Oleh: Daniel Osckardo
(Mahasiswa Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah UIN Imam Bonjol)
“Dalam bahasa yang ekstrem negara adalah akal-akalan dari sekelompok orang untuk dapat memiliki hak menguasai dan mengatur orang banyak pada suatu wilayah tertentu”
Seperti kata pepatah, kebahagiaan dan kesedihan itu jaraknya tidaklah terlalu jauh. Jika sekarang Anda menangis, sebentar lagi Anda akan tertawa, atau sebaliknya. Sama halnya dengan perang dan damai; perdamaian adalah gencatan senjata yang panjang, maka bersiaplah untuk berperang.
Sebagian besar bangsa Indonesia merayakan Agustus dengan tangisan. Tepatnya, tangisan dengan air mata kebahagiaan. 6 Agustus bom atom, fat man meledak di Nagasaki. 8 Agustus terbentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). 9 Agustus sebuah bom atom, little boy meledak di Hiroshima. 12 Agustus Soekarno, Hatta, Agus Salim menemui Jenderal Terauchi di Dalat, Vietnam, membahas tentang janji Jepang soal kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus. 14 Agustus kabar penyerahan Jepang kepada sekutu diketahui pemuda Indonesia. 16 Agustus terjadi peristiwa Rengasdengklok. Dan puncak dari rangkaian peristiwa-peristiwa ini adalah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus, sebagai pengukuhan bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah Jepang.
September juga sama, dirayakan dengan tangisan. Tapi tangisannya bukan lagi air mata melainkan darah. Inilah cara paling tepat untuk mengenang September. Sejarah mencatat September sebagai bulan kelam: 7 September aktivis HAM, Munir Said Thalib dibunuh. 12 September Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menembak secara babi buta di Tanjung Priok. 24 September meletus tragedi Semanggi jilid 2. Dan 30 September terjadi pembunuhan 7 perwira Angkatan Darat. Tapi ada yang lebih besar dari itu, genosida 1965, dan sama sekali tidak dikenang. Sepanjang tahun 1965-1966 (dimulai dari akhir September 1965) terjadi pembantaian terhadap 2 juta orang yang dituduh komunis. Terbunuhnya 5 orang aktivis pada aksi bertajuk Reformasi Dikorupsi pada 24-29 September 2019 dapat memperpanjang list ini.
September itu kelam, hitam pekat, suram, mencekam, dan berdarah-darah. September tidak ramah terhadap kemanusiaan. Pada September, nyawa tidak lebih berharga daripada sesuap nasi. Wake up me when September ends.
Hal yang dapat dipelajari dari September adalah, berbeda seperti slogan-slogan yang memuat bahwa negara dan rakyat adalah suatu hubungan simbiosis mutualisme, negara terkesan lebih seperti benalu atau parasit. Ada beberapa fakta yang mengejutkan di mana pada zaman modern ini yang bercorak state nation ternyata ada beberapa masyarakat yang hidup tanpa negara.
Berbicara tentang September, berarti kita berbicara tentang pemerkosaan terhadap Hak Asasi Manusia. Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa begitu susah untuk mengadili si pelaku? Karena pelaku itu sendiri adalah orang yang diharapkan mengusut tuntas apa yang terjadi, mustahil itu akan terjadi. Siapa pelakunya? Dengan yakin kita bisa menunjuk batang hidung si oknum: negara. Atau lebih tepatnya entitas kekuasaan politik yang menjalankan negara.
Agar negara tidak terkesan seperti hantu, maka negara harus diseret dari pranata abstrak kepada bentuk yang konkret. Secara abstraksi negara adalah imajinasi yang dibentuk oleh sekelompok koloni di mana negara dibayangkan memiliki batasan-batasan wilayah serta hak untuk mengatur orang-orang yang berada dalam batasan wilayah tersebut. Jadi bisa dikatakan sebenarnya negara itu tidak ada. Dalam bahasa yang ekstrem negara adalah akal-akalan dari sekelompok orang untuk dapat memiliki hak menguasai dan mengatur orang banyak pada suatu wilayah tertentu.
Keistimewaan ini dimiliki oleh yang selain rakyat. Maka dari itu negara dan rakyat sebenarnya bukanlah dwitunggal. Rakyat (society) bisa eksis tanpa keberadaan negara, sedangkan negara hanya bisa lahir melalui kesepakatan rakyat. Jadi lembaga negara; eksekutif, legislatif, yudikatif, beserta organ-organ turunan mereka itulah negara. Dan mereka inilah yang paling bertanggung jawab atas tragedi-tragedi yang terjadi pada September sepanjang sejarah kemerdekaan bangsa ini.
Lihat saja Angkatan Bersenjata Republik Indonesia adalah promotor genosida sepanjang tahun 1965-1966, juga pada peristiwa Tanjung Priok dan Reformasi Dikorupsi. Dan besar kemungkinan Munir juga dibunuh oleh negara, mengingat waktu itu Munir adalah dalam upaya pengusutaan tragedi penghilangan paksa aktivis di masa reformasi 1998.
Janji Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan persoalan-persoalan seperti ini tidak pernah terwujud. Bahkan malah bertambah-tambah. Wajar saja jika negara adalah pihak yang sukar untuk dipercaya. Politik tetaplah politik; sebuah permainan kekuasaan. Politisi tetaplah politisi; tujuan mereka cuma satu: bagaimana menyenangkan kelompok sendiri. Negara tetaplah negara; lembaga kekuasaan serta satu-satunya pihak yang berhak melegalkan tindakan represif. Sebab negara ‘merasa’ berhak menentukan benar dan salah. Tapi negara bukanlah penafsir tunggal untuk kemanusiaan.
Itulah sekelumit cerita tentang September. Catat! September itu anti kemanusiaan, berdarah-darah, serta negara yang tidak pernah serius. Cara yang paling tepat untuk merayakan September adalah dengan tangisan air mata darah.
“September datang lagi, ya? Aku mau tidur dulu. Bangunkan aku ketika pembunuh Munir telah diadili.”