Oleh: Kamelia
(Mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam UIN Imam Bonjol Padang)
Perkembangan teknologi yang sangat pesat saat ini memberikan dampak signifikan bagi semua kalangan usia, baik remaja sekolah (siswa-siswi dan mahasiswa-mahasiswi) maupun orang dewasa. Teknologi terbukti dapat meningkatkan motivasi belajar bagi seluruh pelajar. Tidak hanya peserta didik, pendidik atau guru pun sangat terbantu dengan kehadirannya.
Salah satu teknologi yang sedang marak saat ini adalah Artificial Intelligence (AI). AI merupakan teknologi canggih yang menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan oleh para pelajar. Dengan AI, mereka merasa lebih dimudahkan dalam mendapatkan berbagai informasi serta data yang diperlukan.
Perkembangan teknologi telah mengubah berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk kegiatan pembelajaran. Pemanfaatan teknologi informasi memberikan dampak terhadap perkembangan anak, pengetahuan, dan aspek kehidupan lainnya. AI khususnya memberikan dampak yang sangat signifikan bagi masyarakat. Selain menyediakan informasi dan data, AI juga hadir dalam bentuk pengeditan video yang sering dimanfaatkan oleh kreator konten untuk membuat video yang lebih menarik bagi penontonnya.
Namun, di balik dampak positif yang diberikan, AI juga memiliki sejumlah dampak negatif yang perlu diwaspadai. Salah satunya adalah maraknya penipuan menggunakan aplikasi AI. Kecepatan dan ketepatan AI dalam memproses informasi menjadikannya alat yang efektif bagi para penjahat dunia maya. Mereka dapat menggunakan AI untuk menghasilkan konten palsu yang sangat meyakinkan, sehingga memudahkan para penipu dalam mengelabui korbannya. Penipuan berbasis AI ini tidak hanya bersifat individual tetapi juga dapat menyebar secara luas.
Keberadaan AI membawa konsekuensi yang cukup mendalam dan meresahkan. Dengan kemampuan menciptakan video palsu yang sulit dibedakan dari aslinya, para penipu dapat dengan mudah menyebarkan berita palsu atau memanipulasi peristiwa tertentu. Hal ini berpotensi merusak reputasi seseorang. Contohnya adalah kasus manipulasi video yang melibatkan politikus Amerika Serikat, Nancy Pelosi, pada tahun 2019. Sebuah video deepfake memperlihatkan Nancy sedang berbicara di acara Town Hall dengan kesulitan dan tampak kebingungan. Pemalsuan ini bertujuan menciptakan kesan bahwa Nancy tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik, sehingga meragukannya sebagai pemimpin politik.
Serangan deepfake telah meluas ke ranah keamanan nasional dan internasional. Kemampuannya dalam membuat pemalsuan yang meyakinkan dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan propaganda negara dan menghasut konflik antarnegara. Bahkan, deepfake dapat digunakan dalam skema penipuan keuangan yang merugikan individu hingga lembaga keuangan besar.
Penipuan berbasis AI tidak hanya dalam bentuk video, tetapi juga suara. Hanya dengan rekaman audio beberapa detik, seseorang dapat membuat tiruan sempurna dari suara orang lain. Para pelaku kejahatan memanfaatkan teknologi ini dengan menirukan suara anggota keluarga yang seolah-olah sedang mengalami kesulitan. Dengan dukungan AI, sejumlah alat daring yang terjangkau dapat menerjemahkan file audio menjadi replikasi suara, memungkinkan penipu membuat “ucapan” apa pun yang diinginkan.
Modus penipuan suara ini mulai marak di Amerika Serikat. Menurut Komisi Perdagangan Federal AS (FTC), ini merupakan jenis penipuan yang paling umum di negara tersebut. FTC mencatat masyarakat AS mengalami kerugian sebesar 2,6 miliar dolar AS akibat modus penipuan ini pada tahun 2022. Bahkan, pada Maret 2023, FTC melaporkan bahwa para penipu mulai menggunakan AI untuk lebih meyakinkan korbannya.
Perusahaan perangkat lunak keamanan global McAfee menyebutkan bahwa penipu hanya membutuhkan rekaman audio tiga detik untuk mengkloning suara seseorang. Menurut situs web FTC, dalam modus ini penipu dapat menyamar sebagai keluarga, kekasih, pejabat, pengasuh, dan sebagainya. Meskipun modus penipuan ini terlihat sederhana, McAfee menemukan sekitar 70 persen orang dewasa kesulitan membedakan antara suara hasil kloning dengan suara asli. Penelitian mereka juga mengungkapkan bahwa lebih dari sepertiga korban kehilangan lebih dari 1.000 dolar AS dalam penipuan ini, dan 7 persen korban kehilangan hingga 5.000 dolar AS.