut kuliah di kampus ini.
Di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) setidaknya sudah ada dua perguruan tinggi yang berupaya mengarahkan kampusnya menjadi kampus ramah difabel. Yaitu UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
UIN Sunan Kalijaga sudah punya Pusat Layanan Difabel (PLD) yang sudah eksis sejak tahun 2007. Sekarang, PLD ini bernaung di bawah Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) UIN Sunan Kalijaga. Usaha yang dilakukan PLD antara lain melakukan kajian-kajian advokasi sebagai alas akademik perumusan kebijakan pemerintah bagi penyandang difabilitas. Dalam bentuk yang lebik praktis, PLD UIN Yogyakarta juga layanan pendukung pembelajaran kepada mahasiswa difabel di UIN, yang terdiri atas mahasiswa tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa.
Sementara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sudah membentuk Pusat Layanan Disabilitas (Center for Students with Special Needs (CSSN). CSSN adalah lembaga sosial yang khusus menangani para penyandang disabilitas di kampus mereka. Salah satu usaha yang mereka lakukan adalah penyediaan sarana fisik berupa akses masuk ke setiap gedung.
Hal serupa tentu juga bisa dilakukan oleh UIN Imam Bonjol Padang. Tentu ada harapan bahwa prinsip-prinsip bangunan ramah difabel teraplikasi dalam desain gedung tersebut. Selain itu, sebagai dukungan akademik dan sosial dapat pula dibentuk lembaga-lembaga kajian yang concern pada masalah pemenuhan hak-hak kaum difabel, baik di tingkat pengelola universitas maupun di tingkat lembaga mahasiswa. Di tingkat mahasiswa misalnya, kehadiran unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang bergerak di bidang pendidikan inklusif atau UKM yang concern dalam bidang kajian dan advokasi bagi kaum difabel tentu keren.
Sementara menunggu itu, kita-kita yang normal tentu dapat bertindak normal karena sudah diberikan fasilitas pembelajaran yang lebih dari cukup dibanding saudara-saudara kita yang difabel. Tentu saja dengan cara memanfaatkan fasilitas yang ada dengan sebaik-baiknya.
Gedung perpustakaan UIN Imam Bonjol Padang, misalnya, tentu dibuat untuk orang-orang normal. Konon kabarnya, minat baca warga kampus ini masih rendah dan angka kunjungan ke perpustakaan justru masih dibawah standar yang diharapkan. Tentu saja ini sebuah ironi saat kita berbicara pemenuhan hak-hak kaum difabel, kita justru menyia-nyiakannya
Atau, saat sudah tersedia area parkir serta petunjuk untuk mengarahkan parkir ke area yang ditentukan, kita masih juga memarkir kendaraan di jalan umum atau menumpuk motor di depan pintu masuk gedung perkuliahan. Ini tentu saja menghambat langkah mahasiswa yang mengalami gangguan penglihatan. Atau jangan-jangan yang parkir sembarangan itu sendiri yang mengalami gangguan penglihatan. Janganlah begitu, bro!

Total
0
Shares
1 comment
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Rektor UIN IB, Martin Kustati: Tahun ini Empat Fakultas Pindah ke Kampus III

Next Post

Tim ESN Sumbar Temukan Mikroplastik di Aliran Sungai Batang Kuranji

Related Posts
Total
0
Share
410 Gone

410 Gone


openresty